Oleh:
Dr. Herwin Mopangga
WORLD Economic Outlook April 2025 yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global 2,8% tahun 2025 dan 3,0% pada 2026. Angka ini turun masing-masing 0,5 percentage points (pp) dan 0,3 pp dibandingkan proyeksi Januari 2025.
Penurunan proyeksi dipicu oleh dampak langsung eskalasi perang tarif serta dampak tidak langsung melalui disrupsi rantai pasok, ketidakpastian yang meningkat, dan memburuknya sentimen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia turut direvisi ke 4,7% (-0,4 pp) untuk 2025, namun penurunan tersebut tergolong moderat dibandingkan Thailand (-1,1 pp), Vietnam (-0,9 pp), Filipina (-0,6 pp), dan Meksiko (-1,7 pp).
Sejumlah pengamat ekonomi nasional memperkirakan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi ini seiring dengan melemahnya respons kebijakan pemerintah terhadap gejolak global yang terus berkembang. Angka proyeksi dari IMF menurut mereka hanya menegaskan kekhawatiran bahwa ramuan kebijakan ekonomi Indonesia saat ini tidak cukup meyakinkan untuk membawa ekonomi nasional tumbuh diatas 5%.
IMF mengidentifikasi tekanan global sebagai pemicu utama, seperti ketegangan perdagangan internasional, kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat, serta perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama. Disisi lain beban internal yang berat akibat kebijakan ekonomi yang diterapkan rezim pemerintahan di masa lalu yang kurang adaptif sehingga bermuara kepada stagnansi produktivitas, tidak kompetitifnya sektor manufaktur, serta transisi demografis menuju penurunan proporsional penduduk usia produktif.
Kritik juga diarahkan pada strategi pembangunan yang selama ini terlalu bertumpu pada proyek infrastruktur besar, namun tidak disertai reformasi kelembagaan atau peningkatan kapasitas produksi nasional. Akibatnya, meski utang pemerintah meningkat tajam, kontribusi proyek-proyek tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi tetap minim. Beban fiskal membengkak tanpa menopang basis ekonomi yang kokoh.
Sektor riil semakin kesulitan mengakses pembiayaan karena tingginya suku bunga, yang membuat bank lebih memilih menempatkan dananya di surat utang negara. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat kelas menengah justru semakin tertekan oleh stagnasi pendapatan, tingginya biaya hidup, dan minimnya perlindungan sosial yang efektif. Pembukaan impor yang agresif dan kurang terkontrol justru memperlemah industri lokal dan memperburuk daya saing nasional. Kebijakan ekonomi saat ini tidak berpihak pada kelas menengah yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik.
Optimisme pemerintah yang menyebut APBN akan menjadi jangkar utama dalam menghadapi tekanan global diragukan tidak cukup efektif jika tidak disertai inovasi pembiayaan dan reformasi struktural. Ketika pembiayaan global semakin mahal dan kepercayaan terhadap negara berkembang terus menurun, maka mengandalkan utang luar negeri justru memperburuk posisi fiskal. Spread obligasi Indonesia yang melebar dan depresiasi rupiah hanya menambah tekanan terhadap beban utang dan pembiayaan pembangunan. Dengan nilai tukar yang terus melemah maka pembiayaan utang luar negeri menjadi semakin tidak efisien.
Ketika sumber pembiayaan eksternal menyusut, pilihan yang tersisa bagi pemerintah adalah meningkatkan pajak atau memangkas belanja publik yang notabene berisiko memperlambat pemulihan ekonomi. Tanpa inovasi pembiayaan yang berkelanjutan dan kredibel, ruang gerak fiskal akan makin sempit. Peningkatan belanja sosial memang bisa menahan laju penurunan konsumsi jangka pendek, namun jika kebijakan ini tidak dibarengi dengan reformasi struktural dan restrukturisasi sektor ekspor, maka stimulus hanya menjadi penahan sesaat. Ketika stimulus berakhir, ekonomi akan kembali terseret tekanan global.
Sesuai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 22 dan 23 April 2025 kembali memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 5,75%. Meskipun mengakui adanya potensi perlambatan ekonomi Indonesia, keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga prakiraan inflasi 2025 dan 2026 tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1%, mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan fundamental di tengah makin meningkatnya ketidakpastian global, serta untuk turut mendukung pertumbuhan ekonomi.
Menurut analisis Bloomberg Economics, inflasi nasional di bulan April 2025 sebesar 1,95% yoy, melejit diatas ekspektasi pasar (1,5%), tetapi ini masih memberikan ruang bagi BI untuk melanjutkan pemangkasan bunga acuan sebesar 25 basis poin pada pertemuan yang dijadwalkan 20-21 Mei mendatang. Hal ini disebabkan indikator utama perekonomian menunjukkan kebutuhan akan respon kebijakan yang lebih longgar sekaligus memitigasi dampak lebih buruk dari guncangan perdagangan global.
Ke depan, BI terus mencermati ruang penurunan BI-Rate lebih lanjut dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar Rupiah, prospek inflasi, dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi. Perbaikan performa rupiah ditengah gejala pelemahan dollar AS akan memberi kepercayaan diri pada BI untuk segera memangkas bunga acuan.
Pengumuman kebijakan tarif resiprokal AS awal April 2025, serta langkah retaliasi oleh Tiongkok dan kemungkinan dari sejumlah negara lain meningkatkan fragmentasi ekonomi global dan menurunnya volume perdagangan dunia. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2025 diprakirakan akan menurun. Berbagai kebijakan perlu diperkuat guna memitigasi dampak dari menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia, dengan mendorong permintaan domestik dan memanfaatkan peluang peningkatan ekspor.
Pemerintah terus berupaya menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi daya beli masyarakat yang dilakukan antara lain melalui stabilisasi pasokan dan harga pangan, subsidi dan kompensasi energi, penyaluran berbagai bantuan sosial, program KUR, serta dukungan sektor perumahan.
Untuk mendukung agenda pembangunan, Pemerintah melakukan penguatan SDM unggul melalui program makan bergizi gratis (MBG), sekolah unggulan, pemeriksaan kesehatan gratis, percepatan pengentasan kemiskinan ekstrem, serta penyelesaian proyek strategis nasional. Sementara BI terus memperkuat respons bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas (pro-stability) dalam rangka memperkuat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (pro growth and sustainability).
Daerah-daerah yang masih sangat bergantung pada sektor primer dengan nilai tambah rendah (seperti pertanian tradisional, pertambangan mentah, atau kehutanan ekstraktif) dan sekaligus memiliki ketergantungan tinggi pada dana transfer dari pemerintah pusat menghadapi kerentanan berlapis dalam menghadapi dinamika ekonomi global saat ini.
Sedikitnya terdapat empat factor kerentanan terhadap volatilitasi harga komoditas internasional yang dihadapi daerah-daerah yaitu: i) pendapatan daerah dari sektor ekstraktif/primer akan langsung terdampak fluktuasi harga global, ii) tidak memiliki diversifikasi ekonomi yang cukup untuk meredam guncangan eksternal, iii) rantai pasok yang terganggu akan mempengaruhi proses produksi dan ekspor komoditas primer, serta iv) minimnya nilai tambah membuat margin keuntungan sangat tipis dan mudah tergerus.
Selanjutnya, ketergantungan tinggi pada dana transfer menciptakan kerentanan fiskal yang serius berupa i) penurunan pendapatan pusat dari pajak dan PNBP berpotensi mengurangi alokasi dana transfer, ii) kemampuan fiskal daerah menjadi sangat terbatas untuk memberikan stimulus ekonomi lokal, iii) kapasitas untuk mendanai program perlindungan sosial melemah saat dibutuhkan, serta iv) ruang gerak APBD menjadi sempit untuk menghadapi krisis.
Kombinasi kedua faktor ini menciptakan efek berganda yang merugikan yaitu i) penurunan daya beli masyarakat daerah akibat tekanan pada sektor primer dan minimnya alternatif sumber pendapatan, ii) UMKM lokal kesulitan mendapatkan pembiayaan karena perbankan cenderung mengurangi risiko, iii) investasi baru tertahan karena investor menghindari daerah dengan basis ekonomi sempit, serta iv) potensi pengangguran meningkat saat perusahaan di sektor primer melakukan efisiensi.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah strategis berikut:
- Akselerasi transformasi struktural ekonomi daerah dengan meningkatkan nilai tambah produk primer melalui hilirisasi dan industrialisasi berbasis sumber daya lokal
- Penguatan sinergi pentaheliks di tingkat daerah untuk menciptakan ekosistem inovasi yang mendukung diversifikasi ekonomi
- Peningkatan kapasitas fiskal daerah melalui optimalisasi PAD dan perbaikan tata kelola keuangan daerah
- Investasi infrastruktur yang tepat sasaran untuk mengurangi biaya logistik dan meningkatkan daya saing daerah
- Program perlindungan sosial yang adaptif dan terintegrasi dengan strategi pengembangan ekonomi lokal
Khusus kabupaten kota dan Provinsi Gorontalo, tanpa transformasi ekonomi yang bermakna, daerah-daerah ini akan terus berada dalam posisi rentan dan ketergantungan, serta akan semakin tertinggal dalam menghadapi dinamika global yang semakin kompleks. Poin kedua, pendekatan pentaheliks yang melibatkan lima elemen yakni pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas, dan media dapat memberikan dampak signifikan terutama dalam kondisi perekonomian global yang penuh tantangan.
Pelemahan rupiah dan neraca perdagangan yang kurang optimal memang menjadi isu yang perlu ditangani dengan pendekatan terintegrasi. Ketika pendapatan pemerintah dari pajak dan PNBP tidak mencapai target, kapasitas belanja pemerintah menjadi terbatas, sehingga mempengaruhi stimulus ekonomi domestik.
Kolaborasi pentaheliks di tingkat daerah dapat menciptakan solusi yang lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Misalnya, dengan menggabungkan keahlian akademisi, kapasitas bisnis, keterlibatan komunitas, dan peran media dalam sosialisasi kebijakan, pemerintah daerah dapat merancang program pengembangan ekonomi yang lebih efektif. Penguatan ekonomi daerah melalui pendekatan pentaheliks ini akan mendukung ketahanan ekonomi nasional secara keseluruhan dalam menghadapi ketidakpastian global. (*)
Penulis adalah Local Expert Kementerian Keuangan Provinsi Gorontalo
Regular Participant FGD Departemen Komunikasi BI asal FEB UNG










Discussion about this post