Oleh:
Basri Amin
HARI itu, Ahad, 24 April 2016. Di desa Biyonga, Limboto. Mereka berhasil mencapai putaran ke-12 gerakan “Kambungu Beresi” (KB).Tampaknya KB ini makin terterima di masyarakat. Keterlibatan kalangan perempuan pun membesar.
Sebagai gerakan dari bawah, meski inisiatornya dari kalangan aktivis, warna kebersamaan cukup terasa. Oleh “panglima” Kambungu Beresi, Dahlan Usman, sebagaimana disebut-sebut oleh teman-teman inisiator, gerakan ini disemangati oleh visi budaya. Sejumlah nilai luhur (Gorontalo) hendak dikukuhkan (kembali) melalui gerakan ini.
Gorontalo kita memang banyak berbenah. Terpaan angin perubahan di abad ini memaksa kita untuk melihat kedalam, terutama menyangkut daya tahan dan daya adaptasi kita. Tidaklah mungkin semua kondisi kemasyarakatan dan pembangunan kita menjadi pekerjaan pemerintah. Partisipasi masyarakat adalah kekuatan utama. Apalagi karena basis tradisi kita, terutama di Gorontalo, telah menyediakan banyak piranti untuk melihat perubahan dan untuk menentukan langkah yang bertujuan.
Saya menangkap kesan yang kuat bahwa partisipan “Kambungu Beresi“ telah melakukan penghayatan tradisi kegorontaloan yang mendalam dan memastikan titik-titik krusial yang patut “dibereskan” dalam jangka panjang. Taufik Abdullah (1982) menegaskan bahwa “perenungan terhadap tradisi bukan hanya menghasilkan agenda tindakan, tetapi juga kontrol sampai di mana perubahan itu harus berjalan…”. Sebagai hasilnya, kita akan mendapati bahwa “nilai budaya selain memberi patokan dasar yang bisa dimengerti secara rasional, ia juga merupakan ukuran dalam menghadapi dan menjalankan perubahan…”
Sudah tentu, tentang bagaimana luasan, cakupan dan keberlanjutan perubahan yang akan dihasilkan oleh Dahlan Usman, dkk telah meninggalkan kesan baik. Di hari itu, saya menyimak sebuah pantulan dari harapan dan kebutuhan besar kita bersama. Kata-kata Pak Dahlan Usman sangat sugestif, bahwa gerakan tersebut akan berlangsung hingga “titik darah penghabisan…”. Dengan pernyataan itu, tekad jangka panjang ditegaskan dan didorongsebagai signal yang sangat optimis. Bahwa partisipasi yang berjiwa merupakan kekuatan perbaikan; terlebih jika digerakkan oleh mereka yang “sadar dan awas”.
Kesediaan untuk “cair” bersama orang-orang kebanyakan dengan visi dan konsistensi tinggi adalah modal dasar bagi setiap perbaikan. Meski hanya sekali saya mengikuti “Kambungu Beresi”, saya adalah termasuk orang yang optimis terhadap setiap inisiatif di masyarakat, apa pun itu bentuknya. Saya yakin, semua inisiator sangat sadar bagaimana plus-minus mendorong perbaikan di sektor lingkungan, penyadaran masyarakat dan hubungan-hubungan (demokratis) yang mengitari masyarakat sipil dan posisi/peran pemerintah atau elite daerah. Yang terang, tak satu pun entitas lokal yang bisa kita katakan mampu “bekerja sendiri”. Itulah sebabnya tentara hadir, aktivis mahasiswa, pemuda, pemerintah setempat, kelompok perempuan, pecinta warung kopi, tokoh-tokoh masyarakat, PAM dan BP-DAS, dst. Ada kebersamaan yang “melintasi” rutinitas keseharian.
Cukup unik karena ternyata di ujung acara mingguan tersebut dilangsungkan pula sebuah percakapan bersama yang terbuka (dialog). Ada narasumber yang Tupoksi-nya memang relevan dengan “kampung” yang sedang disapa dan di-support penyadarannya. Ini patut diapresiasi karena keterbukaan yang otentik dan otonom akan mendorong kepekaan yang memihak. Kita sudah terlalu lama, sadar atau tidak, menjadi bagian dari basa-basi kolektif yang lebih sering menutup-nutupi kenyataan yang sebenarnya.
Percakapan dengan masyarakat makin membutuhkan kepekaan dan empati. Di masyarakat agraris, ketergantungan kepada sumberdaya alam adalah perkara fundamental. Resiko gagal panen, kekeringan dan persediaan air bersih demikian menghantui mereka. Demikian juga dengan pemasaran hasil-hasil kebun dan pertaniannya.
Masalah ada “di bawah”, tapi solusi bisa ditemukan dari atas atau dimulai dari kiri dan kanan kita. Semuanya adalah titik-titik perbaikan yang butuh dipicu oleh segelintir orang yang memiliki tekad dan tanggung jawab. Orang-orang seperti itu terpanggil untuk mengambil peran dengan kesadaran untuk “datang kepada rakyat, belajar dari mereka, memulai dari apa-apa yang mereka tahu dan membangun dari apa yang mereka punyai…” (Lao Tse).
Keterpanggilan adalah dasar yang kokoh. Tanpa itu, yang akan terjadi adalah pelampiasan diri atau sejenis “pelarian” dari rasa pengap karena sempitnya ruang partisipasi dan menggebu-gebunya menikmati rasa puas sesaat karena posisi (kuasa) dan persuasi (organisasi) di ruang-ruang publik.
Di Biyonga, air mengalir deras di selokan-selokan. Meski masih terlihat hijau, kampung ini tetaplah menggerakkan kita untuk menanam banyak pohon. Dengan itulah akan ada jaminan bahwa debit air kita akan terus tersedia cukup, bermutu dan termanfaatkan. Masyarakat sangat tahu tentang perkara ini, sehingga yang kita butuhkan hanyalah penyegaran, sehingga perubahan tidaklah harus dipacu dari “luar”, melainkan mengakar dari “dalam” masyarakat itu sendiri.
Pada skala yang lebih menjanjikan, prinsip bahwa “setiap orang adalah penting dalam perubahan” hendaknya jadi pegangan. Dengan itulah maka jejaring kerja karena persamaan tingkat perhatian, ketulusan, dan kepedulian terbentuk di semua wilayah dan tingkatan.
Meski air bisa kita “beli” di banyak tempat, kita tak bisa dengan mudah menikmati semua sisi-sisi penciptaannya dengan kejernihan pikiran dan aliran kesadaran yang memadai. Hampir semua makhluk di bumi tergantung kepada keberadaan air. Tubuh manusia dikuasai oleh air. Demikian juga ketergantungan kita kepada oksigen, energi matahari, panas bumi, angin, api dan tanah. Dengan semua benda-benda alam lainnya, tak terhitung pula kebutuhan dan ketergantungan kita padanya. Semua ini memperjelas bahwa manusia adalah bagian dari alam. Meski semesta ini terkesan hendak dikuasi oleh manusia, alam tak akan pernah bisa ditundukkan sepenuhnya oleh manusia.
Nikmat yang tak terkira ketika kita merasakan jernihnya air di tempatnya yang sejati (baca: alam). Menyentuhnya dengan rasa hormat dan rindu, disertai syukur kepada Maha Pencipta, adalah sikap yang meneduhkan jiwa. Menyentuh air dan menikmati kesegarannya dengan penghayatan akan meluluhkan semua rasa congkak dan egoisme kita.
Di atas aliran/gelombang air dan di dalam arus air, semua hal adalah “setara”; tak satupun yang kuasa menolak kekuatannya. Itulah sebabnya, hampir semua teknologi tentang air adalah wujud “kompromi” (kemampuan) manusia ketika hendak memanfaatkan (kekuatan) air. Dan bukankah hampir semua “pengobatan” menggunakan air.
Alam pikiran dan alam tindakan, semuanya meletakkan dirinya dalam “alam Gorontalo yang terhampar” dalam sebuah landskap yang cekung, bergunung, berbukit, bersungai, berdanau, dan berlembah. Dalam kontur itulah, kita hendaknya mampu merenung dan membangun kepasitas tertentu “ di atas” alam, sebagai karunia-Nya yang dipenuhi banyak “tanda” dan “titah” di mana kita mengukur peran sebagai khalifah di bumi. Dengan modal inilah kita tak boleh ragu mempercakapkan perbaikan dan mengerjakan setiap perbaikan.***









