Gorontalopost.co.id, GORONTALO – Rupanya, aduan masyarakat tentang dugaan korupsi di Gorontalo ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah cukup banyak. Dalam rentang waktu empat tahun terakhir dari 2021-2024 tercatat sudah ada 52 laporan yang masuk ke lembaga antirasuah itu.
Ini dipaparkan Jaksa Penuntut Umum bidang koordinasi dan supervisi wilayah III, Kedeputian bidang koordinasi dan supervisi KPK, Mohammad Nur Azis, SH. MH, pada kegiatan orientasi anggota Deprov Gorontalo di Jakarta, kemarin (26/9).
Dari 6 Kabupaten-Kota, aduan masyarakat soal dugaan korupsi hanya berasal dari tiga daerah. Yaitu Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Gorut. Ada juga laporan yang tidak spesifik menyebutkan daerah.
Pada 2021, aduan korupsi untuk Bone Bolango berjumlah 6 laporan, Kabuaten Gorontalo 5 laporan, Gorut 2 laporan, tidak spesifik 15 laporan. Pada 2022, Bonbol 3 laporan, Kabupaten Gorontalo 6 laporan, tidak spesifik 4 laporan. Pada 2023 Bonbol 1 laporan, Kabgor 5 laporan, tidak spesifik 2 laporan. Pada 2024 Kabgor 1 laporan dan tidak spesifik 1 laporan.
Di sela-sela kegiatan orientasi, Mohammad Nur Azis saat berbincang dengan anggota Deprov Gorontalo dari PAN, Femmy Udoki menguraikan, semua laporan yanga masuk ke KPK itu belum ada satupun yang berujung pada tahapan penyidikan.
Penyebabnya karena diantara laporan yang masuk ada laporan-laporan yang tidak masuk dalam kriteria penanganan KPK. “Tapi ada juga laporannya yang sudah diteruskan ke aparat penegak hukum lain,” ujar Mohammad saat berbincang dengan Femmy.
Menanggapi paparan ini, Femmy mengatakan, paparan dari KPK ini sekaligus menjadi peringatan bagi anggota DPRD untuk lebih berhati-hati dan meningkatkan pengawasan terhadap program pemerintah.
“Data-data yang disampaikan oleh KPK ini menjadi alarm bagi para anggota DPRD,” tandasnya. Pada kegiatan orientasi anggota DPRD, juga dipaparkan isu strategis di Gorontalo terkait pencegahan Korupsi.
Pertama, pengadaan barang dan jasa. Masih terdapat proyek strategis yang dalam fase pembangunan awal sehingga berisiko mangkrak atau tidak sesuai spesifikasi. Kemudian progres pelaksanaan yang tidak sesuai rencana awal serta nilai deviasi yang cukup tinggi.
Kedua, pengelolaan barang milik daerah. Sertifikasi tanah dan bangunan milik Pemda masih lambat. Tanah milik Pemda masih dikuasai oleh pihak ketiga.
Ketiga, penguatan APIP. Perlunya penguatan APIP daerah dalam hal kuantitas dan kualitas. Keempat, pelayanan publik. Diperlukan ruang dan pelayanan pengaduan yang transparan dan mudah diakses pada setiap kantor pelayanan publik.
Kelima, pengelolaan APBD. Belum adanya evaluasi dalam pemberian hibah dan pelaksanaan Pokir. (rmb)











Discussion about this post