logo gorontalo post
  • METROPOLIS
  • PERISTIWA
  • EKONOMI BISNIS
  • SPORTIVO
  • KORAN DIGITAL
No Result
View All Result
Logo gorontalo post
  • METROPOLIS
  • PERISTIWA
  • EKONOMI BISNIS
  • SPORTIVO
  • KORAN DIGITAL
No Result
View All Result
logo gorontalo post
No Result
View All Result
Pemkot Gorontalo
Home Persepsi

Demokrasi yang Membosankan

Jitro Paputungan by Jitro Paputungan
Monday, 13 May 2024
in Persepsi
0
Reposisi Gorontalo  (Bonus Demografi dan Basis Kepemimpinan)

Basri Amin

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke Whatsapp

oleh :
Basri Amin

 

KINI makin terkesan praktik-praktik demokrasi kita belum mampu mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang disegani di pentas dunia. Tingkat kemakmuran, pencerdasan, kesetaraan dan hak-hak kita untuk beroleh pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa masih “jauh panggang dari api…”.

Demokrasi seperti “barang mainan” yang terlalu menarik bagi para pemain. Di mana-mana, yang kita saksikan adalah semakin banyaknya para “tukang” yang siap-siaga mengutak-atik demokrasi sebagai “barang” dan ngecap atas nama demokrasi.

Related Post

Gorontalo, Jangan “Lari” di Tempat

Guru Pejuang di Gorontalo

Senggol-Senggolan di Pemerintahan

Subjektivitas Penilaian Hasil Capaian Kinerja ASN: Kelalaian atau Sentimen ? 

Hari-hari ini kekuatan-kekuatan perubahan di masyarakat kita masih condong berpusat kepada “orang”, belum kepada “organ” dan “wawasan” yang menyatu dengan sistem pengetahuan nyata dan orientasi kepemimpinan yang obsesif memenangkan masa depan dengan komitmen dan kompetensi yang tinggi.

Kini, yang banyak kita saksikan begitu bernafsu memenangkan pentas demokrasi adalah orang-orang yang tidak sepenuhnya bisa kita percaya dan sungguh-sungguh kita andalkan mutu kerjanya karena bukti-bukti nyata. Belum lagi soal-soal “isi hati”, kejujuran sikap, dan perilaku-nya.

Hari-hari ini, yang kita cermati adalah bahwa prinsip “hari esok harus lebih baik” masih harus ditakar menurut kacamata terbatas/berjangka pendek: jaringan kelompok, jejaring keluarga, primordialisme, afiliasi organisasi, egoisme profesi, klik pertemanan, perniagaan, dst.

Hari esok akan lebih baik untuk “siapa?”. Semua orang lalu “mengantisipasi” nasibnya! Karena, “kelak, di atas timbangan kematian, kita akan berstatus sama!. Ia mengubah hidup (kita) menjadi nasib,” demikian tandas Malraux, negarawan Perancis (1901-1976).

Ketergantungan kepada orang, elite atau tokoh populer tak bisa lagi jadi pegangan. Arah bersama dan produktivitas tak bisa “dipikul” oleh sebuah elitisme dan populisme publik. “Semua orang dan kelompok adalah penting,” begitulah kaidahnya. Sekalipun kapasitas berbeda-beda tetapi peran yang beroperasi di sektor-sektor produktif haruslah beroleh akses, informasi, dan perlakuan yang wajar.

Itu sebabnya, sektor negara melalui aparatusnya harus didorong-penuh dan lebih keras agar lebih peka terhadap “sumberdaya” yang aktif di dalam masyarakat. Perangai lama yang cenderung dominan –-serba pemerintah—dan keenakan memelihara kultur “bantuan” haruslah diolah sedemikian rupa melalui kerangka kerja baru agar kepemimpinan ekonomi di tingkat lokal tumbuh lebih besar.

Sistem regional yang memediasi produktivitas, dan terutama daya tahan terhadap goncangan, haruslah ditemukan dan dipercakapkan lebih luas. Di sisi ini memang ada soal serius: kita mudah bosan bernalar. Hampir di semua pertemuan dan acara, “waktu terbatas” dan dipotong-potong sedemikian rupa ketika hendak menyelami fakta-fakta yang sebenarnya dan prinsip-prinsip dasar perbaikan yang menyentuh perangai (kolektif) kita.

Meski semua sependapat bahwa tidak semua urusan harus dibicarakan, tetapi pembicaraan terbuka sangat kita butuhkan ketika hendak memastikan sesuatu. Begitu banyak “pertemuan yang tak berbuah titik temu, bukan?”. Basa-basi!

Sistem yang menopang kapasitas (organisasi) pemerintahan dan pendekatan kewargaan yang tumbuh sehat di level masyarakat merupakan prakondisi jangka panjang kalau kita ingin negeri ini sehat (demokrasi) pembangunannya. Tanpa itu, yang kita gerakkan adalah tipu-muslihat yang dipoles-poles dengan publikasi dan sosialisasi.

Tanpa komitmen total, yang akan kita capai adalah kepura-puraan periodik di hadapan “kesadaran palsu” masyarakat. Tanpa sandaran (moral) yang kokoh, yang akan kita capai adalah pembesaran “kawanan pecundang” yang hanya tumbuh-terpelihara karena sogokan, konsesi kuasa, dan pesona retorika di ruang publik.

Sistem kerja yang benar tidak cukup ditopang oleh tumpukan regulasi. Ia mensyaratkan kepemimpinan otentik yang tumbuh dari pengalaman yang menghayati dan dari basis pengetahuan yang memihak. Sebuah kepemimpinan yang “terus-belajar” dan yang menjauh dari kecongkakan pidato, posisi, dan propaganda di baliho, media sosial, dan iklan-iklan.

Kepemimpinan yang bersandar kepada ke-KITA-an, bukan dari ke-AKU-an yang sepihak.

Mentalitas kepemimpinan kita, tampaknya masih harus banyak berubah. Kita bisa menyaksikan setiap saat di Republik ini, bagaimana perangai “pejabat-penguasa” tampak (masih) dominan.

Bahasa kekuasaan memborgol kebersamaan dan produktivitas. Melalui jalan-jalan kekuasaan, yang tercipta adalah kebuntuan sikap-sikap pengayoman dan keterbukaan untuk “tumbuh bersama” dan saling mendengar dangan nalar dan nurani.

Tak heran kalau yang banyak dikerjakan dan yang tercium aromanya adalah lingkaran-lingkaran kepentingan jangka pendek yang terus-menerus terlindungi dan selalu terbela di balik tembok-tembok posisi dan fasilitas.

Dewasa ini, yang lebih condong tampil ke depan adalah “publikasi” yang kosong keberlanjutan. Kita miskin “persuasi” yang memintakan partisipasi. Kita (masih) miskin “pejabat teladan” yang berjiwa pendidik dan pekerja-pejuang; yang bahasanya senantiasa aktif-menggema karena padat isi, afeksi, dan bukti-bukti.

Kini masih terlihat bagaimana “generasi lama” masih menguasai banyak posisi. Mereka bahkan menjadi petarung/pemain sepanjang hayat, dari periode satu ke periode berikutnya: generasi terus-menerus!. Generasi penerus dihadang jalan-jalan pengabdiannya…

Tradisi regenerasi yang memihak kepada loncatan-loncatan kemajuan –yang dikerjakan generasi baru– terkesan masih ragu-ragu diwujudkan. Pilihan menjadi “pensiun”an yang tetap produktif –-tanpa posisi di sektor formal– belum banyak dinikmati dan diminati. Pokoknya, posisi harus diburu dan diraih! Adakah yang salah? Jawaban kita bisa terbelah.

Kini kita tak pungkiri bahwa di beberapa tempat, kehadiran generasi baru sudah terterima sebagai sebuah “kepercayaan” –kalau bukan sejenis percobaan!. Sepuluh tahun terakhir ini, terutama di tingkat nasional dan lokal, posisi-posisi kunci sudah memantulkan wajah-wajah “generasi milenial”, walau masih saja berulang kepiluan karena kelemahan “karakter” mereka dalam memerankan diri dan membaca goncangan-goncangan negerinya.

Kita jangan lupa, cukup banyak di antara ‘generasi baru’ itu yang jiwa feodal-nya masih laten. Mereka begitu instan di jabatan dan begitu bernafsu tampil dengan jargon profesional dan legitimasi intelektual yang artifisial: “ngecap di permukaan!”

Mental sebagai oportunis dan avonturir cenderung menjadi pakaian mereka. “Siapa saja dijilat, yang penting beroleh akses. Kawan dijegal yang penting dapat fasilitas…main dua kaki di tiga panggung kepentingan yang berbeda, dst”.

Tegasnya, Indonesia kita masih terkendala dalam perkara karakter dan mentalitas. Itu sudah terbaca sejak akhir 1950an. Tepat ketika Presiden Soekarno merumuskan Revolusi Mental tahun 1957, antara lain beliau menyatakan bahwa (ini) adalah “satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Maksudnya tidak kecil...”.

Hasilnya bagaimana sekarang? Apa kabar Revolusi Mental?

Negeri ini harus lebih utuh berubah. Tak perlu debat pakai data resmi, kewenangan, dan tabel-tabel evaluasi segala macam. Anda amati dan rasakan yang jujur saja dalam perkara sehari-hari.

Di ruang-ruang publik dan di tempat-tempat kerja Anda, coba perhatikan! Mental saling menjegal, saling memfitnah dan menebalkan kezaliman, masih eksis dan eksplisit, bukan?

Orang-orang yang tumpul daya kerjanya, rendah komitmen dan prestasinya, masih banyak yang bercokol dan keenakan posisinya.

Negara digerogoti! Kita belum punya sistem audit keorganisasian dan kepemimpinan unggul yang handal memastikan “fakta yang sebenarnya”. Yang membesar adalah fantasi dan manipulasi.

Sistem yang menempatkan quality control dan keberlanjutan misi-misi luhur organisasi (publik) seringkali rontok di atas sebaran gosip, tafsir sepihak dan kuasa “siluman” yang dikelola oleh jaringan keluarga, kuasa pertemanan, joki-joki peran, dan obsesi kapital.

Kepada Anda semua, mari sama-sama kita cermati di kiri dan kanan kita masing-masing. Institusi (kita) sangat rentan diperalat dan dimanfaatkan oleh mereka yang tak pernah sepenuhnya terbukti “ucapan dan perbuatan”nya bulat-sepadan dan konsisten dari waktu ke waktu. ***

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Pos-el: basriamin@gmail.com

Tags: basri aminDemokrasi yang Membosankangorontalo postpersepsispektrum sosialtulisan basri amin

Related Posts

Basri Amin

Gorontalo, Jangan “Lari” di Tempat

Monday, 1 December 2025
M. Rezki Daud

Guru Pejuang di Gorontalo

Wednesday, 26 November 2025
Rohmansyah Djafar, SH., MH

Subjektivitas Penilaian Hasil Capaian Kinerja ASN: Kelalaian atau Sentimen ? 

Monday, 24 November 2025
Basri Amin

Senggol-Senggolan di Pemerintahan

Monday, 24 November 2025
Pariwisata Gorontalo: Potensi Ekonomi, Ancaman Ekologis, dan Risiko Greenwashing Tourism

Pariwisata Gorontalo: Potensi Ekonomi, Ancaman Ekologis, dan Risiko Greenwashing Tourism

Friday, 21 November 2025
Basri Amin

Pemimpin “Perahu” di Sulawesi

Monday, 17 November 2025
Next Post
Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail

Masuk Bursa Cagub Gerindra, Begini Tanggapan Gusnar Ismail 

Discussion about this post

Rekomendasi

Personel Samsat saat memberikan pelayanan pengurusan pajak di Mall Gorontalo.

Pengurusan Pajak Kendaraan Bisa Dilakukan di Mall Gorontalo

Monday, 1 December 2025
Personel Satuan Lalu Lintas Polresta Gorontalo Kota mengamankan beberapa motor balap liar, Ahad (30/11). (F. Natharahman/ Gorontalo Post)

Balap Liar Resahkan Masyarakat, Satu Pengendara Kecelakaan, Polisi Amankan 10 Unit Kendaraan

Monday, 1 December 2025
Anggota DPRRI Rusli Habibie bersam Wagub Gorontalo Idah Syahidah RH. (Foto: dok pribadi/fb)

Rusli Habibie Ajak Sukseskan Gorontalo Half Marathon 2025, Beri Efek ke UMKM

Friday, 28 November 2025
ILustrasi

Dandes Dataran Hijau Diduga Diselewengkan, Dugaan Pengadaan SHS Fiktif, Kejari Segera Tetapkan Tersangka

Monday, 13 January 2025

Pos Populer

  • Rita Bambang, S.Si

    Kapus Sipatana Ancam Lapor Polisi

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Senggol-Senggolan di Pemerintahan

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Ruang Inap Full, RS Multazam Bantah Tolak Pasien BPJS

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • GHM 2025, Gusnar Nonaktifkan Kadispora

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Dugaan Persetubuhan Anak Dibawah Umur, Oknum ASN Gorut Dibui

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
Gorontalopost.co.id

Gorontalo Post adalah Media Cetak pertama dan terbesar di Gorontalo, Indonesia, yang mulai terbit perdana pada 1 Mei 2000 yang beral...

Baca Selengkapnya»

Kategori

  • Boalemo
  • Bone Bolango
  • Disway
  • Ekonomi Bisnis
  • Gorontalo Utara
  • Headline
  • Kab Gorontalo
  • Kota Gorontalo
  • Kriminal
  • Metropolis
  • Nasional
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Pendidikan
  • Persepsi
  • Pohuwato
  • Politik
  • Provinsi Gorontalo

Menu

  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer
  • Privacy Policy

© 2025 PT. Gorontalo Cemerlang - Gorontalo Post by Div-TI.

No Result
View All Result
  • METROPOLIS
  • PERISTIWA
  • EKONOMI BISNIS
  • SPORTIVO
  • KORAN DIGITAL

© 2025 PT. Gorontalo Cemerlang - Gorontalo Post by Div-TI.