logo gorontalo post
  • METROPOLIS
  • PERISTIWA
  • EKONOMI BISNIS
  • SPORTIVO
  • KORAN DIGITAL
No Result
View All Result
Logo gorontalo post
  • METROPOLIS
  • PERISTIWA
  • EKONOMI BISNIS
  • SPORTIVO
  • KORAN DIGITAL
No Result
View All Result
logo gorontalo post
No Result
View All Result
Pemkot Gorontalo
Home Persepsi

Patriotisme “23 Januari” sebagai Peristiwa Dunia

Lukman Husain by Lukman Husain
Monday, 22 January 2024
in Persepsi
0
Basri Amin

Basri Amin

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke Whatsapp

Related Post

Gorontalo, Jangan “Lari” di Tempat

Guru Pejuang di Gorontalo

Senggol-Senggolan di Pemerintahan

Subjektivitas Penilaian Hasil Capaian Kinerja ASN: Kelalaian atau Sentimen ? 

Oleh:
Basri Amin

 

INGATAN kita di Gorontalo setiap tahunnya (hendak) selalu disegarkan. Delapan puluh dua tahun lalu: “23 Januari 1942”. Tentang pilihan Merdeka. Tentang penindasan dan penjajahan. Untuk itu semua, tokoh sentralnya adalah Nani Wartabone. Yang berjuang bersamanya tercatat sejumlah nama besar dan masih banyak lagi yang tak tercatat tapi mereka semuanya mewujudkan kemuliaan yang heroik dan cita-cita luhur yang sama.

Semua berita tentang perkembangan Perang Dunia II, terutama tentang posisi Belanda yang semakin lemah karena kalah oleh Jerman diketahui dan dicermati dengan baik oleh Nani Wartabone. Berita itu disadap dan diselundupkan oleh Pendang Kalengkongan, seorang pegawai kantor Pos dan Telegraf Gorontalo. Ia seorang nasionalis yang memihak kepada perjuangan rakyat Gorontalo (Said, 1982).

Pada tanggal 19 Januari 1942, Nani Wartabone sudah mendapat laporan atas rencana Belanda untuk membumihanguskan Gorontalo oleh pasukan siluman (VC, Vernielings Corps) Belanda di Gorontalo. Tak lama setelah kabar itu beredar, datanglah dari arah Suwawa, Nani Wartabone menemui langsung Layhard, komandan VC. Pak Nani menodongkan pistolnya kepada Layhard disertai kata-kata ancaman untuk tidak berbuat macam-macam lagi di Gorontalo.

Demikianlah sepenggal cuplikan tentang patriotisme Gorontalo. Peringatan atas memori sejarah ini selalu dilangsungkan setiap tahunnya. Bahkan, hari Patriotik “23 Januari 1942” pernah diperingati secara nasional dengan penuh rasa bangga. Di Jakarta, tepatnya di Gedung Wanita Djakarta, pada hari Kamis 23 Januari 1964, para pejuang kemerdekaan memperingatinya dengan penuh haru dan wibawa. Dalam soal acara peringatan, tokoh nasional Gorontalo Zain Badjeber menyebutkan bahwa sejak 1958, peringatan itu dilangsungkan di Jakarta (di Balai Prajurit Lpangan Banteng/di depan PN Balai Pustaka/Gedung Parlemen di masa itu). Beliau hadir di acara itu, termasuk di tahun 1959 di Gorontalo (di Taman Makam Pahlawan oleh Kodim dan Bn. 512 Brawijaya). Di kemudian hari, Zain Badjeber bahkan menjadi Ketua Panitianya pada tahun 1977 s.d 1980, sekaligus memimpin Tim Penyusunan Buku “23 Januari 1942” .

Sejak Merah Putih berkibar dan Indonesia Raya dinyanyikan oleh Nani Wartabone, Kusno Danupoyo dan kawan-kawannya bersama rakyat di Gorontalo, Merah Putih itu terus berkibar di Gorontalo pada tahun 1942 selama 4 bulan dan 24 hari. Merah Putih dijahit dan ditempel di semua pakaian para pejuang kemerdekaan kita pada masa itu dengan heroik. Hampir semua orang sudah memiliki bendera merah putih, terutama karena dalam persiapan kegiatan Konferensi nasional GAPI di Gorontalo (Usman, 1964; Nur, 1978).

Akar nasionalisme Gorontalo tak terpisahkan dengan terbentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) 21 Mei 1939 di Jawa. Tak lama setelah itu, komite Indonesia Berparlemen pun terbentuk di Gorontalo pada Oktober 1939. Jaringan kebangsaan dan hadirnya kader-kader (politik) nasional dari Jawa di Gorontalo secara langsung mengokohkan kesadaran lama dan jiwa merdeka masyarakat Gorontalo dari penjajahan.

Penting dicatat bahwa sentrum kegiatan GAPI sangat kuat di Gorontalo, tak heran kalau rencana besar semula bahwa pada 10 Desember 1941 akan diadakan Konferensi besar dan Kota Gorontalo mendapat kehormatan sebagai pelaksananya dan akan dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional GAPI. Di tanah Jawa, Gorontalo sudah dikenal sebagai pusat pergerakan kebangsaan di Sulawesi Bagian Utara dan Tengah. Tuntutan GAPI adalah “Indonesia merdeka” dan “Indonesia Berparlemen”.

Perang Pasifik membuyarkan rencana Konferensi GAPI tersebut. Jepang agresif menguasi wilayah Asia dan Pasifik, sebagaimana Jepang memulai serangan mendadak ke Pearl Harbour di Hawaii pada 7 Desember 1942. Perang Pasifik pun mulai berkecamuk. Dalam waktu cepat Jepang menguasai Kamboja, Burma, Laos, Filipina, Singapore dan wilayah timur Indonesia. Jepang mulai memasuki wilayah Amurang dan Manado pada 11 Januari 1942. Liciknya, pada masa itu propaganda Jepang selalu menjanjikan kemerdekaan dan sukses dengan retorikanya sebagai “cahaya Asia” dalam perang Asia Raya yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda (Said, 1982.)

Pemerintah Belanda sendiri sangat tersudut dan panik. Mereka membentuk pasukan sipil siluman yang bertugas mengamankan keluarga-keluarga Belanda dan aparatnya, dan di saat yang sangat kesulitan, pasukan ini ditugaskan “membumi-hanguskan” bahan-bahan makanan pokok, jembatan, bendungan gudang-gudang, instalasi listrik, gudang minyak, pelabuhan, dan aset ekonomi lainnya. Orang-orang Belanda sudah menyiapkan kapal untuk melarikan diri melalui jalur: Gorontalo-Tilamuta, Kolonodale, dan akhirnya dilarikan ke Australia. Rencana ini terbukti gagal karena Coup di Jumat subuh hari, 23 Januari 1942, oleh Nani Wartabone, dkk (Yayasan 23 Januari, Perjuangan Rakyat di Daerah Gorontalo, edisi 1981)

Organisasi dan kemampuan mengorganisir kekuatan yang efektif adalah faktor kunci. Meskipun Nani Wartabone cenderung untuk melakukan “perang gerilya”, tapi “Komite 12” yang dipimpin Nani Wartabone bersama Kusno Danupojo akhirnya memutuskan cara lain, yakni melakukan Coup, atau penguasaan, penyerangan dan pengambilalihan kekuasaan secara paksa. Aparatus Belanda di Gorontalo harus ditangkap dan dilumpuhkan dengan cepat.

Di subuh hari, 23 Januari 1942, asisten residen, controleur Belanda, kepala polisi, pimpinan kantor pajak, perusahaan dagang dan kopra, dan beberapa lagi yang lain benar-benar dilucuti, dipaksa keluar dari kediaman dan kantor-kantor mereka, serta diseret dan ditahan seluruhnya di penjara kota. Sangat tegang dan heroik tak terkira memang.

Jumat pagi, 23 Januari 1942, bertempat di kantor Pos dan Telegraf Gorontalo, Nani Wartabone dan kawan-kawan, di tengah-tengah barisan ribuan rakyat, “Gerakan Kemerdekaan Gorontalo-Indonesia” ditegakkan dengan gagah berani. Dalam hitungan jam, Merah Putih berkibar; Indonesia Raya menggema di seantero kota Gorontalo. Ketika itu, Nani Wartabone tampil dengan pakaian pandu (celana pendek dan topi lebar) dengan memanggul senapan dua laras. “Mulai hari ini, 23 Januari 1942, kita telah merdeka dari pemerintah kolonial Belanda serta lenyaplah kekuasaan pemerintah Belanda. Kita sudah merdeka! Kekuasaan sepenuhnya berada di tangah Pemerintah Rakyat. Kekuasaan Pemerintah sepenuhnya berada di tangan Pucuk Pimpinan Pemerintah Gorontalo (PPPG)”.

Pengakuan penting atas peristiwa ini merujuk beberapa pencatat sejarah belakangan menjadi penting dikaji dan dimaknai lebih jauh. Dituliskan bahwa: “penaikan bendera Merah Putih secara resmi dan penggunaan lagu Indonesia Raya secara ofisial itu adalah suatu peristiwa kebangsaan tentang kemerdekaan Indonesia yang dicetuskan untuk pertama kalinya dalam abad ke-20, yang mempunyai status daerah de facto serta alat-alat kekuasaan yang riil” (Berita Republik, Januari 1964).

Sayang sekali, kemerdekaan Indonesia di Gorontalo ini, dilumpuhkan kembali dengan hadirnya Jepang di Gorontalo. Sekitar April 1942, Jepang mulai menguasai Manado dan Minahasa. Pasukan sipil Jepang pun sudah memasuki Gorontalo, tak lama setelah Laksamana Yamada tiba di pelabuhan Kwandang pada 5 Maret 1942.

Lagu Indonesia Raya tetap dinyanyikan di hadapan sang Laksamana. Inilah peristiwa pertama lagu Kebangsaan dihadirkan di hadapan bangsa lain, Jepang (Nur, 1978). Tak lama setelah itu, datanglah kapal serdadu Jepang dengan senjata modern di Gorontalo.

Pada Mei 1942, kekuasan Nani Wartabone dan sistem pemerintahan merdekanya diambil-alih Jepang dengan paksaan bayonet. Indonesia Raya dilarang dinyanyikan (digantikan dengan lagu Kimigayo), Merah Putih diganti dengan bendera Nippon (Hinomaru). Pada akhirnya, pejuang-pejuang Gorontalo ditangkap dan dikirim dipenjara di Manado.

Banyak di antara mereka yang wafat dalam siksaan hingga akhirnya Jepang menyerah pada Agustus 1945. Di Gorontalo sendiri, kebencian rakyat sangat tinggi karena keganasan serdadu Jepang. Semua urusan dan penghidupan rakyat diatur dan diperiksa, dengan sistem “surat ijin” Jepang, dst. Pada suatu saat, polisi Jepang dibunuh oleh seorang pemberani dari Limboto bernama Palalu dan anak-anaknya. Konon makam beliau ada di Bakia, jln. Cendrawasih (Said, 1982).

Saat ini, pertanyaan baru sudah sewajarnya kita ajukan: patriotisme apa yang relevan di Abad Asia ini? Akan kita apakan patriotisme “23 Januari 1942” untuk generasi baru Gorontalo? Mari kita bahas lebih jauh. ***

Penulis adalah Fellow di Lembaga Kajian Sekolah dan Masyarakat (LekSEMA)
Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
E-mail: basriamin@gmail.com

Tags: basri aminpersepsispektrum sosialTulisan Basritulisan persepsi

Related Posts

Basri Amin

Gorontalo, Jangan “Lari” di Tempat

Monday, 1 December 2025
M. Rezki Daud

Guru Pejuang di Gorontalo

Wednesday, 26 November 2025
Rohmansyah Djafar, SH., MH

Subjektivitas Penilaian Hasil Capaian Kinerja ASN: Kelalaian atau Sentimen ? 

Monday, 24 November 2025
Basri Amin

Senggol-Senggolan di Pemerintahan

Monday, 24 November 2025
Pariwisata Gorontalo: Potensi Ekonomi, Ancaman Ekologis, dan Risiko Greenwashing Tourism

Pariwisata Gorontalo: Potensi Ekonomi, Ancaman Ekologis, dan Risiko Greenwashing Tourism

Friday, 21 November 2025
Basri Amin

Pemimpin “Perahu” di Sulawesi

Monday, 17 November 2025
Next Post
Ikan yang dijual pedagang di Tempat Pelelangan Ikan Kota Gorontalo, Ahad (21/1). (Hamdan Abubakar)

Harga Ikan Mulai Naik

Discussion about this post

Rekomendasi

Personel Samsat saat memberikan pelayanan pengurusan pajak di Mall Gorontalo.

Pengurusan Pajak Kendaraan Bisa Dilakukan di Mall Gorontalo

Monday, 1 December 2025
Personel Satuan Lalu Lintas Polresta Gorontalo Kota mengamankan beberapa motor balap liar, Ahad (30/11). (F. Natharahman/ Gorontalo Post)

Balap Liar Resahkan Masyarakat, Satu Pengendara Kecelakaan, Polisi Amankan 10 Unit Kendaraan

Monday, 1 December 2025
Anggota DPRRI Rusli Habibie bersam Wagub Gorontalo Idah Syahidah RH. (Foto: dok pribadi/fb)

Rusli Habibie Ajak Sukseskan Gorontalo Half Marathon 2025, Beri Efek ke UMKM

Friday, 28 November 2025
ILustrasi

Dandes Dataran Hijau Diduga Diselewengkan, Dugaan Pengadaan SHS Fiktif, Kejari Segera Tetapkan Tersangka

Monday, 13 January 2025

Pos Populer

  • Rita Bambang, S.Si

    Kapus Sipatana Ancam Lapor Polisi

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Senggol-Senggolan di Pemerintahan

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Ruang Inap Full, RS Multazam Bantah Tolak Pasien BPJS

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • GHM 2025, Gusnar Nonaktifkan Kadispora

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Dugaan Persetubuhan Anak Dibawah Umur, Oknum ASN Gorut Dibui

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
Gorontalopost.co.id

Gorontalo Post adalah Media Cetak pertama dan terbesar di Gorontalo, Indonesia, yang mulai terbit perdana pada 1 Mei 2000 yang beral...

Baca Selengkapnya»

Kategori

  • Boalemo
  • Bone Bolango
  • Disway
  • Ekonomi Bisnis
  • Gorontalo Utara
  • Headline
  • Kab Gorontalo
  • Kota Gorontalo
  • Kriminal
  • Metropolis
  • Nasional
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Pendidikan
  • Persepsi
  • Pohuwato
  • Politik
  • Provinsi Gorontalo

Menu

  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer
  • Privacy Policy

© 2025 PT. Gorontalo Cemerlang - Gorontalo Post by Div-TI.

No Result
View All Result
  • METROPOLIS
  • PERISTIWA
  • EKONOMI BISNIS
  • SPORTIVO
  • KORAN DIGITAL

© 2025 PT. Gorontalo Cemerlang - Gorontalo Post by Div-TI.