Gorontalopost.id, GORONTALO – Wali Kota Gorontalo, Marten Taha, bersama enam kepala daerah lainya di Indonesia, seperti Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E Dardak, Wali Kota Padang Hendri Septa, Wali Kota Tarakan Kahirul, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim, menggugat Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan itu berkaitan dengan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagaimana yang diatur dalam pasal 201 ayat 5.
Pasal itu berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai tahun 2023”.
Ketentuan itu, memastikan masa jabatan Wali Kota Gorontalo, Marten Taha, dan Wakil Wali Kota Gorontalo, Ryan F Kono, yang merupakan hasil Pilwako tahun 2018 akan berakhir bulan depan, atau terpangkas kurang lebih enam bulan.
Padahal, Marten dan Ryan, dilantik sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Gorontalo, nanti pada 2 Juni 2019, artinya baru genap lima tahun pada tanggal yang sama di 2024 mendatang.
Kepada wartawan Wali Kota Gorontalo, Marten Taha, Ahad (19/11) mengatakan, ketentuan pasal 201 ayat 5 itu, tidak sesuai dengan konstitusi lainya.
Sebab masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah itu, berlaku lima tahun sejak tanggal pelantikan.
“Sebenarnya bukan gugatan, tetapi meminta penafsiran ke MK apakah itu melanggar konstitusi atau tidak.
Menurut kami ini melanggar konstitusi, dikarenakan ada beberapa kepala daerah yang dilantik di tahun setelah pilkada serentak,”ujarnya.
” Di dalam konstitusi kan bahwa jabatan lima tahun. Pilkada nya memang 2018, tapi ada yang dilantik tahun 2019,”jelas Marten Taha.
Ia menyebutkan, yang dilantik di 2019 itu belum melampaui pelaksanaan Pilkada.
Hal ini berbeda dengan yang dilantik di 2020, dimana akan berakhir di desember 2024, dikarenakan sudah melewati masa Pilkada.
“Pada saat itu sudah ada kepala daerah yang terpilih, yang terbaru, kalau yang di 2018, walaupun ia dilantik di 2019 belum sampai pada Pilkada (serentak), jadi tidak mengganggu Pilkada,” lanjutnya.
Sebagai pengurus asosiasi pemerintah kota seluruh Indonesia (Apeksi) Marten bersama Wali Kota Bogor, Wali Kota Tarakan, Wali Kota Padang, mengajukan permohonan penafsiran ke Mahkamah Konstitusi.
Hal ini turut disertai pula oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, dan Gubernur Maluku.
“Semuanya kami serahkan kepada ketentuan mahkamah, apakah disetujui atau diterima.
Tapi sidang pendahuluan sudah selesai, hari selasa mau ada sidang kedua, sesudah itu nanti mungkin pertengahan Desember sudah ada keputusan akhir,” tutupnya.
Dijelaskan Marten Taha, ia bersama Wakil Wali Kota, Ryan F Kono, memang merupakan hasil Pilwako tahun 2018, tapi baru dilantik pada tahun 2019, tepatnya 2 juni 2019.
Dalam ketentuan konstitusi, masa tugas berlangsung selama lima tahun sejak tanggal pelantikan.
Ia melihat ada yang janggal dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Pilkada, sehingga bersama para kepala daerah lainya, membawa aspirasi itu ke MK.
“Jika ada warga yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan, dia bisa mengadu ke MK. Makanya kami diterima,” ucapnya.
Ketua MK Suhartoyo yang memimpin sidang bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihat Majelis Sidang Panel, memberikan sejumlah catatan bagi para pemohon.
Saldi dalam nasihatnya memberikan lima poin catatan terkait gugatan ketujuh kepala daerah tersebut.
Salah satunya, dia meminta pemohon untuk menguraikan tahapan dimulainya pilkada dan tahapan pemungutan suara hingga pengambilan sumpah.
“Sebab ini sangat relevan dikaitkan dengan petitum yang diajukan.
Pastikan ini karena pemungutan suara beritanya akan digeser dari November ke September, itu perlu elaborasi dari para pemohon.
Sehingga apa yang dikemukakan dalam petitum dapat diuraikan dari tahapan pilkada itu,” jelas Saldi. (tro/hargo)
Comment