Oleh:
Arifasno Napu*
“Salam Gizi”, (jawabannya) “Sehat Melalui Makanan”.
Adalah benar bahwa apakah Gorontalo berfalsafah “Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah”? Regulasi apa yang mengindahkannya atau bahkan merendahkannya? Bukankah desakan kehadiran atau lahirnya Provinsi Gorontalo menjadi euforia yang tak terbendung karena kesamaan budayanya? Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita sekalian, Aamiin!
Alhamdulillah, penulis sebelum merantau ke berbagai daerah dalam waktu lebih dari sepuluh tahun, telah dicapai rencana mengelilingi Gorontalo sekalipun hanya melalui pengembaraan yang penuh dengan kesahajaan. Baru sebagian kecil yang diketahui bahwa ternyata Gorontalo yang masih terdiri dari 2 daerah yakni Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo punya kekayaan kaya alam dan budayanya serta merupakan daerah yang religius.
Begitu besar dan nampak terbaca dari kejauhan baik di Bandara, di Jalan atau sedikit tempat umum tertulis selamat datang di daerah berfalsafah, Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah”. Ada juga tulisan falsafah ini hanya di bawah iklan produk rokok tertentu. Dan di tempat-tempat umum lainnya dijumpai pandangan yang belum sesuai dengan falsafahnya diantaranya adab berpakaian, bahkan mengkonsumsi minuman beralkohol.
Telah banyak dan berulang-ulang dalam diskusi-diskusi formal, non formal dan informal yang pesertanya adalah siswa, mahasiswa, ASN, akademisi, birokrat pejabat, para pelaku keamanan anggota TNI dan POLRI, Satpam, pihak swasta bahkan masyarakat umum lainnya menanyakan mengapa Gorontalo menjadi daerah yang tinggi pengkonsumsi minuman beralkohol? Bahkan ada yang menanyakan “Terpatri bahwa Gorontalo dijuluki “Serambi Madinah”, mengapa tidak seperti Nangro Aceh Darussalam sebagai daerah “Serambi Makkah” adalah terendah mengkonsumsi minuman beralkohol?
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 pada penduduk umur ≥10 tahun bahwa pengkonsumsi alkohol tertinggi di Indonesia adalah Sulawesi Utara sebanyak 16%, kedua NTT sebanyak 15.6%, ketiga Bali 14% dan ke Empat adalah Provinsi berfalsafah “Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah” yang dijuluki Daerah Serambi Madinah yakni Gorontalo sebanyak 11.3%. Sementara Provinsi Aceh Darussalam yang dijuluki Serambi Makkah hanya 0.4%.
Kajian penulis di masyarakat, bahwa Gorontalo kaya dengan ritual budayanya apakah yang sifatnya religius dan supranatural yang terkait dengan alam gaib, tetapi sama sekali ritualnya tidak menggunakan minuman beralkohol. Artinya memang di Gorontalo tidak ada tradisi mengkonsumsi minuman beralkohol dibuktikan dengan tidak ada pabrik atau tempat pembuatan cap tikus. Yang ada hanya pembuatan gula aren untuk digunakan secara lokal dan dikirim ke daerah lain. Sayangnya daerah lain termasuk tetangga Gorontalo ada yang menjual minuman beralkoholnya seperti cap tikus, karena di daerah mereka sebagai souvenir atau cendra mata untuk para tamu dan sebagai sumber pendapatan. Gorontalo menjadi lahan subur untuk pendistribusiannya atau tempat pemberian souvenir. Di manakah letak falsafah adat Gorontalo?
Seseorang mengkonsumsi minuman beralkohol akan berada pada kondisi mabuk, sehingga sudah tidak menyadari apa yang akan diperbuatnya. Terjadilah penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, bunuh diri, bahkan pemutilasian. Kejadian ini bukan hanya antara teman dengan teman, bukan hanya dengan orang yang tidak dikenal, bahkan orang yang melahirkan dan membesarkannya yakni kedua orang tuanya malah menjadi korban penganiayaan, sampai berakhir pada pembunuhan. Ada juga dengan mabuk, malah anaknya sendiri dijadikan korban pemerkosaan bahkan sebagai korban pembunuhan. Sementara kalau orang mabuk dengan minuman beralkohol hanya termasuk tindak pidana ringan. Ditunggu, nanti sudah terjadi pembunuhan atau tindakan kriminal lainnya baru dikenakan sanksi.
Gorontalo dan Aceh sangat jauh berbeda regulasinya tentang minuman beralkohol, karena di Aceh dilatari oleh kekuatan masyarakat dan ajarannya bahwa minum minuman beralkohol pasti merusak kesehatan, mempengaruhi kecerdasan, emosional, bahkan mempengaruhi semua aktivitas hidup.
Sebagai manusia yang pancasialis bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa apakah masih diketahui bahwa minuman beralkohol itu berbahaya secara lahir, bathin, sosial, budaya, ekonomi, bahkan dilarang agama tertentu? Merokok saja ada larangannya, demikian pula mengkonsumsi narkoba konsekuensinya sangat berat.
Perbedaan regulasi di Gorontalo dengan di Aceh bertumpu pada kata “larangan”. Di Gorontalo hanya merupakan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol artinya bahwa minuman beralkohol itu legal dan bahkan menjadi sumber pendapatan daerah? Selanjutnya bahwa kata “dilarang” berorientasi bila telah dikonsumsi alkohol tersebut, dan bentuk larangan bukan berdampak hukuman. Sementara di Aceh, regulasi yang ada memang jelas-jelas ada kata larangan adanya produsen minuman beralkohol, adanya distribusi dan adanya konsumsi minuman beralkohol. Perbedaan regulasi diantaranya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Isi Regulasi Tentang Minuman Beralkohol Di Gorontalo dan Aceh
| Regulas di Gorontalo | Regulasi di Nangro Aceh Darussalam |
| PERDA PROVINSI GORONTALO NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL | QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA |
| Pasal 16. Setiap orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol yang menyebabkan kandungan alkohol dalam darahnya melebihi 50 mg/CI (0,5%) dilarang :
a. Berkeliaran di tempat umum, fasilitas umum, dan jalan; b. Mengendarai/mengemudikan kendaraan bermotor; c. Mengoperasikan mesin yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri sendiri dan/atau orang lain; d. Menggunakan peralatan yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri sendiri dan/atau orang lain; dan e. Membuat kegaduhan, keributan, mengganggu ketenangan dan ketentraman.
|
Pasal 7
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku juga bagi badan hukum dan atau badan usaha yang dimodali atau mempekerjakan tenaga asing.
Pasal 8 Instansi yang berwenang menerbitkan izin usaha hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat lain dilarang melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan sejenisnya.
|
Falsafah Gorontalo tidak bertentangan dengan dasar Negara RI yakni sila Pertama “Ketuahan Yang Maha Esa; tidak bertentangan dengan UUD 1945 yakni melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bukankah ini bertujuan untuk memajukan kesehateraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sudah banyak bukti kemudhoratan, yang merugikan dan berkesinambungan karena mengkonsumsi minuman beralkohol. Oleh karena itu, kemarin, hari ini dan bahkan besok apakah penting pemerintah membuat regulasi tentang minuman beralkohol yang didasari Falsafah daerah Gorontalo dengan mencantumkan kata “larangan” seperti regulasi di Aceh? Tentunya akan menata semua unsur kehidupan yang ada di bumi Gorontalo berdasarkan falsafah adat yang tidak diingkari. Semoga Allah SWT, Tuhan YME memberikan petunjuk kebenaran yang rasional dan ilmiah kepada kita semuanya, Aamiin. (*)
Penulis adalah Pengamat Gizi dan Kesehatan. Mengajar Ilmu Gizi, Kesehatan, Olahraga, Budaya di Perguruan Tinggi, Ketua Pergizi Pangan Indonesia Gorontalo, Wakil Ketua Kwarda Gorontalo, Pembina DPD PERSAGI Gorontalo, Ketua Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI) Provinsi Gorontalo, Dosen Poltekkes Gorontalo.










Discussion about this post