Gorontalopost – Deprov Gorontalo rupanya belum menyerah. Dalam mendukung peningkatan status rumah sakit provinsi Hasri Ainun Habibie menjadi tipe B. Meski dua opsi pembiayaan peningkatan status rumah sakit, terhenti di tengah jalan. Padahal sudah disetujui Deprov. Yaitu opsi pendanaan melalui pola kerjasama pemerintah daerah dengan badan usaha (KPDBU) dan pinjaman dana pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Upaya terbaru yang ingin dilakukan yaitu memberikan dukungan melalui pendanaan APBD.
Ini tercetus setelah panitia khusus (Pansus) Deprov Gorontalo yang mengkaji laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur 2022 mengunjungi RS Ainun, akhir pekan lalu.
Ketua Pansus, Sun Biki mengutarakan, salah satu rekomendasi yang akan dilahirkan Pansus adalah meminta agar dana SILPA dalam perubahan APBD 2023 bisa mengalokasikan anggaran Rp 5 -30 miliar untuk mendukung peningkatan fasilitas di rumah sakit Ainun. Anggaran ini diperlukan karena rumah sakit Ainun mengalami kendala dalam mengoptimalkan layanan kesehatan karena hambatan sarana prasarana.
“Misalnya keterbatasan untuk layanan rawat jalan. Pada tahun lalu jumlah pasien rawat jalan mencapai 30 ribu. Angka ini meningkat hampir 100 persen dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar 16 ribu. Sementara fasilitas yang tersedia sangat terbat,” ujarnya.
Sun Biki mengatakan, keterbatasan sarana pendukung ini harus diatasi melalui pendanaan APBD. Bila kebutuhan sarana prasarana terpenuhi dengan sendirinya akan mendorong peningkatan status rumah sakit provinsi dari tipe c ke tipe B.
“Kita ingin mendorong status rumah sakit provinsi meningkat menjadi tipe B,” ujarnya.
Lebih jauh Sun Biki menguraikan, Pansus memberikan perhatian khusus terhadap peningkatan layanan di rumah sakit, karena berhubungan dengan capaian dan indikator pelayanan di sektor kesehatan.
“Kalau pelayanan di rumah sakit Ainun optimal maka dengan sendirinya akan memberikan dampak signifikan terhadap capaian kinerja pemerintah provinsi di bidang kesehatan,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Provinsi dr. Friyanto Rajak mengakui, pihaknya memang masih mengalami keterbatasan sarana prasarana pendukung. Sehingga menghambat upaya peningkatan status rumah sakit.
“Kapasitas tempat tidur kita baru sekitar 120-an. Sementara untuk jadi tipe B minimal harus 200 tempat tidur,” ujarnya.
Keterbatasan tempat tidur ini secara otomatis membuat layanan rawat inap menjadi terbatas. Friyanto mengatakan, karena rawat inap terbatas, membuat pelayanan bagi pasien di UGD menjadi tidak optimal.
“Belum lama ini, pasien di UGD penuh. Sampai-sampai ada pasien yang terpaksa harus dirawat di kursi roda. Mereka tidak bisa langsung rawat inap karena tempat tidur yang terbatas. Kami akan rujuk ke rumah sakit lain tapi pasien tidak mau,” ungkapnya.
“Makanya kami mengharapkan agar Pansus bisa memperjuangkan anggaran untuk penambahan fasilitas kesehatan. Utamanya untuk penambahan gedung rawat inap serta fasilitas pendukung lainnya,” tambah Friyanto. (rmb)












Discussion about this post