Oleh:
Hamka Hendra Noer
Menyelesaikan Ph.D Ilmu Politik dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).
Dosen Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Pendahuluan
Birokrasi, korupsi, dan kekuasaan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam kajian ilmu pemerintahan. Birokrasi adalah aktor penting dalam tata kelola pemerintahan.
Birokrasi adalah lembaga yang memiliki kuasa besar dalam ekosistem struktur pemerintahan modern. Dengan kekuasaan yang besar itu, sangat mudah untuk disalahgunakan.
Salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan birokrasi melalui korupsi politik. Korupsi politik dalam konteks ini, adalah menggunakan pengaruh dan jabatannya untuk memperkaya diri.
Lebih lengkapnya, korupsi adalah menawarkan, memberikan, menerima atau meminta langsung atau tidak langsung, segala sesuatu yang bernilai untuk mempengaruhi tindakan pihak lain secara tidak patut.
Pemahaman ini sangat komprehensif dalam memahami perilaku korupsi. Mengacu pada definisi tersebut, maka perilaku birokrasi dalam melakukan tugas dan fungsi sebagai pelayanan publik dan mengabdikan dirinya sebagai abdi negara bisa dengan mudah dipantau oleh masyarakat.
Pemantauan masyarakat diperlukan dalam kerangka memastikan apakah birokrasi dalam menjalankan pelayanan publik bersifat responsif, profesional, dan akuntabel. Bila birokrasi dalam memberikan layanan kepada masyarakat tidak dipandu dengan sikap profesional, maka sangat mungkin timbul pemerasan, suap, dan meminta uang pelicin kepada masyarakat.
Ini bisa terjadi karena birokrasi menguasai sumber informasi, menguasai prosedur dan keahlian teknis. Penguasaan informasi, dan keahlian teknis sangat berpeluang untuk disalahgunakan demi kepentingan diri dan kelompoknya.
Birokrasi dan Kekuasaan
Secara teoritik birokrasi dan kekuasaan satu paket dalam struktur pemerintahan modern. Sejumlah karya memperlihatkan bahwa birokrasi dan kekuasaan saling terkait.
Dengan kata lain, birokrasi itu beroperasi dalam lingkup kekuasaan yang melekat pada dirinya. Dalam pandangan Mohtar Mas’oed (1994) menunjukkan bahwa birokrasi tidak pernah beroperasi dalam “ruang hampa politik”.
Itu artinya birokrasi selalu berada dalam pusaran politik. Birokrasi adalah aktor politik itu sendiri. Penjelasan ini dibenarkan Mas’oed dengan mengatakan: ‘di negara dunia ketiga kita akan mendapati birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan’.
Sedangkan kajian klasik Harold Crouch (1987), memperlihatkan istilah kepolitikan-birokratik menyebutkan betapa kuatnya posisi birokrasi dalam pengelolaan pemerintahan Orde Baru.
Ada tiga ciri pokok kepolitikan-birokratik Orde Baru. Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol birokorsi. Ketiga, massa diluar birokrasi secara politik adalah pasif.
Mengikuti cara berpikir Crouch mengisyaratkan kekuatan birokrasi dalam struktur politik Orde Baru. Sosok birokrasi yang digambarkan Crouch membutkikan bahwa birokrasi menjelma menjadi kekuatan politik yang kuat dan sulit dikontrol oleh kekuatan parlemen, partai politik, kelompok kepentingan dan masyarakat.
Keterlibatan birokrasi dalam pusaran politik ternyata tidak hanya di Indonesia. Di Cina, semua organisasi pemerintahan (birokrasi) mempunyai kaitan sangat erat dengan tujuan partai komunis.
Sesungguhnya menurut Barnett (1989) secara subtantif organisasi tersebut berfungsi sebagai agen-agen administrasi yang menjalankan tugas atas nama partai politik komunis. Hal yang sama juga terjadi di benua Afrika.
Studi Fred W Riggs (1989) menyebutkan kuatnya pengaruh pejabat militer dan sipil dalam proses pembuatan kebijakan bagi seluruh negara. Sampai dalam tingkat tertentu para pejabat tersebut dapat diasosiasikan dengan suatu partai politik.
Sedangkan kajianMohtar Mas’oed dan Yang Seung-Yoon (2005) di Korea Selatan memperlihatkan relasi kuasa antara birokrasi dan politik.
Bahkan peran penting yang dimainkan para birokrat dalam ekonomi dan kepemimpinan politik menjadi satu kesatuan tak terpisahkan.
Birokrasi dalam pusaran kekuasaan dapat digambarkan empat model. Pertama, representative bureaucracy, dimana birokrasi bersikap responsif terhadap para pemimpin politik, dan tentu saja terhadap kemauan politik masyarakat.
Setiap prakarsa yang diambil oleh birokrasi senantiasa didasarkan atas kesadaran konsensus yang berlaku, dan perubahan hanya dapat terbentuk melalui kompetisi partai-partai politik, sebagaimana yang berlaku di negara-negara demokrasi barat.
Kedua, a party-state bureaucracy, yang terbentuk di dalam negara yang menganut sistem partai tunggal. Birokrasi negara didominasi atau dikontrol oleh aparatur partai. Atau seperti yang pernah berlaku di Soviet pada masa Stalin, baik partai maupun birokrasi berada di bawah seorang penguasa diktator.
Ketiga, a personal instrument of the bureaucracy, yaitu suatu kondisi hubungan yang menempatkan para birokrat semata-mata sebagai alat dari penguasa otokrasi atau diktator. Pengaruh yang dimiliki oleh para birokrat secara individu akan sangat tergantung pada kualitas yang dibutuhkan oleh sang penguasa.
Keempat, colonial administrations or nominal ruling person or groups, dalam hubungan ini dijelaskan bahwa birokrasi dapat memerintah, baik secara langsung sebagai administrator kolonial atau secara tidak langsung atas nama seorang atau sekelompok penguasa.
Birokrasi dan Korupsi
Birokrasi yang berada dalam pusaran kekuasaan memiliki peluang untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Birokrasi yang memiliki kuasa besar sudah barang tentu memiliki peluang untuk korupsi.
Korupsi bisa dilakukan aparat birokrasi karena pertama, korupsi terkait dengan kebutuhan atau tuntutan dari pemberi atau penyedia layanan. Sudah barang tentu tuntutan ini diperkuat dengan ancaman kerugian kepada pengguna kuasa, seperti keterlambatan penyelesaian urusan, sanksi biaya atau dipersulit berbagai prosedural.
Kedua, imbalan yang didapatkan dari hasil korupsi atau suap biasanya tidak akan dikembalikan kepada lembaga pemerintah atau pihak pemberi suap. Ketiga, subsidi pemerintah dapat dimanfaatkan untuk proyek-proyek publik, baik yang ditetapkan dengan penunjukan langsung maupun yang ditetapkan secara terbuka melalui tender.
Keempat, apabila bagian atau devisi tertentu dari birokrasi pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah tanpa adanya pengawasan eksternal dari luar birokrasi. Kelima, jika pemerintah membiarkan penggunaan pengaruh politik dan kedudukan seorang dalam proses penetapan pelaku bisnis swasta yang diperbolehkan memasuki industri publik tertentu, seperti pertambangan, televisi, dan jasa angkutan umum. Keenam, kebijakan pemerintah yang membiarkan kontrak-kontrak besar berisi pensyaratan-pensyaratan yang mudah dibelokkandan menguntungkan para kontraktor swasta (Agus Dwiyanto 2005).
Enam poin tersebut merupakan celah yang biasa dilakukan oleh para birokrat dalam melakukan korupsi dalam pemerintahan. Memanfaatkan celah kebijakan, meminta imbalan kepada masyarakat, memperjual-belikan pengaruh ini hanyalah bagian kecil mekanisme yang dilakukan birokrat dalam melakukan korupsi.
Kegagalan Reformasi Birokrasi
Dalamnya keterlibatan birokrasi pada pusaran korupsi merupakan indikasi kegagalan proyek reformasi politik dan pemerintahan.
Salah satu point dari gerakan reformasi adalah pemberantasan korupsi dalam lingkup birokrasi. Dalam catatan perjalanan reformasi, kita harus mengakui bahwa birokrasi belum banyak berubah.
Meskinpun kita sudah memiliki UU No. 30 tahun 2002 tentang pemberantasan korupsi, Instruksi Presiden RI No 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, maupun penciptaan pemerintahan yang bersih bebas KKN sebagaimana diatur dalam UU No.28 tahun 1999.
Namun, UU di atas belum mampu mengurangi jumlah secara kuantitatif aparat birokrasi dari kubangan korupsi.
Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan reformasi dalam tubuh birokrasi. Terdapat sejumlah persoalan yang mengiringi perjalanan gerakan reformasi dalam tubuh birokrasi. Pertama, persoalan pengembangan kelembgaan birokrasi yang tidak hanya berimplikasi terhadap standard operating procedures (SOP), tetapi juga kesesuaian kelembagaan dengan persoalan di luar kelembagaan birokrasi, terutama tuntutan perbaikan pelayanan, transparansi, dan rasional.
Kedua, persoalan sumber daya manusia yang merupakan basis transformasi birokrasi sesuai performance appraisal standard. Walaupun berbagai upaya sudah dilakukan, namun selalu muncul pertanyaan yang berkaitan dengan; kontribusi apa yang telah diberikan dengan berbagai prakarsa dan kegiatan tersebut terhadap praktik good governance?
Ketiga, birokrasi selalu membuat policy keuangan daerah yang lebih besar mengarah pada pengeluaran untuk pemerintah lebih besar daripada untuk kepentingan pembangunan maupun pelayanan publik kepada masyarakat.
Keempat, meskipun secara retorika para birokrasi itu selalu mengumandangkan reformasi, demokrasi, dan perlunya good governance pada kenyataannya tidak ada program yang kuat dan jelas yang mengarah pada permbedayaan masyarakat lokal.
Empat poin tersebut merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam kerangka membangun birokrasi bersih dari KKN, bisa melayani masyarakat sebagaimana mestinya, menjaga kuasa yang besar dalam dirinya agar tidak mudah diselewengkan serta perlunya kontrol dari politisi, LSM maupun masyarakat atas kinerja dan perilaku birokrasi. Birokrasi pemerintahan merupakan elemen penting dalam membangun sebuah bangsa yang besar.
Membangun Birokrasi yang Bersih
Dengan melihat keterlibatan birokrasi dalam pusaran korupsi sudah barang tentu kita merasa kesal, marah, benci, bahkan menghina lembaga birokrasi. Kemarahan kita bisa terbaca dalam kalimat Halperin & Clapp (2006)yang menyatakan: “hal itulah yang membuat lembaga-lembaga birokrasi dipandang rendah, dibenci, dan ditolak oleh masyarakat”.
Penilaian ini perlu dibaca dalam konteks kemarahan atas kinerja dan perilaku birokrasi dalam memberikan layanan kepada masyarakat.Meskipun demikian, sikap optimis kita untuk membangun birokrasi yang bersih dan bermartabat masih perlu diteruskan.
Adapun langkah-langkah yang bisa dilakukan adalah pertama, secara keseluruhan memberantas penyalahgunaan wewenang dalam bentuk KKN menjadi prioritas utama dalam tubuh birokrasi.
Kedua, meningkatkan kualitas kerja birokrasi negara. Ketiga, program pelaksanaan pemerintahan yang baik dan berwibawa perlu dikawal secara terus menerus dalam lingkungan birokrasi.
Keempat, melakukan restrukturisasi birokrasi, baik akibat policy negara maupun untuk kepentingan efisiensi birokrasi daerah itu sendiri.
Kelima, menyempurnakan tata laksana baik yang bersifat internal maupun antar lembaga yang ada. Keenam, membentuk sistem pendayagunaan sumberdaya manusia yang efektif untuk mendukung pembaharuan tata pemerintahan yang baik.
Ketujuh, mewujudkan sumberdaya aparatur yang kompoten, profesional dan sejahtera. Kedelapan, membuat sistem pengawasan yang efektif, transparan, dan akuntabel. Kesembilan, mengembangkan budaya organisasi yang ramah dengan budaya perusahaan.
Kesemua poin tersebut merupakan kerangka kerja dalam membangun birokrasi yang profesional, efektif, akuntabel, dan transparan. Birokrasi yang transparan dan akuntabel sangat diperlukan untuk memastikan kerja-kerja birokrasi yang baik dan bebas dari perilaku koruptif.
Pemahaman ini hadir sebagai bentuk penjelasan bahwa birokrasi itu memiliki kuasa besar dan tidak kuat dengan godaan politik. Dengan kekuatan dalam dirinya—para birokrat bisa saja ‘berselingkuh’ dengan politisi atau birokrat itu sendiri menjadi bagian dari politisi itu sendiri.
Bila kaum birokrat menjadi bagian dari politik, maka sudah barang tentu kekuasaan yang besar dalam dirinya akan mudah disalahgunakan.
Untuk mencegah hal itu, maka dibutuhkan adalah pengawasan dari masyarakat sipil (LSM), dan mengetatkan ruang geraknya melalui regulasi.
Membatasi ruang gerak birokrasi dalam politik praktis diatur dalam UU. Karena itu, melalui jalan inilah sosok birokrasi yang baik, akuntabel dan transparan bisa di bangun.Wallahualam bish-shawab.










Discussion about this post