Gorontalopost.id – Kasus bantuan sosial (Bansos) Bone Bolango tahun 2011-2012 kembali diseriusi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo. Kasus ini sendiri mendapat antensi langsung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah kasus dugaan korupsi yang disupervisi KPK di Gorontalo, salah satunya adalah kasus Bansos Bone Bolango. Rabu (30/11), Bupati Bone Bolango Hamim Pou diperiksa tim Adhyaksa.
Informasi yang dihimpun, pemeriksaan terhadap Hamim Pou dilakukan sejak pagi hingga menjelang zuhur, tepatnya serkira pukul 08.30 wita, hingga 11.30 wita. Hamim diperiksa, kapasitasnya sebagai saksi.
Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat (Kasi Penkum dan Humas) Kejati Gorontalo, Dadang Djafar, kepada wartawan mengatakan, Hamim Pou memberikan keterangan sebagai saksi terkait pelaksanaan pemberian dana bantuan sosial (Bansos) Kabupaten Bone Bolango yang saat itu kapasitas saksi selaku Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kabupaten Bone Bolango pada tahun 2011 s/d 2012.
“Penyidik melakukan pemeriksaan terhadap pak HP di gedung kotak selama tiga jam, dalam hal sebagai saksi yang pada saat itu selaku pelaksana tugas Bupati Bone Bolango,”ujar Dadang.
Materi pemeriksanaanya yakni berkaitan dengan mekanisme pemberian bantuan dana Bantuan Sosial kepada Masyarakat Kabupaten Bone Boalango. Lebih lanjut mantan Kasi Pidsus Kejari Limboto ini menambahkan, setelah dilakukan pemeriksaan oleh tim jaksa penyidik tindak pida khusus, Hamim diperbolehkan pulang. Kendati begitu, penyidik bakal melakukan panggilan kembali, jika ada keterangan tambahan yang diperlukan.
Sebelumnya Kuasa hukum Hamim Pou, DR. Duke Arie W, SH.,MH.,CLA angkat bicara soal sprindik baru kasus dana Bansos Bonbol, dan adanya pernyataan soal putusan Mahkahah Agung (MA) mengenai SP3 kasus yang melibatkan Hamim Pou, tidak sah dan batal demi hukum. DR. Duke menegaskan, MA tidak pernah membuat putusan mengenai SP3 Kasus Bansos dengan menyatakan tidak sah dan batal demi hukum, yang benar adalah putusan Praperadilan pada Pengadilan Negeri Gorontalo tanggal 4 Juni 2018, melalui perkara nomor 3/Pid.Pra Peradilan/2018/PN.Gto. “Jadi tidak benar MA membuat putusan mengenai SP3,”tegas Duke.
Selain itu, kuasa hukum Hamim Pou itu juga menguraikan sejumlah hal penting yang perlu diketahui khalayak umum, agar isu yang beredar tidak ditelan secara mentah. Dr. Duke menjelaskan, putusan praperadilan melalui perkara nomor 3/Pid.Pra Peradilan/2018/PN.Gto dinilainya terdapat kejanggalan. “Sehingga klien kami (Hamim Pou) melaporkan ke Komisi Yudisial RI. Atas laporan klien kami tersebut akhirnya pada tanggal 6 Januari 2020 berdasarkan Putusan Komisi Yudisial RI Nomor 0231/L/KY/IX/2018 dalam salah satu amar putusannya menyatakan, terlapor EN, terbukti melanggar Angka 8 dan Angka 10 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim jo Pasal 12 dan 14 Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor
02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,” jelas Dr. Duke. Atas dasar putusan dari Komisi Yudisial itu, jelas menunjukkan bahwa putusan praperdilan merupakan putusan yang non executable (eksekusi yang tidak dapat dijalankan). (roy)












Discussion about this post