Oleh
Basri Amin
Masih banyak yang belum tahu bahwa Gorontalo sudah mempunyai dasar legal guna melakukan loncatan jauh untuk urusan Literasi. Bisa jadi Gorontalo adalah satu-satunya provinsi yang punya Peraturan Gubernur (Pergub) Literasi daerah. Pergub Gorontalo No. 22 Tahun 2018 Tentang “Penetapan Bulan Literasi Daerah”, pada Bab IV, Pasal 6 ayat (1), menetapkan bahwa “Bulan Literasi Daerah adalah November”. Naskah lengkapnya terbaca jelas di website BPK: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/85363/pergub-prov-gorontalo-no-22-tahun-2018.
Kini yang kita butuhkan adalah gerakan nyata yang konsisten, sungguh-sungguh, dan berkelanjutan. Jangan khianati Literasi Gorontalo!
Sebagai orang yang terlibat sejak 2011 meriset tentang jejak-jejak literasi Gorontalo dan sekian tahun berupaya meyakinkan banyak pihak, tentulah bangga dan memberi apresiasi atas legitimasi Pergub No. 22/2018 tersebut untuk (gerakan) Literasi di Gorontalo. Meski demikian, para penggiat, pekerja, dan pecinta Literasi di lapangan adalah pihak yang paling menentukan sukses-tidaknya cita-cita “pencerdasan bangsa” ini di alam nyata.
Kata “Indonesia” sudah dipakai oleh kalangan terdidik Gorontalo sejak tahun 1932. Bahkan mungkin tak lama setelah gerakan kebangsaan bergerak di tanah Jawa, wawasan Indonesia sudah terterima di Goronalo. Itulah yang bisa kita baca dalam jurnal Po-noewa, setidaknya pada edisi ke-4 dan ke-7. Setelah lebih 85 tahun, sosok Po-Noewa kini akhirnya bisa menjadi dasar ilmiah dalam menentukan jejak awal Literasi Gorontalo; sebagaimana dirujuk dalam Pergub Gorontalo No. 22/2018, bab IV pasal 6 ayat (2). November tahun ini, jejak Po-Noewa Gorontalo sudah 90 tahun.
Jelas sekali bahwa tradisi intelektual dan biografi daerah ini tak bisa dipandang sebelah mata. Apa buktinya? Adalah Po-noewa!. Tepat pada 30 November 1932, terbitan cetak pertama dari tangan-tangan putra terbaik Gorontalo lahir. Majalah itu bernama: Poe-noewa! Mereka adalah generasi terdidik pertama daerah ini. Ini adalah bukti sejarah paling awal dan nyata mengenai karya intelektual dan pencapaian literasi Gorontalo yang pernah dihasilkan oleh tangan-tangan terbaik Gorontalo.
Gorontalo Instituut (GI) adalah perserikatan yang melahirkan jurnal Po-noewa, yang dicetak oleh Yo Un Ann Gorontalo. Mereka tidak banyak, kurang lebih 15 orang. Organisasi ini berdiri pada 14 Agustus 1932, dengan susunan pengurus: A. Uno, J.J. Hatibi, L. Dunggio, Aboebakar Datau dan K. Dungga. Pengurus dibantu oleh beberapa agen: Bl Biki (Limboto), Max Uno (Kwandang) dan D.M. Lahay (Suwawa). Organisasi ini bertujuan: memajukan ilmu pengetahuan, menyelidiki dan menjawab soal-soal mengenai pergaulan umum, ekonomi, budaya dan adat istiadat, serta kemajuan umum uduluwo lo limolopohalaa (Gorontalo). Dengan cita-cita itulah, GI akan mendirikan Balai Pustaka (bibliothek, museum Gorontalo, dll).
Po-Noewa terbit setiap bulan yang berisi naskah-naskah pidato/ceramah atau sejenis pengkajian terbatas yang disampaikan oleh orang-orang Gorontalo terpilih pada masa itu. Setiap peserta bisa memberikan tanggapan melalui tulisan, tidak melalui komunikasi langsung. Dewan redaksi Po-Noewa yang akan menyeleksi penerbitan setiap naskah ceramah, demikian juga dengan tanggapan tertulis dari peserta. Terbitan terakhir Po-Noewa adalah edisi ke-8, bulan Juni 1933. Sejak terbitnya pada November 1932 s.d. Juni 1933, jumlah halaman Po-Noewa adalah ±186 halaman. Kantor redaksinya bertempat di Reksoseomitro – Gorontalo. Hingga terbitan ketiga, pelanggan Ponoewa sekitar 53 orang dan tercetak untuk sekitar 120 orang pembeli, yang tersebar dari Kwandang, Suwawa, Bendar, Limboto, Tomini dan Manado
Kita butuh membaca kembali kalender peradaban kita. Perkembangan Gorontalo pada awal 1920an hingga memasuki pertengahan 1930an adalah sebuah periode yang penting dipelajari dan dipahami. Di satu sisi cengkraman kolonial masih berlangsung, tapi di sisi lain telah terjadi kebangkitan generasi terdidik awal pribumi yang telah berhasil mengecap pendidikan modern. Uniknya lagi karena pada saat yang sama terbentuk jaringan-jaringan organisasi keagamaan dan kebangsaan antara Jawa dan luar Jawa, yang didukung oleh munculnya penerbitan-penerbitan tulisan yang teroganisasi. Keadaan inilah yang menjadi landasan berperannya elite baru. Jumlah mereka memang sangat sedikit tapi berhasil membentuk pemahaman dan hubungan-hubungan baru di masyarakat
Tidak semua peristiwa mampu direkam oleh media cetak, tapi sesederhana apa pun itu cakupannya ia bisa mewakili jagad keadaan dan pemikiran pada setiap masa. Bahkan pada beberapa bagian, media pribumi -–terutama yang berbahasa Melayu—berada pada pencapaian nalar, investigasi dan karya jurnalistik yang luar biasa, seperti terlihat pada “Soerat Chabar Betawie” tahun 1858, surat kabar “Bintang Timoer” di Padang tahun 1865 dan “Tjahaya Sijang” tahun 1869 di Manado. Di Gorontalo sendiri, penerbitan itu baru tampak pada 1927 dengan munculnya “Persaudara’an” (1926/1927), “Oetoesan Islam” (1927), “Al-Iman” (1932), “Peringatan” (1934), “Kewadjiban Kita” (1934) dan “Seroean” (1941) (Lapian, dkk, 1980).
Setelah periode ini, tradisi menulis dan penerbitan di Gorontalo terus berlanjut. Bisa dikatakan, sebagai mana terlihat dari visi penerbitannya, media cetak Gorontalo sangat “Republikein”. Dalam daftar Kementerian Penerangan tahun 1953, terbitan Gorontalo tercatat pada periode 1945-1949 berjumlah 12 buah: Suara Nasional, Tjahaja Merdeka, Sinar Merdeka, Suara Rakjat, Kilat, Kesatuan, Suara Pemuda, Lukisan Masjarakat, Kebenaran, Kita, Adil, dan Insjaf. Tokoh-tokoh pers Gorontalo pada periode itu, antara lain: Amin Larekeng, M. Imran, Is Datau, M.S.Ointoe, A.R. Onge, A. Tumu, S. Musa dan Usman Monoarfa.
Telaah kesejarahan hanya diperlukan ketika hendak “memperingati” sesuatu. Di sisi lain, sejarah makin identik dengan sebuah “cerita besar” oleh orang-orang besar. Sayangnya, kalau kita menengok ke tingkat lokal, barangkali termasuk di Gorontalo, cukup terasa bahwa sejarah kita terasa amat sedikit. Bukti-bukti sejarah kita bahkan makin ‘sekarat’ (dokumen, artefak fisik, biografi, arsip-arsip, dst).
Pada tingkat tertentu, Gorontalo kita cukup sunyi karya-karya tulis sejarah yang bermutu, dan kalau pun ada beberapa, sangat terasa bagaimana sambutan publik dan kalangan atas, termasuk pemerintah daerah dan kalangan terdidik, relatif terbatas. Tak banyak yang peduli dengan konsisten. Dengan dasar data itulah, Po-Noewa bisa dijadikan sebagai tonggak perubahan penting dalam kesadaran dan gerakan pencerdasan bangsa di Gorontalo menuju masa depan.
Melalui jejak generasi literer pertama di daerah ini, aspirasi untuk mengukuhkan tradisi intelektual dan kesadaran peradaban Gorontalo dikukuhkan (kembali) dan dijadikan sumber inspirasi dan momentum untuk melangkah lebih jauh di berbagai arena kehidupan di tingkat nasional dan global. Jarak ke masa lalu (time and social distance, Zerubavel, 2004) akan membawa resiko ketika kita tak menjadikannya sebagai “ruang komunikasi” bersama ke masa depan.
November –-jika konsisten dikonversi menjadi momentum edukasi—, sangat potensial membesarkan kekuatan simbolik dan berdampak kolektif bagi visi pendidikan, wawasan kultural dan keharmonisan sosial keGorontaloan dalam percaturan nasional dan global. Dengan adanya “Bulan Literasi” –sebagai penegasan bulan literasi November itu–, maka Gorontalo mempunyai “konektor” pencerdasan bangsa yang sifatnya langsung, menyentuh dan meluas. Ini sekaligus membentuk brand tentang misi Gorontalo menggerakkan arah masa depannya. Ini pun nyambung karena kita berkepentingan dengan momentum Desember, HUT Provinsi Gorontalo di bulan Desember. Setelah itu, kita semakin patenkan Gerakan Merah Putih – Hari Patriotik 23 Januari 1942. Mari segera kita pikirkan sebuah kalender daerah yang punya ruh dan arah jelas ke masa depan. ***
Penulis adalah Managing Directore, Lembaga Kajian Sekolah dan Masyarakat (LekSEMA);
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com










Discussion about this post