banten.gorontalopost.id, SERANG – Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan telah disahkan.
PMA akan mengatur segala bentuk perbuatan seksual yang dilakukan secara fisik ataupun verbal.
Ketua Komnas Anak Provinsi Banten Hendry Gunawan mengatakan regulasi itu menjadi landasan bagi semua pihak, baik pemerintah, pengelola pendidikan, dan masyarakat umumnya.
Peraturan di bawah wewenang Kementerian Agama itu telah diundangkan per 6 Oktober 2022 tersebut disambut baik Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Provinsi Banten.
Pada dasarnya aturan baru tersebut akan membentengi dunia pendidikan jalur formal maupun non-formal seperti madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan agama lainnya.
“Tentu saja kekerasan seksual di dunia pendidikan perlu manjadi perhatian bersama. Apalagi setelah adanya PMA baru akan menjadi dasar perlindungan bagi para santri atau peserta didik dari kekerasan seksual,” kata Hendry Gunawan, Minggu (16/10).
Hendry menambahkan pihaknya akan mendorong satuan pendidikan keagamaan menindaklanjuti penanganan pencegahan seksual tersebut.
“Kami akan memastikan adanya satuan tugas (Satgas) pada masing-masing lembaga pendidikan keagamaan,” ujarnya.
Dia menjelaskan berpacu pada pangkalan data pondok pesantren (PDPP) bahwa ada 4.579 ponpes yang terdaftar se-Banten.
“Maka dari itu, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak baik dari pemerintah daerah, pengelola ponpes, dan masyarakat umumnya untuk mencegah Kekerasan seksual terjadi,” ucapnya.
Ke depan pihaknya akan membuat program sosialisasi serta berkoordinasi bersama dengan berbagai pihak, di antaranya Kementerian Agama Banten, MUI, FSPP, Majelis Pesantren Salafi, dan lembaga keislaman lainnya.
Dia mengatakan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten mengawali kerja sama dalam mencegah kekerasan seksual di dunia pendidikan.
Sekretaris Komnas HAM Provinsi Banten Muhammad Suswaidi menambahkan selain itu orang tua perlu menjalin komunikasi secara efektif dengan anak-anaknya, terutama bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan di luar rumah.
“Lembaga pendidikan tidak perlu melarang orang tua berkomunikasi dengan anaknya atau sebaliknya,” kata Suswaidi. (mcr34/jpnn)












Discussion about this post