Gorontalopost.id – Salah satu masalah yang kerap diadukan masyarakat ke Deprov Gorontalo yaitu persoalan fidusia. Masyarakat yang menjadi konsumen lembaga pembiayaan atau finance, kerap mengeluhkan perlakuan sewenang-wenang dari finance dalam menarik paksa kendaraan yang menjadi objek jual beli secara kredit. Hampir setiap bulan ada aduan yang masuk ke Deprov terkait persoalan fidusia tersebut.
Mencermati fenomena itu, Komisi I Deprov Gorontalo memutuskan untuk mengkoordinasikan persoalan ini ke Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Gorontalo, kemarin (13/10). Karena lembaga ini kerap dimintai sebagai saksi ahli dalam kasus fidusia yang telah bergulir ke proses hukum.
Ketua Komisi I AW Thalib usai pertemuan dengan Kepala Kanwil Kemenkum HAM Gorontalo menjelaskan, ada hal menarik yang terungkap dari pertemuan Komisi I bersama Kanwil Kemenkum HAM terkait persoalan fidusia. Ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa hal mendasar yang harus terbangun dalam jaminan fidusia adalah prinsip kerelaan. Perjanjian jual beli secara kredit harus didasari keterbukaan antara dua belah pihak yaitu kreditur dan debitur. Poin-poin perjanjian harus menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban kedua belah pihak.
“Terkadang debitur (konsumen.red) terjebak dalam perjanjian kredit. Karena lembaran perjanjian terlalu banyak, biasanya debitur langsung menandatangani perjanjian tanpa mengetahui isi perjanjian. Padahal isi perjanjian itu jelas-jelas merugikan debitur,” jelasnya.
“Harusnya sebelum debitur membubuhkan tandatangan, kreditur menyampaikan semua poin-poin perjanjian. Agar debitur tahu dan sukarela menyepakati poin-poin perjanjian. Jadi kalau ada klausul yang merugikan bisa dikoreksi,” jelasnya.
AW Thalib mengatakan, perjanjian kredit inilah yang biasanya menjadi dasar pegangan bagi lembaga pembiayaan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang baik melakukan penarikan paksa kendaraan serta melakukan pelelangan secara sepihak. Saat konsumen menunggak kredit. Padahal, lembaga pembiayaan tidak bisa melakukan tindakan semena-mena. Sebelum sampai pada penyitaan kendaraan, harusnya ada negosiasi kredit. Bisa dengan rescheduling atau keringanan lain.
“Apalagi sekarang ini kan ekonomi rakyat banyak terpukul akibat pandemi. Harusnya ada program rescheduling untuk meringankan konsumen yang kesulitan membayar angsuran atau cicilan kendaraan,” ujarnya.
Tapi kenyataanya, ada saja lembaga pembiyaan yang tidak mau memberikan kebijakan keringanan cicilan ini. Kendaraan yang menjadi objek jual beli secara kredit dilakukan penarikan paksa dengan menggunakan jasa debt colector. Saat barang sudah dalam penguasaan kreditur langsung dilakukan pelelangan. “Sehingga biasanya saat debitur sudah memiliki uang untuk membayar cicilan, finance menolaknya karena kendaraan sudah dilelang,” ujarnya.
AW Thalib mengatakan, memang persoalan fidusia ini merupakan ranah perdata. Tapi bila lembaga pembiayaan melakukan tindakan sewenang-wenang misalnya dengan melakukan perampasan barang secara paksa dengan menggunakan jasa debt colector yang tak punya sertifikasi, maka lembaga pembiayaan itu bisa digiring ke proses pidana. “Apalagi barang milik konsumen sudah dilelang secara sepihak. Ini bisa diproses pidana,” tandasnya.
AW Thalib menyadari banyak masyarakat yang masih awam dengan aturan hukum yang berkaitan dengan fidusia. Sehingga banyak yang mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari lembaga pembiayaan. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait diharapkan untuk gencar mensosialisasikan ketentuan dan regulasi yang terkait fidusia.
“Sehingga ke depan proses jual beli secara kredit atau jaminan fidusia ini bisa berjalan dengan fair dan adil. Dan paling penting perjanjian kredit dilandasi oleh prinsip-prinsip sukarela. Hak dan kewajian antara kreditur dan debitur sama-sama terpenuhi,” pungkas AW Thalib. (rmb)
Comment