Oleh:
Yusran Lapananda
Usai melumat PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian & Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Ranperda tentang RPJPD & RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD, & RKPD; & Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, saya berkesimpulan, fungsi budgeting DPRD, luntur & tak berkesesuain atau tak konsisten.
Prolog ini mengundang tanya. Mengapa demikian?. Salah satu fungsi DPRD yakni fungsi anggaran (budgeting) mulai luntur. Luntur akibat, fungsi pembahasan atas pendapatan, belanja & pembiayaan, serta program prioritas & batas maksimal anggaran untuk program, kegiatan/sub kegaiatan pada KUA/PPAS & APBD sirna. Akibat, beberapa kebijakan yang diterbitkan Pemerintah seperti SIPD (sistim informasi pembangunan/pemerintahan daerah) & kebijakan lain, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 & Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.
Untuk menghasilkan APBD, harus melalui 2 kebijakan. Pertama, kebijakan perencanaan pembangunan daerah, baik rencana pembangunan daerah, RKPD (rencana kegiatan pemerintah daerah) & rencana perangkat daerah, Renja (rencana kerja). Kedua, kebijakan penyusunan RAPBD. Untuk mendapatkan RAPBD, tahapan yang dilalui, penyusunan rancangan KUA/PPAS. Setelah itu, penyusunan RKA-SKPD. Terakhir, penyusunan Ranperda tentang APBD & Ranperkada tentang Penjabaran APBD.
Rancangan KUA/PPAS disampaikan oleh kapala daerah kepada DPRD untuk dibahas & disepakati bersama kepala daerah dengan DPRD. Sesungguhnya, tak ada lagi pembahasan KUA/PPAS, yang ada hanyalah pengecekan Pokir. DPRD tak punya “power” untuk menambah/merubah pendapatan, belanja & pembiayaan yang sudah ada dalam KUA/PPAS.
FUNGSI-FUNGSI DPRD
Fungsi DPRD baik DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Fungsi DPRD dimaksud, yakni (1). Fungsi legislasi (pembentukan Perda) dilaksanakan dengan cara: (a). membahas bersama kepala daerah & menyetujui/tidak menyetujui Ranperda; (b). mengajukan usul Ranperda; & (c). menyusun program pembentukan Perda bersama kepala daerah.
(2). Fungsi budgeting (anggaran) diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap Ranperda yang diajukan kepala daerah. Fungsi anggaran dilaksanakan dengan cara: (a). membahas KUA/PPAS yang disusun oleh kepala daerah berdasarkan RKPD; (b). membahas Ranperda tentang APBD; (c). membahas Ranperda tentang perubahan APBD; & (d). membahas Ranperda tentang Pertanggungjawaban APBD.
(3). Fungsi supervisi (pengawasan) diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap: (a). pelaksanaan Perda/Perkada; (b). pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; & (c). pelaksanaan tindak lanjut LHP LKPD oleh BPK.
LUNTURNYA FUNGSI BUDGETING DPRD
Lunturnya fungsi budgeting DPRD tak terjadi begitu saja, semuanya melalui & melewati skema & sistimatika yang terkonstruksi melalui kebijakan-kebijakan terintegrasi antara perencanaan pembangunan daerah melalui kebijakan RPJMD, Renstra, RKPD & Renja maupun pengelolaan keuangan daerah melalui KUA/PPAS, RKA SKPD, & RAPBD.
Penyusunan KUA/PPAS sudah menjadi bagian dari penyusunan RAPBD. KUA/PPAS disusun berdasarkan dokumen rencana pembangunan daerah, RKPD. Siklus penyusunan RAPBD dimulai dari KUA/PPAS, RKA SKPD & penyiapan RAPBD.
KUA (Kebijakan Umum APBD) adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun. Sedangkan PPAS (Prioritas & Plafon Anggaran Sementara) adalah program prioritas dan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada perangkat Daerah untuk setiap program, kegiatan & sub kegiatan sebagai acuan dalam penyusunan RKA SKPD.
Lunturnya fungsi budgeting DPRD ditemukan pada beberapa ketentuan yang diatur dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 yang berlaku mulai 30 Desember 2020, yang berkaitan dengan penyusunan hingga pembahasan KUA/PPAS & APBD.
Kepala daerah menyusun KUA/PPAS berdasarkan RKPD dengan mengacu pada pedoman penyusunan APBD. Seluruh isi KUA/PPAS disiapkan oleh TAPD menggunakan data dan terinformasi terkait kebijakan anggaran, program prioritas beserta indicator kinerja dan pendanaan yang bersumber dari RKPD.
Penyusunan KUA/PPAS menggunakan klasifikasi, kodefikasi, & nomenklatur sesuai dengan regulasi mengenai Klasifikasi, Kodefikasi, & Nomenklatur Perencanaan Pembangunan & Keuangan Daerah & pemutakhirannya. Dan proses penyusunan KUA/PPAS memuat informasi, aliran data, & penggunaan & penyajian dokumen yang dilakukan secara elektronik.
Dalam pembahasan KUA/PPAS terbaca, tak ada lagi “power” DPRD untuk menambah, mengutak-atik & mengacak-acak KUA/PPAS. Hanya kepala daerahlah yang diberi “power” untuk itu. Hal ini terbaca dalam Pemendagri Nomor 77 Tahun 2020, “Kepala Daerah dapat mengajukan usulan penambahan kegiatan/sub kegiatan baru dalam KUA/PPAS yang tidak terdapat dalam RKPD untuk disepakati bersama dengan DPRD dalam pembahasan KUA/PPAS”. Namun, penambahan hanya bisa dilakukan dalam hal, “Penambahan kegiatan/sub kegiatan baru tersebut sepanjang memenuhi kriteria darurat atau mendesak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Kebijakan ini sejalan dengan, ketentuan yang diatur dalam Pasal 343 ayat (2) & ayat (3) Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, “Dalam hal terjadi penambahan kegiatan baru pada KUA dan PPAS yang tidak terdapat dalam RKPD, perlu disusun berita acara kesepakatan Kepala Daerah dengan ketua DPRD. Penambahan kegiatan baru akibat terdapat kebijakan nasional atau provinsi, keadaan darurat, keadaan luar biasa, dan perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah RKPD ditetapkan”.
RKPD & KUA/PPAS terproteksi. Betapa sulitnya merubah, menambah & mengurangi isi dari RKPD & KUA/PPAS. Hanya kepala daerah yang boleh menambah kegiatan/sub kegiatan baru dalam KUA/PPAS yang sementara dibahas yang tidak terdapat dalam RKPD, namun dalam batas hanya untuk memenuhi kriteria darurat atau mendesak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penambahan dilakukan dengan jalan dibuatkan “Berita Acara Kesepakatan tentang Penambahan Kegiatan/Sub Kegiatan Baru pada KUA/PPAS Tidak Terdapat Dalam RKPD”.
Dalam pembahasan KUA/PPAS, tak ada pembahasan atas penambahan Pokir (pokok-pokok pikiran) DPRD. DPRD tak berdaya jika Pokir tak tercantum, tercantum namun nol anggaran. Tak ada penambahan anggaran pendapatan, belanja & pembiayaan. Power DPRD hanya sebatas “memandang”, mengecek angka-angka yang terhias dalam KUA/PPAS, & mengiyakannya.
Jika DPRD tak berpower & tak berdaya, DPRD tinggal menggunakan peluang akibat “kekosongan hukum”. DPRD menghentikan pembahasan KUA/PPAS & mengembalikan KUA/PPAS hingga Pokir dicantumkan dalam rancangan KUA/PPAS atau Pokir sudah diberi nilai anggaran. Dan kepala daerah dibantu TAPD & BAPPEDA menyusun kembali KUA/PPAS, yang sebelumnya merubah RKPD.
Langkah ini beresiko. Jika kepala daerah tak menghendakinya, kepala daerah akan menggunakan Pasal 91 PP Nomor 12 Tahun 2019, “Dalam hal Kepala Daerah & DPRD tidak menyepakati bersama rancangan KUA/PPAS, paling lama 6 minggu sejak rancangan KUA/PPAS disampaikan kepada DPRD, Kepala Daerah menyampaikan Ranperda tentang APBD kepada DPRD berdasarkan RKPD, rancangan KUA/PPAS yang disusun Kepala Daerah, untuk dibahas & disetujui bersama Kepala Daerah dengan DPRD sesuai regulasi”. Jika langkah ini yang akan ditempuh kepala daerah, maka fungsi budgeting DPRD benar-benar luntur, hingga sirna. BAPPEDA, kepala daerah & TAPD bersinar.
Tugas menyusun RAPBD adalah tugas utama PPKD (pejabat pengelola keuangan daerah) atau Kepala Badan/Dinas Keuangan. Sedangkan kepala daerah & TAPD hanya bertugas membahas RAPBD termasuk BAPPEDA didalamnya. PPKD menyusun Ranperda tentang APBD & dokumen pendukung berdasarkan RKA SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD. Sedangkan RKA SKPD disusun oleh kepala SKPD berdasarkan KUA/PPAS. Proses penyiapan Ranperda tentang APBD mengandung informasi, aliran data, serta penggunaan & penyajian dokumen yang dilakukan secara elektronik. Usai RAPBD tersusun kepala daerah mengajukan Ranperda tentang APBD disertai penjelasan & dokumen pendukung kepada DPRD.
Pembahasan Ranperda tentang APBD dilaksanakan oleh kepala daerah & DPRD setelah kepala daerah menyampaikan Ranperda tentang APBD. Pembahasan Ranperda tentang APBD berpedoman pada RKPD & KUA/PPAS. Proses penyampaian & pembahasan Ranperda tentang APBD mengandung informasi, aliran data, serta penggunaan & penyajian dokumen yang dilakukan secara elektronik.
Berbeda dengan power DPRD dalam pembahasan KUA/PPAS, power DPRD dalam pembahasan RAPBD dimunculkan kembali, namun sifatnya limitatif. Hal ini diatur dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, “Dalam pembahasan Ranperda tentang APBD, DPRD dapat meminta RKA-SKPD sesuai kebutuhan dalam pembahasan yang disajikan secara elektronik melalui SIPD. Dalam pembahasan Ranperda tentang APBD, kepala daerah dan/atau DPRD dapat mengajukan usulan penambahan/perubahan kegiatan/sub kegiatan dalam Ranperda tentang APBD yang terdapat/tidak terdapat dalam KUA/PPAS untuk disetujui bersama. Penambahan atau perubahan kegiatan/sub kegiatan dapat dilakukan berdasarkan kriteria keperluan mendesak”. Kembalinya power DPRD dalam menambah/merubah APBD dengan syarat kriteria mendesak, tapi tanpa Berita Acara Kesepakatan tentang Penambahan atau Perubahan Kegiatan/Sub Kegiatan yang Terdapat/Tidak Terdapat dalam KUA/PPAS.
Kemudian, ditemukan tidak konsistensinya pengaturan penerapan fungsi budgeting DPRD: (a). Pada Pasal 343 ayat (2) & (3) Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, “Penambahan kegiatan baru akibat terdapat kebijakan nasional/provinsi, keadaan darurat, keadaan luar biasa, & perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, didalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, “Penambahan kegiatan/sub kegiatan baru tersebut sepanjang memenuhi kriteria darurat atau mendesak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kriteria dalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 dipersempit dengan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020; (b). Pada Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 ditemukan, dalam pembahasan KUA/PPAS hanya kepala daerah yang bisa menambah kegiatan/sub kegiatan dalam KUA/PPAS & RKPD, sedangkan dalam pembahasan RAPBD kepala daerah dan/atau DPRD boleh menambah/merubah kegiata/sub kegiatan dalam KUA/PPAS & RAPBD; (c). Pada Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, ditemukan kriteria menambah kegiatan/sub kegiatan dalam pembahasan KUA/PPAS dengan kriteria darurat atau mendesak sesuai regulasi, sedangkan saat membahas RAPBD kriteria hanyalah keperluan mendesak saja.
Bagi saya, makan kriteria akibat terdapat kebijakan nasional/provinsi, perintah dari regulai yang lebih tinggi, & mendesak sesuai dengan regulasi sebagaimana tersebut dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 saya anggap cukup jelas. Dan makna kriteria keadaan darurat, keadaan luar biasa, & keperluan mendesak sebagaimana tersebut dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 terjelaskan dalam Pasal 68, Pasal 69, Pasal 166, Pasal 167 PP Nomor 12 Tahun 2019.
Akhirnya, fungsi budgeting DPRD pada pembahasan KUA/PPAS, luntur. Akan tetapi fungsi budgeting DPRD dalam pembahasan RAPBD di “wantek” kembali.(*)
Penulis adalah Penulis Buku Catatan Hukum Keuangan Daerah & PNS pada JPTP










Discussion about this post