Gorontalopost.id – Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan awal penyidikan kasus penembakan Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J menemui banyak kendala. Menurut dia, ada skenario membalikkan narasi dalam kasus penembakan itu. Mahfud juga sempat memanggil Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto karena sulitnya mengungkap kasus penembakan Brigadir J secara transparan dan akuntabel.
Dia mengatakan itu dalam dialog yang ditayangkan di YouTube akun Akbar Faizal Uncencored yang dikutip Kamis (18/8). “Kenapa ini lama? Kan, arahnya seharusnya sudah berbelok,” kata eks Ketua MK itu menirukan ucapannya kepada Benny. Benny dalam dialog dengan Mahfud sempat pesimistis kasus bisa terungkap secara terang.
Sebab, mantan purnawirawan polisi itu menganggap banyak hambatan mengungkap perkara yang terjadi di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo itu. Kepada Mahfud, Benny bercerita hambatan yang dimaksud ialah penyidik dihalangi grup Irjen Sambo demi membuat terang perkara. “Ya, kira-kira kelompoknya Sambo itu,” kata Mahfud menirukan ucapan Benny.
Mendengar hambatan tadi, Mahfud lantas mengusulkan perlunya Polri bedol desa. Grup Irjen Sambo bisa dinonaktifkan dari tugas dan ditahan. Usul itu selanjutnya diteruskan Benny kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang segera menyanggupi. Puluhan perwira menengah dan beberapa perwira tinggi Polri ditempatkan di lokasi khusus selama proses penyidikan. “Dari situ terus lancar. Semua ketemu. Sesudah itu Bharada mengaku, dia menulis sendiri pengakuan. Bagaimana membunuhnya, siapa di situ. Jadi, lancar semua,” ujar Mahfud. Diketahui, polisi sempat mengungkap kasus tewasnya Brigadir J karena baku tembak dengan Richard Eliezer atau Bharada E yang berawal dari kasus pelecehan seksual. Belakangan, Mabes Polri membantah narasi baku tembak. Kasus dugaan pelecehan seksual yang sempat dilaporkan bahkan dihentikan penyidikannya.
Obstruction of justice
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menantang Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk berani menindak anggota polisi yang terlibat Obstruction of justice dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Diketahui, obstruction of justice adalah suatu perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana karena menghalang-halangi atau merintangi proses hukum.
Menurut Usman Hamid, anggota Polri yang terlibat menghilangkan barang bukti kasus pembunuhan Brigadir J, tidak cukup hanya ditindak secara kode etik internal.
“Memang yang mereka lakukan melanggar kode etik kepolisian. Tetapi, bukan hanya itu. Tetapi ada pelanggaran hukum pidana. Ancaman hukuman pidananya bisa 4 tahun, bahkan bisa di atas 5 tahun. Misalnya pasal 233 KUHP tentang obstruction of justice atau pasal 52 KUHP,” kata Usman Hamid dalam sebuah dialog di salah satu televisi swasta seperti dikutip fin.co.id pada Kamis, 18 Agustus 2022.
Apabila, para polisi ini terlibat dalam tindakan obstruction of justice yang melanggar pasal 233 KUHP dan pasal 52 KUHP, lanjut Usman, tidak cukup hanya ditempatkan secara khusus. Usman menegaskan para polisi tersebut harus ditahan dalam proses pidana.
Usman menegaskan masyarakat menunggu tindakan dari Polri apakah berani memproses secara pidana mereka yang terlibat of justice tersebut. “Apabila Kapolri tidak sungguh-sungguh menindak pejabat-pejabat kepolisian yang terlibat obstruction of justice, saya kira Kapolri tidak perlu dipertahankan lagi,” papar Usman.
Seperti diberitakan, Irjen Pol Ferdy Sambo telah resmi ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa, 9 Agustus 2022 malam. Mantan Kadiv Propam Polri itu diduga kuat terlibat kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas di kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Jumat, 8 Juli 2022 lalu. (jpnn/fin)












Discussion about this post