Gorontalopost.id – Pilkada Bone Bolango (Bonbol) 2024 bisa menjadi salah satu pertarungan politik yang menarik dan sengit. Pasalnya suksesi kepala daerah tanpa figur petahana itu, membuat semua calon punya kans yang sama untuk menang. Tak heran, para figur yang berambisi untuk membidik kursi Bupati mulai terang-terangan menyatakan diri untuk maju. Seperti Merlan Uloli yang saat ini duduk sebagai Wakil Bupati. Adik dari mantan Wagub Gorontalo Toni Uloli ini secara tegas menyatakan diri untuk ikut bertarung.
“Insya Allah saya sudah siap lahir dan batin,” tegas Merlan Uloli saat berbincang-bincang dengan Gorontalo Post belum lama ini.
Rencana Merlan untuk maju, bisa menjadi batu sandungan bagi calon lawan. Ya, dengan posisinya saat ini, setidaknya Merlan sudah punya kekuatan mesin birokrasi. Entah itu besar atau kecil, tapi bisa menjadi ancaman tersendiri bagi para lawannya nanti.
Celah untuk mengganjal Merlan, hanyalah isu adat. Cara ini pernah digunakan lawan politiknya di Pilkada 2020 silam. Sayangnya, isu itu terpental seiring adanya penegasan dari Ketua Dewan Adat Gorontalo, Abdul Karim Pateda.
Mantan Sekda Bone Bolango tersebut, pernah bilang, perempuan bisa menjadi pemimpin di Gorontalo. Adat Gorontalo sama sekali tidak pernah melarang itu.
Karim Pateda mengisahkan, dulu pernah ada kaum perempuan memimpin kerajaan Limboto. Namanya, kata dia, Ti Mbui Bungale.
“Kalau kita telusuri sejarah-sejarah kerajaan dulu. Pernah ada raja Limboto itu Ti Mbui Bungale. Sebagai Olongia (Raja Perempuan), tapi disatu sisi dia punya orang kepercayaan. Sehingga dalam membuat satu kesepakatan atau perjanjian-perjanjian, bukan langsung raja. Kita dengar di perjanjian yang terjadi Duluwo Mohutato, hanya Jogugu Popa dan Raja Eyato. Mengapa? Karena Raja Limboto saat itu perempuan. Berdasarkan itu, orang memaknai bahwa Olongia itu bisa perempuan,” kata Abdul Karim Pateda.
Dirinya menambahkan, jika suatu daerah di Gorontalo dipimpin perempuan, ada beberapa hal yang diganti ketika para pemangku adat melaksanakan prosesi adat di hari-hari besar Islam.
“Untuk prosesi adat, ibu-ibu tidak wajib diberi penghormatan atau tubo, laki-laki kan tidak bisa menghormati perempuan. Itu bisa digantikan dengan Motiwombipi. Dan ini dibalas oleh olongia perempuan dengan merunduk,” jelas Karim Pateda.
Lalu bagaimana dengan tempat duduk untuk seorang pemimpin perempuan saat prosesi adat? Karim Pateda menjawab, tempat duduk untuk kaum perempuan selalu disediakan pada prosesi adat. Lokasinya dipisahkan dari tempat duduk laki-laki.
“Duduk di dalam ruang persidangan adat, namanya bulita. Kalau dia sebagai istri dari olangia dia harus disiapkan tempatnya yang disebut tempat mongombui. Kalau dia punya jabatan disebut ti mbui biluwato artinya seorang ibu yang punya kedudukan jabatan itu juga disiapkan tempat duduknya. Tempat duduknya tidak dicampurbaurkan dengan ruang laki-laki. Ibu-ibu satu ruangan, laki-laki satu ruangan,” jelas Karim Pateda.
Apa yang dijelaskan Karim Pateda tentang prosesi adat diruang persidangan sudah pernah dilakoni Merlan. Dengan hati yang besar, Merlan mempersilahkan seorang camat untuk duduk ditempat yang harusnya didudukinya jika dilihat dari jabatan yang diemban.
“Kita harus menghormati adat. Itu mutlak. Karena daerah kita ini sangat menjunjung tinggi adat. Kalaupun saya harus duduk di tempat yang rendah dari bawahan saya di pemerintahan saat prosesi adat, tidak masalah. Kan itu tidak mengganggu jalannya pemerintahan,” tutur Merlan.
Dengan demikian, langkah Merlan Uloli untuk maju mencalonkan diri sebagai Bupati pada Pilkada 2024 mendatang kian mulus.
Untuk memimpin Bone Bolango sendiri, Merlan sudah punya formula khusus untuk membangun Bone Bolango. Baik itu mengurai angka kemiskinan, meningkatkan perekonomian, hingga pembangunan infrastruktur yang bisa memberikan manfaat lebih untuk daerah.(rwf)












Discussion about this post