Oleh
Basri Amin
Daerah ini butuh banyak pejuang-pekerja-teladan yang pemberani di jalan lurus. Jumlah pejabat, politisi, pegawai, pakar, pedagang, aktivis, organisasi, dst sudah ‘cukup’. Di antara sebaran profesi itulah kita mencari para “pejuang”-pekerja yang peka dan konsisten. Adalah mereka yang komitmennya besar kepada perbaikan, memberi inspirasi, menggerakkan percepatan dan harapan baru. Mereka konsisten dan berani mengerjakan cita-cita luhur dan kebajikan bersama (public values, Moore, 1995).
Dinamisme perubahan zaman harus dibaca. Wawasan ke-waktu-an harus dibentangkan. Logika kuasa lima-tahunan jangan mendikte regenerasi. Bukankah Gorontalo (selalu) punya sumberdaya “simbolik” dan jejak “intelektual” di panggung nasional. Daerah ini tak hanya melahirkan para petinggi-penguasa, tetapi juga pemikir-pejuang dan peraih-prestasi di banyak arena. Lima belas tahun terakhir, perkembangan prestasi olah raga (nasional) kita juga terpantul dari Gorontalo. Sisi inilah juga yang perlu digarisbawahi implikasinya dalam jangka panjang. Bukan semata karena kemeriahan pujian, tumpukan medali, hadiah/apresiasi, dan pemberitaan luas.
Di baliknya adalah soal “jati diri” bangsa. Di sisi lainnya adalah soal kapasitas tata kelola dan potensi-potensi besar anak-anak Indonesia/Gorontalo. Melalui arena olah raga, kita memanggungkan mentalitas kompetitif. Pemain Takraw (Jelki Ladada dan Abdul Halim Radjiu) dan Taekwondo dari Gorontalo (Silvana Lamada) adalah pemain kunci dalam perolehan medali di ASEAN-Games 2022 di Vietnam. Beberapa tahun lalu, kapten Timnas bola Indonesia adalah Firman Utina.
Mereka sebenarnya hanyalah wakil dari sekian banyak talenta Gorontalo yang (kini) belum sepenuhnya beroleh ruang-berkembang. Volume kompetisi kita masih terbatas, infrastruktur pendukung, jaminan-jaminan karier, sains keolahragaan, sistem pembinaan, organisasi-organisasi dan dukungan masyarakat, kesemuanya memberi pengaruh/dampak satu sama lain. Di bidang lain? Visual arts, sinema, seni suara, jurnalisme, social work, tourism agency, sains terapan, dst pun belum terartikulasi.
Generasi baru membutuhkan “ruang kebijakan” yang memihak. Sejauh ini, indikasinya masih jauh panggang dari api. Keunggulan orang-orang mudah kita (Gen-Z, Gen-M, dst) masih jatuh-bangun aspirasinya di pinggiran. Jika kita periksa dengan serius komposisi sumberdaya (negara) yang kita alokasikan di level provinsi/kabupaten/kota, tampaklah bahwa kita belum menemukan “kerangka kerja” yang jitu memicu loncatan-loncatan baru produktivitas kalangan muda kita. Mereka lebih banyak berhadap-hadapan dengan retorika (kegenerasian) lama.
Hari-hari ini, “bonus demografi” masih menanti jalur-pacunya memediasi (potensi) usaha-usaha rintisan di bidang teknologi tepat guna, ruang-ruang ekonomi digital, dan tranformasi pemasaran komoditi lokal, dst. Pemetaan yang tajam dan yang imajinatif haruslah digerakkan oleh pemimpin daerah dan kelompok-kelompok produktif/profesional di masyarakat. Tak bisa dikerjakan dengan tabiat biasa-biasa saja, pola kebijakan yang normal-normal saja dan ilmu-ilmu bantu yang standar-standar saja. Perubahan mutakhir meniscayakan leadership baru yang menghayati knowledge-based economy (Neef, 1998). Dengan itulah maka momentum digerakkan dan berdampak bagi posisi (kemajuan) Gorontalo.
“Tanpa terobosan fundamental dan pelembagaan inspirasi yang sistemik, pada akhirnya kepungan masalah ekologis dan ketimpangan sosial-ekonomi akan mengguncang daya tahan (kultural) Gorontalo dalam jangka panjang. Jika itu terjadi, tampaklah bahwa elite-kuasa yang banyak dan gagasan tinggi yang membumbung tak lagi relevan dan beroleh penyangga di masyarakat…”
Fakta demografis Gorontalo sewajarnya menjadi acuan serius dalam rancang-bangun daerah ini. Kita adalah daerah yang punya bonus demografi sampai tahun 2035: mencapai lebih 71% usia produktif (15-64 tahun). Ini beririsan dengan penduduk usia lanjut yang juga membesar (7.98%). Tantangannya, kita belum punya aging studies yang kokoh di universitas. Mari kita tengok Sensus Penduduk (SP) 2020 (publikasi BPS, 2021) yang menggambarkan sebaran penduduk yang relatif konstan di Provinsi Gorontalo. Penduduk terbesar adalah di Kabupaten Gorontalo, 393.107 jiwa. Selanjutnya Kota Gorontalo (198.539 jiwa), Bone Bolango (162.778 jiwa). Disusul Pohuwato (146.432 jiwa), Boalemo (145.868 jiwa), dan Gorontalo Utara (124.957 jiwa).
Kita bisa koneksikan dengan data nasional. SP 2020 mencatat terdapat 270,2 juta jiwa penduduk Indonesia. Komposisinya unik karena sangatlah tampak penduduk Indonesia didominasi generasi Z (1997-2012) sebesar 27,94 persen atau 74,93 juta jiwa; milenial (1981-1996) sebesar 25,87 persen atau 69,38 juta jiwa; dan generasi X (1965-1980) sebesar 21,87 persen atau 58,65 juta jiwa. Hal ini didukung lebih jauh lagi oleh Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2021. Kontribusi tertinggi pada angkatan kerja nasional pada tahun kedua pandemi adalah milenial (24-39 tahun) sebesar 37,37 persen, dan gen X (40-55 tahun) sebesar 34,52 persen (Saputra, 2021).
Bagi Gorontalo, jumlah penduduk yang relatif ‘kecil’ dengan bentangan geografis yang cukup besar, dilingkari beberapa titik wilayah perbatasan pulau/pesisir dan kawasan pergunungan/Cagar Alam, Gorontalo mestinya lihai mendayagunakan aset-aset utamanya, yakni “manusia Gorontalo” itu sendiri –-dalam pengertian seluasnya–. Gorontalo tak selamanya diartikulasi sebagai kategoti etnis-kesukuan-kedaerahan, tapi bisa lebih jauh dari itu, yakni sebagai sebuah region, domain kebangsaan, kawasan rempah, dan perlintasan niaga, dst. Gorontalo bahkan bisa diletakkan dalam konteks lebih luas, sebagai pusat rujukan keilmuan dan kebudayaan dunia (konfederasi/demokrasi pra-Indonesia, oral tradition, nasionalisme abad 20, lanskap alam dan kegempaan, danau/endemik, sufisme Islam, keaneragaman hayati, perjumpaan budaya (Arab, Jawa, Tionghoa, Sulawesi/Maluku, dst). Dengan begitu, tumbuhlah perspektif yang kaya tentang ke-Gorontalo-an kita di abad ini.
Kepemimpinan yang imajinatif dan berwawasan masa depan adalah kebutuhan mendesak. Kita berharap, prosesi-prosesi politis dan tata-kelola kelembagaan di daerah bisa menggemakan sense of direction yang baru di sektor pemerintahan, pembangunan, persekolahan dan kebudayaan. Jangan biasa-biasa saja! Jika tidak, kita hanya akan saling mengecoh kesibukan, unjuk citra diri, dan keributan puja-puji yang tak mengantarkan kit loncat jauh ke depan. Daerah terbuai dengan rutinitas yang tak lagi kita pertanyakan keterhandalannya bagi masa depan. Yang terjadi adalah, sadar atau tidak, negara/pemerintah hanya “mewadahi” pembesaran kluster-kluster (kemakmuran) berjenjang bagi kelompok elite.
Kini kita makin terbiasa menyebut angka-angka (persentasi) kemiskinan masyarakat tapi cenderung gagap memastikan kekayaan yang terus bertambah, menyebar dan menumpuk pada sekelompok orang dan/atau kelompok. Di sisi lain, pergerakan arus penduduk, modal, barang dan teknologi antar wilayah, fokus kebijakan antara kota dan perdesaan, kesemuanya abai ditelaah dan dipetakan dengan jujur. Apa jadinya? Sebuah daerah akan tampak menumpuk keramaian ‘pembangunan’ dan ‘administrasi’nya tapi sesungguhnya pada skala masyarakat dan rangkaian perbaikan ke masa depan belumlah menjawab keadilan bersama dan kemajuan yang bermakna: membahagiakan, berkelanjutan dan mencerdaskan. ***
Penulis adalah parner di Voice-of-HaleHepu.
Surel: basriamin@gmail.com










Discussion about this post