Oleh
Basri Amin
Sebagai pribadi yang lahir di sebuah zaman perubahan besar di mana ia berhasil memilih peran-peran istimewa –-bersama generasinya– dalam bentangan sejarah Indonesia, adalah tidak mudah membuat simpulan yang utuh tentang H.B. Jassin.
Pemujian yang tidak relevan adalah sesuatu yang, ia dan kita, tidak inginkan. Pun demikian dengan pandangan-pandangan reduktif yang menjauh dari fakta, nilai dasar dan motif-motif utama yang melandasi pengabdian hidupnya untuk kesusasteraan, kebebasan kreatif, imajinasi yang berani, dan pencerdasan yang sebenar-benarnya bagi bangsanya.
Jassin adalah bagian dari sejarah dan ia juga adalah pembuat sejarah. Dengan tesis seperti itu, kita akan sepakat dengan apa yang pernah dinyatakan oleh pemikir budaya dan sejarah dari Inggris, Raymond Williams (1988), bahwa “sejarah akan selamanya merupakan sebuah rentangan pengetahuan yang mengajarkan dan menerangkan kepada kita tentang kapasitas-mengetahui –-kepada yang lampau dan kepada masa depan apa saja yang terbayangkan–.
H.B. Jassin dilihat dari kepentingan masa kini dan masa depan Indonesia, sangat jelas merupakan sebuah penghela kesadaran nasional yang penting.
Ia abadi menjadi rujukan dan cerminan lintas genesasi, bukan semata karena karya-karya intelektualnya yang hebat, melainkan terutama karena Jassin telah meninggalkan warisan besar tak ternilai untuk republik ini.
Warisan itu adalah Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin yang sejak 1970an telah menjadi pilar langka bagi pertumbuhan literasi kebudayaan dan tradisi kecendekiaan di Indonesia.
Terutama karena keberadaannya di jantung daerah khusus ibukota Jakarta di mana semua anak bangsa dan banyak pihak dari berbagai belahan dunia bisa menikmati dan memanfaatkannya.
H.B. Jassin, terutama dalam posisinya sebagai kritikus dan redaktur majalah-majalah sastra yang sangat berpengaruh sepanjang 1940an sampai 1960an, adalah tonggak pencerdasan bangsa yang pantas beroleh penghargaan besar oleh negara.
Bukan karena ia butuh dan menuntut lebih dari apa-apa yang ia abdikan untuk negeri ini. Tidak! Justru sebaliknya, bahwa republik inilah yang wajib membuktikan dirinya di panggung peradaban mutakhir sebagai negeri yang “cerdas mendayagunakan” sumber-sumber pencerdasan berkelanjutan bagi kelangsungan cita-cita bersamanya.
Pahlawan kebudayaan, demikianlah frase yang pernah dipakai oleh Jassin dalam salah satu esai panjangnya tentang beberapa pengarang Indonesia guna menunjukkan bahwa sebuah negeri yang punya cita-cita dan jati diri haruslah bersandar pada ‘daya ciptanya’ yang kreatif, kendati dalam tekanan fisik dan ketidakpastian nasib. Ia berjuang dengan caranya. Sastrawan, Seniman adalah “Pahlawan Kebudayaan”. Siapa mereka sesungguhnya? Jassin menjawab:
“mereka adalah kumpulan tenaga batin suatu bangsa. Pada mereka terkumpul dan terbentuk kekayaan (atau kemiskinan) batin bangsa, pada penyair-penyair, pengarang-pengarang, pelukis-pelukis, pemahat-pemahat, komponis-komponis, dan lain-lain pencipta.
Dan sebagai kumpulan tenaga batin, mereka mungkin merupakan pemancar tenaga melalui ciptaan-ciptaan mereka, berupa sajak-sajak, cerita-cerita, drama-drama, lukisan-lukisan, pahatan-pahatan, lagu-lagu, dan sebagainya”
Membaca pandangan Jassin di atas, kita sungguh-sungguh menemukan titik-hela kesadaran keindonesiaan yang mestinya sudah jauh bergerak sejak 1940an, setidaknya beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Di awal 1950an, Jassin sudah merumuskan konsepsi “kepahlawanan budaya” dengan proposisi yang cerdas dan matang.
Ingatlah kata-kata “tenaga batin” bangsa dan “pemancar tenaga” sebagai kekuatan dan kekayaan bangsa. Tegasnya, Indonesia butuh banyak “pencipta” dan “ciptaan” –-yang ber-energi— agar negeri ini memberi manfaat luas dan terpandang di mata bangsa-bangsa lain.
Jassin, dalam beberapa situasi mencontohkan karya-karya Chairil Anwar di masa okupasi Jepang (1942-1945), di mana menurut Jassin, reaksi Chairil melalui sajak-sajaknya “meledakkan semangat”. Sajak Chairil “memberi tenaga batin kepada bangsa yang sedang berjuang…”. Demikianlah juga dengan sajak-sajak kepedihan ketika Agresi Belanda yang menyerbu Yogyakarta, Rivai Apin memantulkannya melalui sajak.
Keduanya, menurut Jassin, adalah contoh terbaik bagaimana “pahlawan budaya” memerankan dirinya sebagai “pembangkit yang memperteguh semangat perjuangan bangsa, meskipun mereka tidak berjuang dengan senjata”.
Di sektor lain, Usmar Ismail, bergerak di bidang film karena dia adalah sutradara (regisseur) dan penulis sandiwara. Ia mendirikan perkumpulan sandiwara “penggemar Maya”. Intinya, menurut Jassin, sastrawan adalah “jiwa bangsa!”.
Hal serupa dengan pelukis yang dengan cat dan kanvas-nya membuat banyak lukisan, slogan-slogan, dan poster-poster di tembok-tembok sebagai pemompa semangat juang. Bagi musisi seperti Cornel Simanjuntak, ia menghasilkan lagu “Pembela Tanah Air”.
Dalam skala luas, H.B. Jassin telah menyumbangkan pilar-pilar kebangsaan dalam hal perluasan bacaan, dinamisme percakapan di media, keragaman pemikiran, temuan-temuan peristiwa, dan sikap-sikap demokratis dalam menyikapi perbedaan.
Tradisi “menyebar buku dan majalah” di seluruh daerah di Indonesia sudah ditancapkan Jassin sejak akhir 1940an. Ini adalah sebagai kelanjutan dari jati diri yang terbuka dan berwawasan luas itu. Ia menyapa –-sesekali ‘memotivasi’— dan melayani percakapan terbuka kepada hampir semua sastrawan yang mengirimkan karya-karyanya kepada Jassin.
Di majalah Mimbar Indonesia periode 1950an misalnya, Jassin bahkan memberi kesempatan kepada pelajar-pelajar SMP di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dst untuk mengirimkan sajak-sajaknya atau berupa esai singkat yang dirasa kreatif penciptaannya.
Beberapa di antaranya dipublikasi dan diberi apresiasi oleh redaksi Mimbar Indonesia. Demikian juga dengan peristiwa-peristiwa budaya di berbagai pelosok di daerah pun beroleh ruang terbuka di majalah-majalah di mana Jassin bersposisi sebagai redakturnya.
Singkatnya, di tangan Jassin, keIndonesiaan dibesarkan jiwanya sedemikian rupa dan disambung jarak-jaraknya melalui tradisi berkarya, berucap terbuka, menulis, dan meluaskan bacaan dan wawasan. Di sinilah Jassin berperan sebagai pendidik publik. Ia menjadi Guru bagi sesuatu yang menggerakkan kesadaran.
Ia “mencerdaskan bangsa” dari berbagai posisi dan interaksi yang ia lakoni sebagai seorang kritikus sastra, penimbang buku, dan dokumentator. Di periode yang cukup panjang, bahkan sampai pertengahan 1980an, Jassin menggunakan metode Surat-Surat sebagai sarana “mendidik” dan “berbagi agenda” kepada banyak pihak di negeri ini. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Surel: basriamin@gmail.com









Discussion about this post