Oleh
Basri Amin
Gorontalo seharusnyalah bangga, bahwa terpampang 3 (tiga) nama (putra terbaik!) Gorontalo di sektor pemikiran kebudayaan dan kesusastraan: H.B. Jassin, J.A. Dungga dan Gani Katili. Usia mereka di masa itu masih muda, tapi tanpa ragu mereka sudah tampil dan unggul di percaturan nasional. Tak banyak yang tahu bahwa pada buku Gema Tanah Air (1948), karya H.B. Jassin yang mengumpul semua karya-karya sastra Indonesia (Prosa dan Puisi) pada periode 1942-1948, terdapat nama A.A.Katili –yang lebih sering menyebut dirinya dengan Gani Katili. Beliau adalah kakak Geolog Prof. J.A.Katili.
Belum banyak yang tahu, seorang pemuda Gorontalo, namanya J.A. Dungga (1922-1995) adalah seseorang yang kiprahnya diperhitungkan dalam formasi pemikiran kebudayaan di awal kemerdekaan.Dungga adalah seorang pemikir budaya, terutama di bidang musik dan kesenian.Ketika wafat di Jakarta, Senin 28 Agustus 1995, hampir semua media nasional memberitakannya.
J.A. Dungga lahir di Gorontalo pada 12 Januari 1922.Dapat dikatakan, J.A. Dungga adalah orang Gorontalo pertama yang menempuh pendidikan di Barat.
Ia belajar khusus tentang Siaran Radio dan Musikologi di Nederland tahun 1951. Di zaman revolusi, ia adalah Redaktur bidang musik di mingguan terpandang di masa itu, Mimbar Indonesia; juga di bulanan Zenith. Untuk waktu yang cukup lama, J.A Dungga tercatat sebagai anggota International Music Council di Paris, Perancis. Selanjutnya ia bekerja sebagai Dewan Siaran Radio R.I dan berkiprah sebagai pimpinan Musyawarah Musik Indonesia.
Karya-karyanya, antara lain: Musik Abadi, Manusia dan Musik, Sejarah Musik, Sejarah Alat Musik, Sejarah Orkes, Seputar Musik Indonesia, dll. Pada Juni-Juli 1980, J.A. Dungga adalah Ketua Dewan Juri Sayembara nasional untuk penentuan “Himne Guru”, sebuah himne yang hingga kini sangat populer dan menyentuh.
Perannya sangat besar karena diberi kepercayaan oleh negara –Menteri Pendidikan Daoed Joesoef untuk memilih hymne Guru yang paling baik di Indonesia, sebagaimana di Perancis dikenal lagu istimewa untuk Guru, “Monsieur le Professeur”.
Tulisan-tulisan mereka di Mimbar Indonesia sungguh-sungguh menempatkan debat-debat keindonesiaan dalam bobot yang memukau. J.A. Dungga sangat artikulatif dalam menulis.Ia kritis dan kaya perspektif. Gaya menulisnya rinci dengan rujukan internasional yang kaya. Ketika J.A. Dungga menulis tentang sejarah musik, amat terasa bacaannya yang luas.Hampir semua musisi dunia, terutama yang tersohor kontribusinya dalam sejarah musik Barat, semuanya diterangkan oleh J.A Dungga. Ini misalnya terlihat dalam tulisannya yang berjudul: Pengaruh-Mempengaruhi dalam Musik.
J.A. Dungga adalah pelopor pemikiran musik Indonesia.Pandangannya yang kaya tentang pertumbuhan musik di tanah air, baik menjelang kemerdekaan dan pascakemerdekaan, adalah benih-benih pendidikan musik yang amat penting artinya.Ia memang sangat kritis terhadap “mental meniru” dari sebagian pelaku musik Indonesia di awal kemerdekaan. Ini terbaca dari esainya, “Di sekitar Aransemen dan Orkestrasi Indonesia”.
Karya Abdulgani Katili, dengan judul Kenang-Kenangan, diterbitkannya di majalah Panca Raya edisi 1 Juni 1947. Sebuah prosa yang unik karena mengisahkan kehidupan remaja yang mengambil latar masa kolonial di Manado.Tulisan Gani Katili berikutnya adalah “Sepku’, yang lagi-lagi adalah sebuah prosa yang mengisahkan formasi-formasi awal keindonesiaan di tingkat daerah (dimuat oleh Panca Raya, 1 Januari 1947).
Uniknya lagi, Gani Katili adalah seseorang yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai pakar olahraga Indonesia.Dapat dikatakan, dia adalah satu-satunya penulis dan pengamat olah raga paling cerdas dan produktif di awal kemerdekaan. Tak heran kalau ia melahirkan buku-buku olahraga, termasuk tentang tennis, dll. Lagi pula, Gani Katili adalah Juara Tenis Lapangan tingkat nasional di zamannya.Ia lahir di Gorontalo pada April 1915.
Apakah mereka dirujuk dan dihitung karya-karnya secara internasional? Adalah Jennifer Lindsay, seorang peneliti di the Southeast Asia Center, Australian National University (ANU), Australia, yang menggagas dan menerbitkan satu karya penelitian dari berbagai pakar dunia tentang dinamika kebudayaan Indonesia periode 1950-an. Melalui buku mereka, Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (KITLV, 2012), kita bisa menemukan dengan jelas bagaimana besarnya peran H.B. Jassin dalam pembentukan pengetahuan dan dokumentasi kesusastraan dan kebudayaan Indonesia, terutama di masa Jepang dan Revolusi.
Selain H.B. Jassin, kita juga menemukan “pengakuan” komunitas (ilmiah) internasional tentang peran putra terbaik Gorontalo lainnya, J.A. Dungga di bidang musik. Kedua tokoh ini sangat pro-republik, mereka menyebut dirinya –sebagaimana dikatakan oleh H.B. Jassin– sebagai “republikein in hart en nieren”.
Gorontalo punya marwah, J.A Dungga dan H.B Jassin bisa duduk sejajar dan berperan sama tinggi dengan tokoh-tokoh nasional lainnya di bidang (pemikiran) kebudayaan, seperti Ki Hajar Dewantara, Adinegoro, Sukarsih, Sukadjo, dan lainnya. Bahkan, bila kita merujuk prosa-prosa Gani Katili dalam Gema Tanah Air (1948), sangat jelas kedudukannya di tengah-tengah pengarang ternama seperti Usmar Ismail, Aoh Kartahadimadja, Rosihan Anwar, Achdiat Karta Mihardja, dll.
Oleh seorang sarjana lulusan Universitas Antwerp, Belgia, bernama Els Bogaerts (2012) yang secara khusus menyoroti mingguan Mimbar Indonesia, dengan terang memperlihatkan bagaimana peran dua orang putra terbaik Gorontalo: H.B. Jassin dan J.A.Dungga di jajaran redaksinya. Di bidang musik, Dungga adalah berada di papan atas.Kendati pembaca nasional umumnya hanya familiar dengan H.B. Jassin. Padahal, pada beberapa edisi Mimbar Indonesia, Jassin, Katili, dan Dungga cukup sering tampil dengan karya masing-masing: Sastra, Musik dan Sport. Di usia mereka yang masih muda, panggung nasional sudah direbutnya, dengan cita-cita dan pengabdian yang konsisten untuk bangsanya. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-Hale-Hepu;
Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo;
Surel: basriamin@gmail.com











Discussion about this post