Gorontalopost.id – Orang tersesat bukan karena tak tahu mau ke mana, melainkan karena tak tahu dia ada di mana. Inilah yang disebut oleh Cak Nur sebagai disorientasi.
Lokus eksistensi, atau pengetahuan seseorang tentang dia ada di mana, berkait langsung dengan kemampuan menempatkan diri, menyelesaikan tantangan, sekaligus berperilaku yang cocok.
Saya kira paragraf awal ini cukup pantas untuk membuka fakta penting. Tentang mengapa kader HMI Cabang Manado bisa fleksibel, mampu membaca situasi, sekaligus merintis jalan ke luar untuk mencapai tujuan.
Sebagai aktivis mahasiswa di lingkungan mayoritas non Muslim, kader HMI mengukur dengan pas. Mereka tak punya pilihan lebar. Selain menempa diri membangun kompetensi, membuka jaringan, melatih semangat juang, dan kelak mereka banyak yang berhasil.
Maknanya, aktivis HMI periode ujung keruntuhan Suharto itu, di Manado, tahu persis di depan mereka hanya ada pilihan sempit.
Mereka sulit melakukan manuver politik. Karena akses ke penguasa terbatas (lagipula antrian panjang, jatah sedikit). Mereka juga akan kelelahan jika memilih sikap frontal radikal vis a vis rezim yang mengendalikan kekuatan. Makanya, nyaris seluruh aktivis HMI saat itu bergiat di medan yang lentur, yakni intelektualitas, dunia akademik, pematangan gagasan, dan tentu saja, merentangkan jaringan.
Opsi ini bukan asumsi imajiner. Melainkan bisa dilacak secara detil.
Kala itu, bukan tak ada model aktivis petualang, raja olah isu, jadi “kacung penguasa”, dan kasak kusuk proyek. Percayalah, era 1998 pun model aktivis “mahasiswa pedagang isu” sudah banyak, dengan keuntungan berlipat.
Untuk eksis dengan pola non intelektual itu, tak sulit-sulit amat. Tetapi hanya sedikit aktivis HMI yang mengambil garis tak patut itu.
Mengapa?
Ada dua jawaban, yakni teoritis dan praktis.
Secar teoritis, HMI 1998 di mana-mana, terbakar oleh gairah intelektual dan pergumulan gagasan yang menawan. Bersumber dari kaum bangsawan pemikir yang sangat teruji (bukan intelektual pop seperti saat ini).
Nama-nama semacam Cak Nur, Gus Dur, Bang Imad, Kang Jalal, Kuntowijoyo, Fachry Ali, dan sederet cendekiawan cerdas, adalah panutan jiwa mahasiswa Islam.
Gagasan-gagasan besar para pemikir kaliber ini menawan hati kami (kader HMI Manado), sehingga tak merana saat tak kebagian jatah kekuasaan.
Lagipula zaman itu, pesan Kuntowijoyo begitu mengunjam, bahwa HMI harus melakukan proliperasi, alias menyebar. Jangan semua terjun ke politik. Tapi harus ada aktivis muslim yang kuat di bidang filsafat, profesional, bisnis, dan akademik.
Budayawan Kuntowijoyo membuat analogi tepat, jangan menaruh telur di satu keranjang, agar tak semua pecah saat keranjang jatuh.
Maka sejatinya proliferasi (penyebaran orientasi kader) terjadi.
Aktivis HMI Manado era 1998 merebak di segala pojok kehidupan non politik praktis.
Beberapa memilih dunia advokasi, terjun ke rakyat, menggeluti isu lingkungan, atau membangun komunitas kritis di akar rumput. Nama-nama yang sukses serta menonjol di bidang ini, adalah Irman Meilandi, Lita Mamonto, dan Dani Rogi.
Sejumlah lain menekuni dunia profesional, terutama teman-teman kedokteran. Seperti Dadang Nugroho, Masud Idrus, Didi Masloman, dan Muhamad Banteng, mereka ikut kiprah senior yang lebih dulu berjaya, seperi Dokter Anang Otoluwa dan Dokter Taupik Pasiak.
Agak banyak juga yang berkutat di wilayah media, rata-rata didikan langsung Ka Hendro, Hamim Pou, Reiner Ointoe, dan Bang Katamsi Ginano. Di barisan ini, teramat banyak. Semisal Rusli Djalil (Almarhum), Jamal Rahman (kini KPU Boltim), Femmy Udoki, Baso Affandi, Beby Banteng, dan Puja Sutamat (kini di KPU Malut), Idham Malewa. Di medan media, HMI boleh dibilang merajai. Karena sebelumnya pun ada ka Hairil Paputungan dan Ka Arifin Labenjang (sebagai mentor).
Tak boleh pula melupakan kiprah aktivis HMI Manado 98 yang memastikan diri merintis jalur profesional, kampus, birokrasi, keguruan, dan medan pengabdian publik lainnya.
Di jalur profesional, ada Pretty Mamonto, Rusli Wasilu, Haryanto dan isterinya Sutria serta nama-nama lain (yang saya lupa). Sesungguhnya ada pula kombinasi unik, misalnya sebagai akademisi sekaligus berbisnis.
Di birokrasi, berderet-deret nama ada di kluster ini.
Titik ini, membuka peta terbuka, tentang sumber penyebaran kader di rupa-rupa profesi.
Perspektif berikut, adalah argumentasi pragmatis, soal daya hidup kader yang sesuai panggilan jiwa mereka.
Sekelebatan, banyak kader HMI 98 di Manado yang melesat bak meteor. Tatkala mereka ikut gerbong politik praktis. Apakah ini cela? Tentu saja tidak.
Ruang terbuka meletup saat Gorontalo dan Maluku Utara menjadi provinsi. Diaspora kader lalu merangsek dua wilayah itu. Rata-rata mereka berkibar.
Apakah karena mereka kader jenggot? Hanya menggantung ke atas, ke senior? Tak sepenuhnya begitu. Benar mungkin, senior membuka akses. Namun mereka sendiri, memang punya kualifikasi. Serta sebelumnya terasah dalam pergumulan intelektual di Serimpi. Pendek kata, teman-teman aktivis HMI Manado 98, layak melonjak ke puncak politik, karena kaya gagasan, luwes dalam komunikasi politik, terlatih dalam lobi, pandai memainkan jaringan, dan tak gagap saat menghadapi publik luas.
Rata-rata mereka juga demonstran 98, berani, nekad, punya nyali, dan sanggup bertarung. Lagipula, mereka punya hard skill yang mencukupi, semisal bisa menuangkan ide di media, bisa menulis, dan tak akan kalah dalam debat dan adu argumentasi.
Lengkap sudah. Saat mereka datang ke Gorontalo dan Maluku Utara (sebagai provinsi baru), mereka mampu mengekspresikan diri dengan optimal.
Nama-nama seperti Rusli Monoarfa, Azan Piola, Budianto Napu, Hendra Abdul, Arifin Djakani, dan yang lain, pantas memperoleh panggung. Lantaran berbekal soft skill dan hard skill di HMI.
Sekali lagi, nama-nama yang disebut di awal, adalah murni angkatan 98. Jika tak nmenyebut para senior, bukan karena senior tak ada kiprah. Melainkan membatasi periode saja.
Berikut, tak pantas andai hanya mengusung kader HMI Manado sebagai berkiprah sendiri. Di kolam 98, ada kader PMII, PMKRI, GMNI, IMM, dan pemikir non HMI yang turut berjasa merebus matang para aktivis 98.
Kala itu ada nama-nama seperti Benny Rhamdani, Ismail Dahab, Iwan Salasa, Taufik Madjid, Iwan S Lantang, Naomi Damanik, video Ances, Yudi, Hariyadi, sebagai aktivis yang mengobarkan militansi dan etos juang para demonstran.
Mereka juga yang tekun dengan wacana kiri, berbau radikal, militan, dan menggedor kekuasaan. Tetapi banyak bukti, bahwa aktivis HMI Manado 98 begitu akrab dengan mereka. Bukan hanya ikut demo, tapi terlibat dalam medan wacana.
Praktis, sumber referensi intelektual dan aksi lapangan, bagi kader HMI Manado saat itu, tak kekeringan sumber air. Bahkan ajaran filsafat kritis, tanding logika, serta pelajaran teoritis yang kuat, datang juga dari kaum “filsuf” non muslim. Di situ ada Yong Ohoitimur, Pietres Sombowadile, dan belakangan, Yustinus.
Apakah catatan ini hanya selebrasi memori? Sama sekali bukan itu.
Melainkan mendedahkan sebuah citra imajiner, tentang kiprah, posisi, daya juang, serta orientasi kader.
Wajar belaka. Jika hari ini, lepasan HMI Manado 98 cukup produkti berkiprah di mana-mana. Karena prosesnya tercukupi.
Ini juga sekaligus berguna menjelaskan, jika ada perbedaan dengan generasi sesudahnya.
Catatan akhir, catatan ini juga membeber modus eksistensi kader HMI Manado 98, yang “terpaksa” menekuni lokus akademik-intelektual. Karena hanya itu yang tersedia.
(*)













Discussion about this post