JAKARTA -GP – Pernyataan ketua komisi pemberantasan korupsi (KPK) Firli Bahuri, terkait pelaku korupsi dana bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19, bisa dihukum mati, masih diragukan. Jaksa penuntut umum KPK yang menangani kasus korupsi dana Bansos Covid-19, dengan terdakwa kader PDI Perjuangan Juliari Batubara, menuntutnya dengan pidana penjara 11 tahun, dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Mantan Menteri Sosial itu, oleh JPU KPK dinyatakan terbukti bersalah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, JPU KPK meminta majelis hakim menjatuhkan vonis 11 tahun penjara untuk mantan menteri yang biasa disapa Ari, itu. “Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 11 tahun dikurangi selama terdakwa berada di tahanan, dan denda Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan,” kata Jaksa Ihsan Fernandi membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (28/7).
Tidak hanya itu, JPU KPK juga meminta majelis hakim memberina hukuman kepada Juliari berupa membayar uang pengganti Rp 14,5 miliar, subsider dua tahun penjara. Jaksa juga meminta hakim mencabut hak Juliari untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun, setelah terdakwa selesai menjalani masa pidana pokok. Jaksa menilai Juliari telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Huruf b Junto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Dalam membacakan tuntutan itu, jaksa memaparkan hal yang memberatkan dan meringankan Juliari Batubara. Adapun hal yang memberatkan adalah Juliari tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, selama persidangan, jaksa juga melihat Juliari berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan perbuatannya dilakukan saat kondisi darurat pandemi. Sementara untuk hal yang meringankan, Juliari belum pernah dihukum.
Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya mendesak JPU KPK untuk menuntut Juliari Peter Batubara dengan pidana penjara seumur hidup. “ICW mendesak KPK menuntut maksimal, yakni seumur hidup penjara, kepada mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara,” ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulis, Rabu, 28 Juli.
Desakan itupun bukan tanpa alasan. Menurut Kurnia, sanksi seumur hidup sangat pantas diberikan karena Juliari sebagai pejabat negara justru korupsi uang bansos yang seharusnya diperuntukan membantu masyarakat di masa pandemi COVID-19. “Juliari melakukan praktik suap-menyuap di tengah kondisi wabah COVID-19 sedang melanda Indonesia. Praktik culas ini tentu tidak bisa dimaafkan, dapat dibayangkan, kala itu, empat hari sebelum tangkap tangan KPK setidaknya 543 ribu orang telah terinfeksi COVID-19 dan 17 ribu nyawa melayang,” papar Kurnia.
Dengan salah satu alasan itu saja, lanjut Kurnia, sanksi terberat pantas diberikan. Tapi jika jaksa tak melakukannya atau memberikan tuntutan yang rendah, dugaan soal KPK melindungi terdakwa korupsi bansos pun semakin kuat. Penasihat hukum Juliari Peter Batubara, Maqdir Ismail menilai tuntutan JPU KPK terhadap kliennya tidak sesuai fakta persidangan. Dia menyatakan tuntutan 11 tahun penjara kepada pria yang akrab disapa Ari itu sangat berlebihan. “Terlalu berat, apalagi itu tidak berdasarkan fakta persidangan. Misalnya menyangkut uang. Uang itu di dalam fakta sidang pengakuan saksi hanya sekitar Rp 6 miliar sekian, tetapi mereka anggap terbukti Rp 32 miliar. Itu saja sudah tidak sesuai fakta sidang,” kata Maqdir usai persidangan, Rabu (28/7).
Maqdir juga menganggap saksi dari PT Pangan Digdaya tidak pernah dihadirkan ke persidangan. Jaksa justru membacakan kesaksian dalam nota tuntutan. “Jadi ini terlalu banyak yang kami sesalkan,” cetus Maqdir. Maqdir memastikan pihaknya akan mengajukan nota pembelaan pada agenda persidangan selanjutnya. Pihaknya akan menguraikan fakta persidangan dalam nota pembelaan, terutama isi tuntutan jaksa. “Kalau fakta yang berhubungan dengan uang, apalagi misal tiga orang yang dianggap penerima awal atau perpanjangan tangan Pak Ari, mereka di depan persidangan mengatakan enggak pernah ada uang. Itu artinya, kan, ada empat orang yang mengatakan tidak ada uang. Kemudian ada dua orang yang mengatakan ada uang, ini kalau bicara logis saja, kan, enggak mungkin,” papar Maqdir. (jpnn)













Discussion about this post