NGETREN – Ngobrol etika penyelenggara pemilu yang diselenggarakan DKPP RI, di Hotel Aston Gorontalo, Senin (16/11) malam. (foto : wawan / gorontalo post)
GORONTALO – GP- Penegakan kode etik penyelenggara pemilu dilakukan oleh lembaga bernama Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Penanganan pelanggaran kode etik untuk penyelenggara pemilu di tingkat ad hoc, saat ini ditangani oleh kabupaten atau kota. Dulu, pada era DKPP periode 2012-2017 semua dugaan pelanggaran kode etik mulai dari KPU RI, Bawaslu RI sampai ke TPS, DKPP yang memeriksa.
Hal ini disampaikan Ketua DKPP, Prof. Muhammad dalam acara Ngetren Media (Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu) dengan Media di Kota Gorontalo, Senin (16/11). Ada yang istimewa dalam acara Ngetren Media ke-19 ini, yakni hadirnya sekaligus penyelenggara pemilu di tingkat pusat yakni, Ketua Bawaslu Abhan dan komisioner KPU, Viryan Azis. Melihat adanya kebutuhan agar penanganan pelanggaran kode etik bisa lebih efektif, maka melalui tripartit bersama KPU dan Bawaslu, DKPP mengusulkan jika ada pelanggaran etik jajaran ad hoc tidak perlu ke DKPP tetapi diselesaikan oleh atasannya langsung. KPU kab/kota untuk PPK ke bawah sedangkan Bawaslu kab/kota untuk Panwascam ke bawah. “Ada kebutuhan adanya peradilan etik yang cepat, sebab jika semuanya harus diselesaikan di DKPP, maka hampir pasti ada perkara-perkara yang tidak bisa diselesaikan karena durasi tahapan itu sudah selesai,” kata Prof. Muhammad.
Menurut Muhammad dalam pilkada yang paling banyak berperan adalah penyelenggara di tingkat ad hoc dibandingkan penyelenggara di tingkat permanen. “Mengapa kita harus lebih peduli pada penyelenggara ad hoc, hal ini tidak lepas dari tuduhan dan kecurigaan masyarakat yang memandang bahwa penyelenggara ad hoc sebagai ‘the part of problem’. “Penyelenggara ad hoc selalu dicurigai sebagai ‘the part of problem’, bagian dari masalah. Sebenarnya pemilu ini kondusif, sudah ‘on the track’ tetapi begitu oknum ad hoc bermain, pemilu mulai kacau misalnya menggeser suara dan seterusnya,” lanjutnya.
Terkait tuduhan ini, menurut Muhammad penyelenggara pemilu harus mempunyai komitmen dalam niat, gagasan dan tingkah laku. Artinya penyelenggara pemilu harus menjadi bagian dari yang menghadirkan solusi atau jalan keluar bagi tantangan Pemilu khususnya tantangan pengawasan sehingga tuduhan “The Part of Problem” itu tidak terbukti. “Panwascam ke bawah, PPK ke bawah menghadapi ancaman menghadapi tekanan sekaligus menerima ancaman dan rayuan. Jadi sekali lagi DKPP berharap dalam perspektif penegakan kode etik, penyelenggara ad hoc terus dibekali dengan pengetahuan teknis kepemiluan, dan pengawasan tetapi juga harus selalu ditanamkan tentang kode etik,” lanjutnya.
Kepada para jurnalis, Muhammad menjelaskan terkait kode etik. “Kode etik ini sederhananya begini sahabat-sahabat jurnalis, concernnya bukan pada benar salah. Kalau benar salah itu ada di KPU dan Bawaslu karena sesuai aturan. PKPU nya bilang A … ya tegak lurus saja dengan A kalau Bawaslu bilang B, ya tegak lurus saja dengan B. Tidak cukup hanya tegak lurus dengan aturan tetapi juga bagaimana memastikan perilaku kita itu dalam koridor atau nilai kepatutan atau tidak patut,” jelasnya.
Dalam kesempatan ini, Muhammad kembali mengimbau penyelenggara ad hoc agar tidak minum kopi di warung kopi sampai dilantiknya kepala daerah. Imbauan DKPP ini didasari alasan bahwa di banyak daerah, warung kopi biasanya adalah tempat terjadinya diskusi-diskusi baik yang positif maupun yang negatif. “Salahkan? tidak salah. Kopi anda beli sendiri, nikmati sendiri. Tetapi calon pemilih anda di Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango, Pohuwato akan bertanya-tanya. Itu siapa Panwas? PPK? Timses?,” katanya lagi.
Core business KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah ‘public trust’, menjaga, merawat, dan memelihara kepercayaan publik, karena jika tanpa kepercayaan publik meskipun penyelenggara telah bekerja dengan baik tetap saja akan menimbulkan kecurigaan. Masyarakat akan curiga jika melihat ada penyelenggara dan tim sukses berada di tempat ngopi yang sama. Ini yang dimaksud Prof. Muhammad sebagai perspektif etika. Bukan tentang benar salah, tetapi patut atau tidak patut.
Di akhir paparan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanuddin ini mengapresiasi kehadiran jurnalis yang merupakan bagian yang sangat penting sebagai pilar ke empat demokrasi. “Saya sangat hormat dengan ideologi teman-teman jurnalis, bijak di garis tak berpihak,” pungkasnya. (tro/dkpp)
Comment