Oleh:
Anang S. Otoluwa
KATA pulang, terdengar sederhana dan nyaris remeh. Tapi, kemarin sore, di pelabuhan Gorontalo, kata itu tiba-tiba menjadi kompleks, dan menggelitik pikiran saya.
Bermula dari percakapan Pak Jamal (Kadis Perhubungan), ibu Wagub, dan saya, menjelang saya naik kapal Sabuk Nusantara 76, menuju Luwuk, di hari Natal kemarin. Bertepatan, sore itu rombongan Gubernur/Wagub, dan Forkopimda meninjau pos Nataru di pelabuhan.
Sambil menunjuk ke saya, Pak Jamal berkata: “Ini Pak Kadis juga pulang ke Luwuk bu”. Ibu Wagub nampak heran dan bertanya: “Pak dokter orang Gorontalo kan?”. Cepat-cepat saya jawab:”Iya bu, tapi saya lama bertugas di Luwuk”.
Saat rombongan Gubernur naik kapal, saya ikut. Dari ruang kemudi, Gubernur menyapa penumpang lewat pengeras suara. Saya tidak ingat seluruh kalimatnya, tetapi kata-kata penutupnya sangat jelas dan membekas: “Selamat pulang kampung.”
Ucapan itu terasa hangat, tetapi sekaligus memicu pertanyaan di kepala saya. Ditambah dengan penyampaian Pak Jamal sebelumnya, saya tambah bertanya-tanya: “Apakah saya dan penumpang di kapal ini benar-benar pulang?
Karena itu, ketika bertemu dengan beberapa penumpang bertampang mahasiswi, iseng saya bertanya: “Pulang libur kuliah?” Mereka tersenyum dan menggeleng. “Jalan-jalan,” jawab mereka ringan. Mereka bukan pulang, melainkan bertamasya mau lihat keindahan Luwuk.
Selang beberapa saat, saya berjumpa selebgram asal Pasar Tua, Luwuk. Saya heran melihatnya di kapal ini. Logika saya, lebih cocok saya bertemu di kapal tujuan Gorontalo. Setelah mengobrol, saya baru tahu, ternyata ia dan kawan-kawannya sudah hampir seminggu berkeliling Gorontalo. Mereka sudah cukup “jalan-jalan” dan kini mau kembali ke Luwuk.
Ucapan Pak Jamal, Gubernur, dan pertemuan-pertemuan kecil itu membuat saya berpikir: ternyata arah perjalanan yang sama tidak selalu punya tujuan yang sama. Ada yang benar-benar pulang, ada yang sekadar pergi, ada pula yang kembali tanpa merasa pulang.
Dunia hari ini memang membuat jarak terasa sangat dekat. Orang bisa lahir di satu tempat, besar di tempat lain, bekerja di tempat ketiga, dan merasa betah di tempat yang keempat. Seperti saya ini, lahir di Yogya, besar di Gorontalo, lama bertugas di Luwuk, dan kini tinggal lagi di Gorontalo.
Perpindahan tidak lagi menjadi sesuatu yang luar biasa, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ada tempat yang bukan asal-usul kita, tetapi pernah menjadi ruang hidup, ruang pengabdian, dan ruang tumbuh, sehingga kata pulang terasa wajar disematkan ke sana.
Pulang di zaman sekarang tidak lagi sesederhana kembali ke tempat lahir. Pulang bukan hanya urusan alamat di KTP atau kampung halaman. Pulang adalah soal keterhubungan. Tentang di mana seseorang merasa diterima tanpa harus menjelaskan dirinya. Tentang tempat atau suasana yang membuat hatinya tentram.
Bagi sebagian orang, pulang adalah rumah orang tua. Bagi yang lain, pulang adalah kota rantau yang memberinya arti. Bahkan ada yang pulang bukan ke tempat, melainkan ke orang yang dia rindukan.
Maka wajar jika di satu kapal yang sama, ada yang benar-benar pulang, ada yang hanya berwisata, dan ada yang sekadar kembali setelah perjalanan panjang.
Di dunia yang semakin tanpa batas ini, istilah pulang tidak kehilangan maknanya. Ia hanya berubah. Pulang tidak lagi selalu menunjuk arah geografis, melainkan keadaan batin. Ia adalah momen ketika manusia boleh menjadi dirinya sendiri, dan merasa diterima oleh lingkungannya.
Pagi ini, kapal SN 76 sudah mendekati pelabuhan. Cuaca cerah setelah semalam hujan lebat. Kota Luwuk seperti menyapa ramah dan berucap. Entah selamat datang, atau selamat pulang.(*)













Discussion about this post