gorontalopost.co.id – Angin sore di puncak Gunung Pombolu, Desa Ulanta, berembus tanpa hambatan. Tidak ada lagi riuh rendah suara wisatawan, tidak ada lagi aroma makanan dari lapak pedagang, pun tidak ada lagi antrean kendaraan di kaki bukit. Yang tersisa hanyalah sebuah bangunan batu raksasa yang berdiri membisu, menatap hampa ke arah lembah Bone Bolango.
Benteng Ulanta, yang dulu diresmikan dengan sejuta harapan sebagai ikon baru pariwisata Gorontalo, kini seolah sedang menghitung hari dalam kesendirian. Monumen bergaya kastil abad pertengahan ini mulai kehilangan nyawanya, ditinggalkan oleh keramaian yang dulu sempat memadati setiap sudut menaranya.
Jejak Kejayaan yang Memudar
Dibangun pada 2017 dan diresmikan akhir 2019, Benteng Ulanta sebenarnya memiliki narasi yang kuat. Ia berdiri di atas tanah bersejarah tempat para pejuang Gorontalo mengintai pergerakan penjajah Belanda. Namun, nilai sejarah dan kemegahan arsitekturnya ternyata tak cukup kuat untuk melawan arus pengabaian.
Kini, pemandangan di lokasi terasa begitu kontras.
Lapak-lapak kayu yang dulu mungkin direncanakan sebagai pusat ekonomi warga sekitar, kini kosong melompong. Tidak ada satu pun pedagang yang terlihat menjajakan barang. Hilangnya pengunjung secara otomatis memutus rantai ekonomi di tempat ini, menyisakan area parkir yang sunyi dan ditumbuhi rumput liar. “Monumen Mati” di Atas Bukit
Kesunyian ini bukan tanpa alasan. Minimnya perawatan dan nihilnya inovasi pengelolaan membuat Benteng Ulanta perlahan terhapus dari peta tujuan wisatawan. Dinding-dinding batu yang disusun rapi kini mulai dihiasi noda hitam akibat cuaca dan lumut yang tidak dibersihkan. Beberapa bagian fasilitas tampak terbengkalai, memberikan kesan bahwa tempat ini hanya dibangun tanpa rencana pemeliharaan jangka panjang.
“Sayang sekali, bangunannya megah tapi seperti tidak ada ruhnya. Orang datang sekali untuk foto, setelah itu tidak ada alasan untuk kembali lagi,” ujar seorang warga yang melintas di kaki bukit.
Tanpa adanya kegiatan kreatif, fasilitas penunjang yang hidup, atau pengelolaan rutin, Benteng Ulanta kini lebih menyerupai “monumen mati” daripada sebuah destinasi wisata aktif. Ia berdiri gagah secara fisik, namun kosong secara fungsi.
Menanti Keajaiban atau Terlupakan?
Padahal, potensi benteng ini sebenarnya belum sepenuhnya padam. Pemandangan matahari terbenam (sunset) dari puncak menaranya tetap menjadi salah satu yang paling dramatis di Bone Bolango. Langit yang berubah jingga di atas hamparan hijau tetap menjadi daya tarik yang tak lekang oleh waktu.
Namun, keindahan alam saja tidak cukup. Benteng Ulanta membutuhkan sentuhan tangan dingin untuk menghidupkan kembali denyut nadinya. Tanpa adanya intervensi serius dari pemerintah atau pihak pengelola, kastil di atas Gunung Pombolu ini terancam hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah pariwisata daerah—sebuah proyek ambisius yang akhirnya menyerah pada sepi.
Kini, saat malam mulai jatuh, Benteng Ulanta berdiri gelap tanpa cahaya yang berarti. Ia seolah sedang berbisik dalam sunyi, menanti apakah esok akan ada tangan yang datang untuk merawatnya, atau justru membiarkannya perlahan runtuh ditelan waktu. (mg-11)












Discussion about this post