Oleh:
Basri Amin
Pengabaian atau bahkan penindasan seringkali bermula dari praktik berbahasa. Bagaimana kita berbahasa, sejak memilih kata hingga menyusun kalimat-kalimat yang kita pergunakan dalam menyebut, mengacu atau menyapa sesuatu akan sangat menentukan seperti apa isi pikiran dan tindakan kita.
Di sisi lain, sebuah tindakan berbahasa adalah sekaligus tindakan sosial, karena dengan itulah hubungan-hubungan terbentuk, meski banyak di antaranya yang bersifat menyederhanakan dan melemahkan kelompok manusia yang lain.
Catatan ini hendak mengulang mempercakapkan gejala “cacat bahasa” itu. Hal ini saya ingat kembali ketika bertemu dengan sahabat lama, Bahrul Fuad, beberapa tahun lalu. Kami memanggilnya Cak Fu, seorang local hero dari Kediri, lulusan Humanitarian Studies dari Universitas Groningen, Belanda.
Dia selama ini dikenal sebagai tokoh nasional yang memperjuangkan hak-hak minoritas, khususnya untuk mereka-mereka yang disebut sebagai golongan “penyandang cacat” di Indonesia. Cak Fu sangat tegas mengurai bahwa tantangan serius bagi mereka yang “berkekurangan secara fisik” itu berada di level sosial budaya dan praktik kekuasaan.
Dan semua proses peminggiran yang terjadi dan bentuk-bentuk pengendalian atas hak-hak mereka bermula dari “tindakan berbahasa”, baik oleh keluarga, masyarakat umum maupun negara. Itulah yang sering terjadi dengan kalangan difabel –-yang juga lebih sering dijuduli dengan disabilitas–
Ketika saya pertama kali ketemu Cak Fu tahun 2002, dia harus menggunakan tongkat untuk bisa berjalan. Tetapi selama sekian tahun belajar di negeri Belanda, ia banyak menggunakan kursi-otomatis dan bantuan teknologi lainnya yang mendukung mobilitasnya di kampus dan dalam kegiatan sehari-harinya.
Yang jelas, Cak Fu sangat produktif dan militan, dan ini tentu tak ada ususan dengan soal pakai tongkat atau kereta. Ketika bertemu sekian hari di Medan beberapa tahun lalu, Cak Fu tetap dengan bantuan tongkat lamanya, tidak dengan kursi-rodanya.
Alasannya sederhana, kondisi jalan dan fasilitas umum kita di negeri ini masih sangat berbahaya dan tidak manusiawi bagi kalangan difabel (different abilities people).
Sudah sangat lama stigma “cacat” bagi mereka. Disadari atau tidak, pelumpuhan atas hak-hak mereka untuk berperan sejajar dengan mereka yang (terlanjur) menempatkan dirinya “normal” telah membawa akibat diskriminasi hampir di semua sektor kehidupan.
Negara pun sudah lama menempeli istilah “penyandang cacat” atau “penyandang masalah” bagi mereka yang secara fisik berbeda atau punya kelainan dengan manusia lain, termasuk dikenakan kepada mereka yang punya kendala pendengaran, penglihatan atau bicara, dst.
Rupanya, negara mulai berubah. Pada 31 Maret 2010 di Bandung, sebuah Lokakarya Kementerian Sosial berhasil mengubah istilah “Penyandang Cacat” itu menjadi “Penyandang Disabilitas”, karena kata ini dipandang lebih positif, menggambarkan fakta sebenarnya, sesuai prinsip HAM dan menggambarkan adanya hak perlakukan khusus, dst.
Sayang sekali karena suara pengambil kebijakan di Jakarta masih terlalu dominan dibandingkan dengan suara para penyandang istilah “disabilitas” itu. Ketika itu, dari 26 peserta Lokakarya, hanya 7 orang yang difabel, sisanya mewakili “suara dominan”.
Di sini tergambarkan bahwa “kata” atau “bahasa” bukanlah perkara mudah dalam merujuk kesejatian keadaan manusia. Bahwa banyak di antara kita yang punya masalah (mobilitas) fisik, atau masalah dalam hal belajar karena kondisi panca indera, adalah benar adanya.
Tapi keadaan sosial, budaya, hukum dan sandaran kemanusiaan kita haruslah jernih menempatkan manusia itu. Sangat tidak bisa diterima kalau karena keterbatasan atau perbedaan fisik kemudian ketidakadilan dibenarkan dalam praktik sehari-hari.
Kata “penyandang cacat” adalah kata-kata yang harus kita buang dalam kosa kata kita ketika merujuk saudara-saudara kita yang punya “kekurangan” atau perbedaan fisik dengan kita. Ada pandangan yang merendahkan dan pikiran di benak yang menempatkan mereka dalam ketidak-berdayaan atau dalam kepasrahan.
Padahal, alam nyata memperlihatkan sangat banyak di antara mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Bisa melakukan banyak hal, hanya caranya berbeda. Kita sudah sering menyaksikan keluarbiasaan itu melaui media.
Saya teringat Professor Albert (Bob) Robillard, guru besar saya di Universitas Hawaii, yang menulis buku “Meaning of Disability” (1999). Ketika mengikuti kuliahnya, dia memang tak lagi bisa bersuara, tubuhnya telentang di kursi roda dan hanya bibirnya yang bergerak dan yang aktif adalah asistennya –spesialis pembaca bibir— dan komputernya. Tetapi, tak sedikit pun yang terkurangi dari bobot pelajarannya meski tak mungkin sama atraktifnya dengan dosen lain di kelas.
Prof. Robillard adalah murid penemu Teori Etnometodologi, Harold Garfinkel, dari Universitas California, Los Angeles (UC-LA). Teori inilah yang memberi tempat pada “peristiwa sehari-hari yang dikerjakan oleh kebanyakan manusia”, yang menempatkan spontanitas, bahasa yang otentik, makna yang rutin untuk kita pertukarkan, bangun dan sepakati bersama setiap harinya.
Sikap kita sebagai manusia terhadap manusia lainnya rupanya butuh dipersoalkan setiap saat. Manusia perlu diluruskan kemanusiaannya karena manusia pun mudah terjerumus atas kuasa yang dimilikinya. Jika manusia adalah “sempurna” sebagai ciptaan Tuhan, maka mestinya selalu ada nilai kesempurnaan yang inheren pada (totalitas) dirinya, betapa pun itu secara fisik bisa jadi berbeda satu sama lain.
Dalam rangka inilah, kata “cacat” dipersoalkan karena terkesan secara sosial kita menolak kesempurnaan penciptaan manusia itu. Tentu saja orang bisa saja menghitung ukuran kesempurnaan atau kelengkapan organ-organ dan faktor-faktor genetik lainnya, tapi tak satu pun manusia dan jenis ilmu pengetahuan yang mampu menghitung (kapasitas) kelebihan dan kekurangan setiap manusia.
Di jalan-jalan raya, di emperan pertokoan dan di banyak tempat lagi, masih banyak “cacat” kebijakan, cacat adab, dan sikap hidup yang tidak manusiawi.
Kita punya cacat moral –bahkan cacat spritualitas– karena kita masih mudah menempatkan manusia lain yang berbeda fisik dengan kita, yang di mata kita mereka tidak sempurna atau berkekurangan, sebagai “penyandang cacat”. Padahal, pada hakikatnya tak ada yang cacat dari mereka. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Surel: basriamin@gmail.com











Discussion about this post