Oleh:
Anang S. Otoluwa
NAMANYA Hayunnisa. Artinya perempuan dengan kehidupan yang baik. Sebuah nama yang pada dirinya memikul harapan besar, meski sejak awal kehidupan ia diuji dengan kenyataan yang tidak ringan. Ia lahir di Bolango Utara, Bone Bolango Gorontalo, tanpa anus yang terbentuk sempurna. Kini usianya 3 tahun 5 bulan.
Sejak hari-hari pertamanya, hidup Hayunnisa bergantung pada sebuah saluran “sementara” di perutnya. Dr. Yunus Lihawa, Sp.B melakukan itu sebagai ikhtiar medis agar ia tetap bisa bertahan, tumbuh, dan tersenyum seperti anak-anak lain seusianya.
Selama tiga tahun lebih, orang tuanya menjalani hari-hari penuh kerepotan, kewaspadaan, dan kesabaran yang nyaris tak terucap. Sampai suatu ketika, foto Hayunnisa beredar.
Bukan untuk mengundang iba, tetapi sebagai panggilan nurani. Foto itu sampai ke tangan saya tanggal 26 November, lewat ajudan Wakil Gubernur, dan dari Kepala Dinas Sosial, Ibu Sagita. Pesannya sederhana namun mendesak: anak ini harus segera dibantu.
Upaya rujukan ke Makassar menjadi pilihan paling rasional, sebab di Gorontalo belum tersedia dokter ahli bedah anak. Namun di situlah realitas birokrasi menunjukkan batasnya. Dana talangan di Dinkes tidak bisa digunakan, karena kasus ini bisa ditanggung BPJS.
Kami lalu berpaling mohon bantuan ke Baznas. Baznas pun memiliki aturan yang sama ketatnya: bantuan tidak boleh membiayai pelayanan rumah sakit, hanya boleh transportasi pasien dan keluarga. Artinya, dana dari Baznas bisa dipakai bila Hayunnisa dioperasi di Makassar. Namun rencana itu pun tersendat, karena orang tua Hayunnisa ternyata takut naik pesawat.
Di titik itulah harapan nyaris berhenti, sampai kemudian datang kabar baik yang terasa seperti keajaiban kecil. Melalui dr. Yunus saya mendapat kabar, jika Dr. Ahmad Wirawan SpB, SpBA siap membantu. Dia bersedia datang ke Gorontalo. Operasi bisa dilakukan di RS Toto. Tidak perlu rujukan jauh.
Tidak perlu ketakutan terbang. Yang dibutuhkan hanya satu hal: tiket untuk mendatangkan sang dokter. Dokter Ahmad tak perlu hotel, sebab dia mau nginap di rumah dr. Yunus, sahabat lamanya saat mengambil spesialis bedah.
Namun sekali lagi, aturan berdiri kaku. Dana Baznas tidak dapat digunakan untuk transportasi dokter Ahmad. Seolah-olah sistem telah berkata cukup, dan tidak menyediakan celah lagi.
Di situlah kemuliaan manusia mengambil alih ruang yang tak mampu dijangkau aturan. Teman-teman berinisiatif patungan. Tanpa rapat panjang. Tanpa proposal berlembar-lembar.
Tanpa menunggu perintah. Mereka menyumbang sebagai sesama manusia yang memahami bahwa di balik istilah “kasus”, ada seorang anak kecil bernama Hayunnisa yang sedang menunggu masa depannya diperbaiki.
Tanggal 20 Desember, sebagaimana direncanakan, operasi itu akhirnya terlaksana. Kemuliaan seorang dokter bedah anak tidak selalu hadir di ruang operasi yang megah atau konferensi ilmiah bergengsi.
Kadang ia hadir dalam kesediaan meninggalkan rutinitas, menempuh perjalanan jauh, dan mengabdikan keahliannya demi satu nyawa kecil di daerah yang serba terbatas.
Dr. Ahmad menunjukkan bahwa sumpah dokter bukan sekadar teks, melainkan komitmen hidup. Dan kepedulian tidak selalu berbentuk kebijakan besar atau anggaran milyaran. Ia bisa hadir dalam donasi kecil, dalam jamuan sederhana, dalam niat tulus orang-orang yang bersedia membantu.
Hayunnisa mungkin belum mengerti semua ini. Tapi suatu hari, ketika ia tumbuh besar, ia akan hidup dengan tubuh yang lebih utuh karena ada orang-orang yang memilih untuk peduli, melampaui birokrasi, aturan, dan kepentingan pribadi.
Di situlah kita belajar: bahwa kemanusiaan sejati selalu menemukan jalannya, asal ada hati yang mau mendengar panggilan hidup. Dari sinj juga kita bisa belajar bahwa kemuliaan itu bisa datang tanpa sebuah panggung.(*)













Discussion about this post