Oleh
M. Rezki Daud
Fellow Lembaga Kajian Sekolah & Masyarakat (Leksema) & Bekerja di PGSD-FIP-UNG
DI Gorontalo, sejarah Guru juga sejarah pejuang. Di satu masa, mereka pernah berada di barisan depan, menunjukan pengabdian dan pengorbanannya kepada bangsa. Semangat cinta akan tanah air mereka tunjukan tidak sebatas ceramah dan mengajar di kelas. Guru turut menjadi martir gerakan pencerdasan dan penumpasan ”penjajahan/pemberontakan”.
Anwar Haras, salah satu wartawan terbaik yang dimiliki Gorontalo memberi persembahan kata dalam karyanya. Ia menuliskan persembahan tersebut tahun 1959 di bulan Agustus. Guru-Guru SMA Negeri Gorontalo tak lupa Ia disebutkan:
”..Timbulnya Coup D’etat di bawah pimpinan Reskor Nani Wartabone: Inspektur Polisi Tingkat 1 Pendang Kalengkongan; Sersan Major PM Sujitno, dengan tidak melupakan pula Guru-Guru SMA Negeri Gorontalo Trijanto, Mursito dkk, telah tjukup menggemparkan Permesta/PRRI..”
Dalam konteks itu, sangat nyata bahwa di Gorontalo, terutama di masa-masa yang bergejolak. Seorang Guru memainkan peran yang mungkin, kini tak diketahui banyak orang. Mereka turut berjuang. Bahkan, keluar menuju ”gelanggang perang” dan menerobos batas-batas gedung sekolah.
Wujud nyatanya tampak pada masa Permesta di Gorontalo. Tidak sedikit Guru yang menjadi tawanan bahkan ada yang berjuang hingga ke hutan. Yang ditawan, seperti: Soekla (Guru SMA B/C Negeri Gorontalo, No.20); Marsono (Guru SMP Neg. Gorontalo, No. 22); Edy Sutomo (SGA Gorontalo, No 24); Sawarno (Guru SMEP Negeri Gorontalo, No.27); Bari, Masdar , Djumadi (Guru STP Telaga, No. 31,32,3 3); Sutrasno (SMP II GTO, No. 40); A. Hulukati (Kepala SMP Tapa, No.75). Total, kurang lebih 17 Guru yang ditahan ketika itu termasuk pimpinan dan tenaga bantu di sekolah.
Pun demikian dengan yang menjadi bagian Pasukan Rimba Nani Wartabone, beberapa dari mereka adalah seorang Guru: Rasjid U. Potutu (No. 33); Jusuf Hunowu (No. 35), Mohamad Abas (No. 35) (Guru Sekolah Rakyat), Rabinson Lanangawa (No. 89), Nurdin Maijo (No. 131) (Guru SMP), Hamid R Tohopi (Guru S.R, No 134), Budhojo (Guru SMP 1, No. 156); Subadi, Sukardi (Guru SMA, No. 199,200), Djamal (SMEA Negeri. No.215). Total dalam pasukan ini sekitar, 25 Guru yang ikut, sudah termasuk pimpinan sekolah.
Nama-nama di atas bagi sebagian orang jarang dikenal, tetapi di atas kanvas sejarah, mereka telah berhasil menorehkan tinta, meninggalkan jejak cerita, serta mewariskan ”Api Perjuangan”. Data-data ini direkam dan diuraikan dalam karya Anwar Haras (1960) ”Coup D’Etat dan Penumpasan Pemberontak di Gorontalo”. Bahkan, dalam karya tersebut. Seorang Guru bernama Djamal dari SMEA Negeri beroleh ruang memberi sambutan dan melaporkan mewakili Guru-Guru dan Pegawai. Pada 21 Desember 1959, Ia menulis sambutannya dengan sangat baik:
”… Tidak dapat kita lupakan bahwa dalam perdjoangan ini, kami kehilangan 23 orang kawan seperdjuangan dan diantaranya 15 orang Guru-Guru sekolah landjutan pertama/atas, di samping rakjat yang ikut menjadi korban. Achirnya, kepada pelajar-pelajar yang ikut serta dalam pembelaan negara ini baik secara aktif bergerilya maupun secara illegal dalam kota, kami ucapkan banyak-banyak terima kasih”
Angka 15 (lima belas) orang Guru yang wafat ketika itu tak bisa dikategorikan sedikit. Angka itu adalah nyawa sekaligus jejak pengabdian hingga titik akhir yang dilakukan para Guru pejuang di Gorontalo. Mereka membuktikan nasionalisme keguruan berlaku di manapun tempatnya. Perjuangan mereka telah melampaui apa yang dimengerti dengan tugas-tugas keguruan di masa sekarang (baca: mengajar).
Situasi di atas membuka jalan akan refleksi kesejarahan Gorontalo, bahwa sejarah Gorontalo tak bisa dilepaskan dengan sejarah Guru. Dimensi Guru dalam perlintasan dan panggung sejarah di Gorontalo merupakan titik menarik yang masih perlu mendapatkan perhatian. Bukan tak mungkin, selama ini narasi Guru masih terselip-selip dan belum sepenuhnya diangkat ke permukaan terutama dijadikan satu tema utuh yang terkoneksi dalam linimasa peristiwa heroik di Gorontalo termasuk 23 Januari 1942, masa Permesta dan ketika Pembentukan Provinsi Gorontalo.
Keutuhan tema itu, bisa diperlebar jejaknya di masa-masa kolonial. Kajian sebelumnya, telah ditunjukan Hasanuddin & Amin (2012) ”Gorontalo dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial” serta
Hasanuddin et al (2012) dalam ”Sejarah Pendidikan Gorontalo”. Di masa-masa itu, dengan situasi berkembangnya persekolahan –satu diantara pelopornya adalah Muhammadiyah– Gorontalo mengalami masalah kekurangan tenaga pengajar. Dengan jalan itu pula, pemuda Gorontalo/Kader Muhammadiyah dikirim ke Yogyakarta untuk menimba ilmu dengan harapan dapat menjadi pengajar di Gorontalo nantinya.
Pada akhirnya, 25 November 2025 kemarin yang kerap diperingati sebagai Hari Guru Nasional, merupakan sebuah momentum sejarah. Penting mengucapkan selamat Hari Guru, lebih-lebih merayakannya, mengadakan lomba, memberi hadiah dan menyemarakan kebersamaan. Namun, bukankah juga tak kalah penting untuk memastikan seorang Guru agar tetap selamat.
Sejak dulu hingga kini, makna keselamatan selalu ternilai dari sisi material, maka dalam konteks ini keselamatan itu bisa bersifat wawasan pengetahuan keguruan. Bila soal material, tampaknya sudah menjadi semacam lagu lama tentang faktor kesejahteraan sebagai problem dominan, maka soal pengetahuan, refleksi kesejarahan tentang Guru dapat menjadi nilai-nilai yang bisa ditanamkan sejak awal.
Upaya merefleksikan perjuangan Guru di masa lalu membawa pada ”kesadaran sejarah” akan tanggungjawab yang setiap saat akan diuji waktu dan keadaan. Satu hal yang tak boleh dilupakan. Meskipun pandangan Ki. Hadjar Dewantara ”setiap orang adalah Guru” kiranya menjadi penting untuk tidak salah berguru. Ingat, bahwa dalam sejarah Gorontalo ada demikian banyak Guru Pejuang. Mereka adalah cermin yang baik sekaligus dapat membawa kita berkaca tentang keteladanan dan pengorbanan. Sekali lagi, selamat hari Guru!!!.











Discussion about this post