Gorontalopost.co.id, GORONTALO — Pengurus Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) Gorontalo setuju bila PT Pabrik Gula Gorontalo menerapkan sistem bagi hasil gula, kepada para petani tebu dibandingkan menggunakan sistem beli putus dengan harga tebu yang tidak sesuai dengan harga telah ditetapkan oleh pemerintah melaui Dirjen Perkebunan dan tanaman semusim.
Hal ini disampaikan Ketua DPC APTRI Gorontalo Heri Purnomo didampingi Sekteretaris APTRI Slamet Jumantoro serta sejumlah petani tebu saat bertandang ke redaksi Gorontalo Post, Selasa (17/9/2025).
“Ya, justru hal itu yang diharapkan oleh petani tebu dari dulu yakni sistem bagi hasil. Syukurlah jika PT PG Gorontalo akan menerapkan sistem bagi hasil gula seperti itu, kami malah senang dan untung,”kata Heri.
Menurut Heri, bahwa Mulyadi salah satu petani tebu di Boalemo yang mengatakan akan merugi jika perusahaan menerapkan sistem bagi hasil, itu sama sekali pernyataan keliru. Sebab Mulyadi kata Heri bukan mewakili keseluruhan petani tebu, melainkan hanya salah satu petani yang mempunyai lahan tebu beberapa hektare saja sehingga tidak punya kapasitas untuk bicara seperti itu.
Secara matematis jelas Heri, jika gunakan bagi hasil, maka dari hitungan randemen tujuh, Rp 1.015.000. Pabrik gula hanya mendapat bagian 34 persen, sedangkan petani mendapatkan 66 persen dengan nilai nominal Rp 669 ribu lebih. Ditambah uang tetes.
“Makannya target kami itu bagi hasil lebih menguntungkan petani. Untuk modal biaya tanam hingga penen tebu, semua petani memiliki modal sendiri. Kalaupun gak ada modal, kan ada uang di Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) jumlahnya miliaran rupiah justru tidak terpakai,”ungkap Heri.
Untuk tenaga tebang, juga diakui Heri petani bisa sediakan sendiri, apalagi untuk pemasaran juga kata Heri sangat gampang, semua akan difasilitasi oleh APTRI. Terkait pernyataan Dirjenbun saat rapat zoom meeting bahwa penetapan harga tebu Rp 660 ribu tidak berlaku surut, melainkan hanya berlaku untuk tebu yang ditebang setelah 7 September 2025 kurang lebih 30 hektare yang akan dibayarkan Rp 660 ribu. Menurut
Slamet Jumantoro, bahwa Dirjen hanya mengumpamakan saja jika petani dibayarkan seperti itu apa setuju atau tidak, dan APTRI menyatakan tetap tidak setuju. Pihaknya kata Slamet menunggu waktu yang sudah disepakati saat zoom meeting dengan Dirjen Tanaman semusim serta Ketua Asosiasi Petani Tebu.
Dari awal tebangan, pada Februari 2025, petani tebu masih mengacu pada harga ketetapan pemerintah sebelumnya tahun 2023-2024 dengan HPP Gorontalo Rp 510 Ribu per ton tebu. Pada April 2025 terbitlah edaran dari Direktur Tanaman Semusin, yang menetapkan harga tebu angka Rp 540 ribu/ton.
Maka tenggang waktu dua bulan dari Februari-April, terbit surat edaran, maka petani tebu sudah menerima pembayaran SHU, sehingga perusahaan rapel selisihnya Rp 30 Ribu. Karena April saat terbitnya edaran tersebut, Petani merasa bahwa apa yang muncul dari Harga Pokok Pembelian (HPP), Rp 540 ada kejanggalan.
Maka APTRI mendatangi tim survei independen di Jakarta selaku pihak yang berwewenang dalam menentukan Biaya Pokok Produksi (BPP). Dimana, APTRI mempertanyakan mengenai dasar penetapan harga tebu sebesar Rp 540 Ribu. Setelah dilakukan penghitungan kembali, ternyata tim survei mengaku telah terjadi kekeliruan data.
Pada 21 Juli 2025 dilakukan revisi kembali atas harga Rp 540 ribu/ton. Selanjutnya terbit surat revisi edaran dari kementrian pertanian lewat tanaman semusim yang sebelumnya Rp 540 menjadi Rp 660 Ribu/ton.
“Yang jelas ada kekeliruan data atau apa saya nda paham, Sesuai fakta yang ada, kami mencurigai ada yang disembunyikan tim survei independen. Karena biaya pokok produksi kita di Gorontalo diatas Rp 600 ribu. Sehingga saya pertanyakan Kenapa hanya muncul HPP Rp 540 Ribu.
Memang penetapan harga Rp 660 ribu ini sudah tidak dilakukan survei atau wawancara lagi kepada para petani tebu oleh tim survei independen, sebab diakui Slamet bahwa survei itu hanya dilakukan sekali saja. Apalagi kesalahan penetapan harga Rp 540 ribu diakui tim survei independen adalah kesalahan input data mereka sendiri,”ungkap Slamet.
Motivasi APTRI memperjuangkan harga tebu Rp 660 ribu bukan karena mendapatkan keuntungan dari pungutan iuran Rp 20 Ribu per ton dari selisih Rp 120 Ribu perton yang akan dibayarkan oleh Pabrik Gula.
Namun, karena APTRI sebagai asosiasi merupakan organisasi non profit, semua kebutuhan organisasi termasuk pembinaan ke petani tebu, salah satunya untuk biaya transportasi dan akomodasi untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan hak-hak petani.
Iuran yang dipungut APTRI dari para petani Legal bukan ilegal. di AD-ART Asosiasi juga ada, untuk besaran iuran yang menentukan anggota sendiri. dan perlu saya tegaskan pungutan iuran ini seterusnya bukan hanya disaat kenaikan harga Rp 660 ribu.
“APTRI ini untuk mewadahi petani, bukan tiba-tiba muncul setelah adannya kenaikan harga Tebu Rp 660 ribu yang ditetapkan Dirjenbun ini. Sebab APTRI lebih dulu terbentuk pada Mei 2025 sebelum adannya kenaikan harga tebu Rp 660 ribu Juli 2025. Karena memang APTRI yang memperjuangkan harga tebu Rp 660 ribu tersebut di kementrian pertanian dan perkebunan. Dan saat ini Masih sementara berproses dan telah difasilitasi oleh pemerintah daerah lewat Dinas Pertanian Perkebunan dan Dinas PTSP, Dinas Perdagangan,”tandas Slamet.
Sikap Petani jika PT PG tetap kekeh dengan harga tebu Rp 540 Ribu. Tuntutan petani kata Slamet sesuai hasil zoom meeting pada 7 September jelas bahwa pabrik gula harus membayar Rp 660 ribu, jika tidak membayar dengan harga itu, maka ada Surat Peringatan satu hingga tiga yang diberikan dinas terkait.
Untuk itu APTRI menunggu sikap dari dinas dulu selaku pemerintah. PIhaknya juga tegas Slamet dari LBH PPNU juga akan menggugat pabrik gula secara perdata terkait permasalahan ini. Namun ketika ditanya mengenai Legal standing (kedudukan hukum) LBH PPNU, Slamet tidak bisa menjawab hal itu.
“Ya, nanti kita liat, untuk saat ini belum kita pikirkan mengenai legal standingnya,”tutup Slamet. Sementara itu Manager Publik Relation Marthen Turu’alo ketika dikonfirmasi perihal keinginan APTRI menggunakan sistem bagi hasil, pihaknya kata Marthen akan mengabulkan permintaan APTRI tersebut.
“Ya, kalau begitu tahun ini juga akan kami ubah menjadi sistem bagi hasil. Nanti kita lihat apakah petani kesulitan atau tidak, sebab tidak semua petani yang memiliki modal. terutama mengenai pemasaran dan lain sebagainnya,”kata Marthen.
Pihaknya juga kata Marthen pada Rabu (18/9/2025) hari ini akan ketemu Kadis Pertanian Provinsi Gorontalo untuk sampaikan data bahwa tebu yang ditebang setelah tanggal 7 Septeember 2025 sejumlah 30 hektare sesuai penyampaian Dirjenbun, itu yang akan dibayar Rp 660 ribu.
“Itu kan pak Dirjenbun langsung yang ngomong. yang sudah terlanjur ditebang pakai harga Rp 540 Ribu. yang jelas Direksi tidak mau bayar harga Rp 660 ribu per 21 Juli 2025,”tutup Marthen. (roy)











Discussion about this post