Oleh:
Basri Amin
PASTI hambar rasanya Indonesia kita tanpa lagu-lagu perjuangan yang menggetarkan sukma nasionalisme kita. Abadi terkenal lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan untuk Kongres Pemuda 1928 oleh W.R. Soepratman (1903-1938) yang terkenang dengan biola-nya.
Untuk pertama kalinya kita menyimak kesahduan kata-kata: “bangunlah jiwanya…//…bangsaku, rakyatku semuanya…//…Hiduplah Indonesia Raya…//…tanah airku…// tanah tumpah darahku…//..jadi Pandu Ibuku..//
Dahsyat benar penjiwaan dan spirit kebebasan bangsa yang dibentuk dalam setiap lirik Indonesia Raya itu. Padahal, W.R. Supratman tidak semata sebagai komponis perjuangan. Ia sebenarnya cukup lama berperan sebagai wartawan. Beliau meliput Kongres Pemuda I (30 April-2 Mei 1926) dan Kongres Pemuda II (27-28 Oktober 1928) dan menerbitkannya di koran terkenal tempat di mana ia bekerja, Sin Po, sebuah koran besar berbahasa Melayu yang diterbitkan peranakan Tionghoa (1910).
Pada 15 Maret 1926, koran Sin Po sudah menulis kata “Indonesia” (Coppel, 2021). Penting dicatat bahwa Sin Po, tujuh tahun kemudian, adalah sebuah kekuatan politik dalam menegaskan nasionalisme keturunan Tionghoa dalam pergumulan nasionalisme (baru) di Hindia belanda (pra-Indonesia) ketika polemik kewargaan, pribumi, nasionalisme, dan kekerasan memasuki dinamikanya yang pelik (Suryadinata, 1979).
Dengan bukti ‘sederhana’ dari Sin Po, kita bisa menemukan pantulan ‘lain’ dari keIndonesian kita hari ini dan di masa depan. Begitu banyak “perjumpaan” yang melahirkan Indonesia sebagai negara-bangsa. Sebuah negara yang mewadahi begitu “banyak bangsa” dan teritori, dengan gelombang polemik politik dan aspirasi kebudayaan baru (Mihardja [1948], 1986). Itulah yang mengendap dalam jiwa dan pengalaman hidup W.R. Supratman ketika menjalani masa muda-kreatifnya di Makassar sejak tahun 1914, dua tahun sepeninggal ibunda tercintanya.
Tak lama setelah ia menamatkan Normaal School di Makassar, W.R. Supratman menjadi Guru di Sekolah Dasar. Dengan cerita ini saja, sangat jelas bahwa sejarah Makassar adalah bagian utama dari sejarah hidup W.R. Supratman, begitulah pula selanjutnya: bahwa W.R. Supratman adalah bagian dari memori kolektif Sulawesi dan Jawa. Bagaimanalah mungkin jejak ini dipandang sepele!. Bukanlah ketertarikan Wage (Rudolf) Supratman remaja kepada alat musik Biola justru memuncak pada sepanjang perjalanannya dari Batavia menuju Makassar pada tahun 1914.
Di usianya yang masih muda itu, tensi estetiknya mulai menanjak dan terwadahi kreatif ketika ia menjadi anggota Black-White Jazz Band –yang ketika itu banyak manggung di (klub) Societeit Makassar. Grup musik ini dikelola oleh kakak iparnya Van Eldik. Ia adalah suami dari kakak sulungnya, Rukiyem Supratiyah van Eldik, yang pada tahun 1914 pindah dari Batavia ke Makassar dalam posisinya sebagai Sersan KNIL. Di tahun itulah Wage diajak ke Makassar dengan kapal “van der Wijk” (Sularso, 1983: 76-88).
Wage adalah nama awalnya yang diberikan oleh ibundanya. Ayahnya, yang adalah seorang Sersan KNIL, dikemudian hari menambahkan namanya dengan Supratman. Uniknya, ketia ia tiba di Makassar, namanya ditambah dengan sisipan “Rudolf”. Rupanya, dengan nama itu maka ia (Wage remaja) menjadi bagian dari citra besar “Barat” (Belanda) di kota ini.
Dengan ‘nama baru’ itulah pula ia dikondisikan layak memasuki sekolah yang didominasi oleh anak-anak Eropa, Europese Lagere School (ELS). Selama di Makassar, dia tercatat “giat belajar bahasa Bugis”. Sampai tahun 1922, W.R. Supratman sudah menguasai Bahasa Bugis, Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis (AR, Selecta, 1982: 2,73).
Di kota Makassar, nama Wage “Rudolf’ Supratman naik daun dan bahkan terkenal di antara anggota Societeit. Ia dipanggil “Meneer Supratman…”. Penghasilannya lumayan dan ia pun banyak bergaul dengan gadis-gadis Indo dan banyak bersenang-senang. Tak lama setelah itu, W.R. Supratman disarankan kakaknya untuk berhenti jadi Guru mengingat keluarga kakaknya akan segera pindah ke daerah pedalaman, tepatnya di Sengkang (1923). Sejak itu, kakaknya sangat meragukan keselamatannya dan menyarakan agar berhenti menjadi “pegawai negeri”, agar ia fokus dengan talenta musiknya.
Tahun 1922 adalah momen menentukan, tepat ketika W.R. Supratman mengenal pertama kali lagu La Marseilles –lagu kebangsaan Perancis ciptaan Rouget de L’isle. Sejak itu, mekarlah di hatinya bahwa: “…suatu saat bisa menciptakan lagu kebangsaan…”. Sejak 1924, kesadaran politiknya mulai muncul, antara lain karena membaca koran Sin Po. Di masa itu, W.R. Supratman sangat aktif mengikuti berita-berita politik, terutama dengan membaca koran Pemberita Makassar. Di masa itulah pula ia tertarik di bidang jurnalistik.
Kota Makassar membentuk banyak hal dalam diri W.R. Supratman. Gairah menciptanya terus menyala. Lagu perjuangan dan kebangsaan sudah tumbuh-besar dalam imajinasi bahasanya. Ia kemudian sangat sadar bahwa ia harus terlibat langsung dalam percaturan kebangsaan dan perjuangan. Setelah 10 tahun di Makassar, Supratman (merasa) harus kembali ke Jawa, tepatnya ke Bandung –-sebagai ‘pusat’ perjuangan kaum muda nasionalis. Ia sempat sejenak di Surabaya dan bergaul dengan Kelompok Studi Indonesia–.
Ketika Wage akhirnya kembali ke Jawa tahun 1924 itu, kepergiannya disertai “linangan air mata keluarga val Eldik di Makassar.” Tapi, ia tak lupa membawa “biola pemberian kakak iparnya” yang sudah menyatu dengan cita-cita hidupnya. Dengan biola itulah, ia menemukan Indonesia Raya yang sempurna pada tahun 28 Oktober 1928 di Kramat Raya 106 Jakarta Pusat.
Di Bandung, W.R. Supratman melamar menjadi wartawan pada koran nasionalis terkenal, Kaoem Moeda. Gajinya sebagai reporter jauh lebih rendah dari gajinya di Black-White Jazz Band di Makassar. Karena itu ia sempat berpikir kembali ke Makassar karena di sana pendapatannya lumayan baik sebagai musikus, tapi ia kemudian sadar bahwa pilihan itu akan menyulitkannya menjadi komposer lagu-lagu Perjuangan jika tidak terlibat berjuang-nasional di Jawa.
Ketika bekerja di Sin Po, Supratman meliput banyak berita di Batavia dan berkesempatan bertemu tokoh-tokoh nasionalis –dengan itulah akhirnya dia tahu bahwa akan ada Kongres Pemuda di Batavia/Jakarta. Ia ikuti bagaimana “organisasi pemuda kedaerahan menyatu untuk persatuan Indonesia…”.
Ia pun akhirnya melahirkan lagu (mars) pertamanya, Dari Barat sampai Timur. Tak lama setelah Kongres Pemuda I pada Mei 1926, terutama ketika bersua-jiwa dengan bahasa-Pidato M. Tabrani, W.R. Supratman pun melahirkan lagu berjudul Indonesia berirama 6/8. Ia gembira dengan gubahannya ini dan ia pun segera mengirim kabar gembiranya kepada kakak iparnya van Eldik di Makassar.
Secara geneologis, “orang Indonesia” berasal dari “rahim banyak bangsa”. Hakikinya adalah kesetaraan dalam hak-hak kewargaan. Kendati begitu, kenangan bersama kita –ketika “menjadi Indonesia”– sudahlah pasti membenarkan banyaknya perbedaan dan keragaman. Kini kita butuh keindonesiaan yang lebih tegak dan menggema, sejiwa dengan kata-kata Mochtar Pabottingi:”…Indonesialah yang membuatku berarti dan berhak melangkah ke mana saja…”. Ayo, mari merayakan Indonesia kita yang Merdeka jiwa – raganya! ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu.
Surel: basriamin@gmail.com










Discussion about this post