Oleh:
Basri Amin
Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
Parner di Voice-of-HaleHepu
PADA tahun 1941, tercatat tiga nama perempuan Gorontalo yang menempuh pendidikan di tanah Jawa. Nilai belajar mereka membanggakan. Ketiganya adalah Marie Datau di Jogjakarta, M. Tjitrowati di Solo dan Hadidja Datau di Semarang. Nilai hasil pelajaran mereka untuk Aljabar, Geografi dan Sejarah Alam, cukup tinggi (#8).
Ketiganya adalah contoh lulusan HIS dari Gorontalo Instituut yang dipimpin oleh seorang nasionalis dan Guru idealis dari Jawa yang mewakafkan pengabdiannya di bumi Gorontalo, Rekso-Soemitro, yang kemudian mengirimkan murid-murid potensialnya ke tanah Jawa.
Jauh sebelum itu, beberapa anak terbaik Gorontalo sudah tercatat menempuh pendidikan mereka di Jawa, juga Medan, Sumatera. Kita tahu bagaimana di era 1920-an Aloei Saboe dan Nani Wartabone memilih bersekolah di Surabaya. Demikian pula dengan HB Jassin di Medan. Yang lain di Tondano, Manado atau Tomohon di Minahasa. Ajoeba Wartabone di Batavia.
Di akhir 1940-an–1950-an semakin banyak terbaca lulusan-lulusan terbaik Gorontalo berhasil mengecap pendidikan di kota-kota utama di Indonesia, sebut saja Djogjakarta, Bandung, Surabaya, Jakarta, Makassar dan Manado. Henk Uno misalnya berhasil lulus di Algemene Lagere School (ALS) di Makassar, kemudian tahun 1956 di ITB; atau sebelum itu J.A. Katili mulai kuliah Geologi di THS-ITB, 1950—1952.
Sampai tahun 1965, tercatat tidak kurang 97 “sarjana” atau “sarjana muda” Gorontalo yang telah menempatkan derajat akademis dan pencapaian profesional mereka di tingkat nasional. Mereka sebagian besar belajar ilmu teknik, ekonomi, kedokteran, farmasi, sejarah, sastra, tekstil, geodesi, geologi, hukum, ilmu alam, pendidikan, pertanian, pemerintahan/tata pradja, koperasi dan psikologi (Lustrum, 1965: 88—94). Kendati demikian, dalam buku “Ilmuwan & Pengusaha Nasional Sulawesi Utara (1984), hanya menyebut tiga nama dari Gorontalo: Ir. Ciputra (Bumbulan, Paguat), Ary Moctar Pedju dan Thayeb Gobel.
Uniknya, dalam manuskrip HPMIG Jogjakarta (1965), “keindonesiaan” Gorontalo sangat tampak dan terasa, sebut saja dengan kehadiran nama-nama yang punya “darah campuran” (China, Eropa, Jawa, dll). Kita misalnya menemukan nama Ir. Sie Tjia Hoan, Ir. Liang Su Tiek, Drs. Po Tian Sian, Drs. Liem Tjin Bun, dr. Tan Kie Beng, Drs. D.W. Einsenring, dr. Ratna Binol, dr. Junus Alkatiri, dll. Dengan itu, kita sedikit-banyaknya bisa membayangkan bagaimana imajinasi kegorontaloan itu berkembang di masa itu, di tengah-tengah pembentukan identitas nasional bernama “Republik Indonesia.”
Para pelajar dan mahasiswa Indonesia Gorontalo telah mendasarkan gerakan organisasi mereka dengan nama Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo (HPMIG), dengan menegaskan jejak awal berdirinya pada tahun 1955. Semangat merdeka yang nyata dalam pemikiran dan cita-cita pemajuan bangsanya diperingati tahun 1965 di Djogjakarta dengan begitu hebat. Bayangkan saja brosur peringatan Lustrum ke-2 tersusun setebal 100 halaman dan dicetak oleh percetakan Universitas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta. Terbit di bulan Agustus 1965.
Di dalamnya, pemikiran besar pelajar-mahasiswa Gorontalo benar-benar tampak-jernih, prospektif kajiannya dan menggema nilai dasar cita-citanya untuk Gorontalo dan Indonesia. Bahasa tulis mereka demikian presisi dan cerdas, dengan pembahasan tematik yang sungguh-sungguh memantulkan citra diri mereka sebagai masyarakat terpelajar. Tak heran kalau jajaran pemerintah di Jogjakarta, intelektual papan atas, tokoh besar HMI Prof. Lafran Pane, dan perwakilan pemerintah Gorontalo menghadiri puncak acara HPMIG –di Jogjakarta tahun 1965 tersebut.
Ketua panitianya sudah Sarjana Muda, Hans As. Daco, B.A., demikian juga dengan bendahara (Kadir Abdulsamad, B.A.) dan sekretarisnya (Ismail BokiU, B.A). Di tahun itu, ketua umum HPMIG – Jogjakarta bernama Kasiru Salimi, B.A. Sang ketua menjelaskan singkat bahwa “kerukunan pelajar dan mahasiswa” Gorontalo berdiri pada 5 Maret 1955 di Balai Pertemuan Umum Masjid Besar Kauman, Jogjakarta, dengan nama awal “Rukun Peladjar Mahasiswa Gorontalo.” Ia mengulas suasana sejarah tahun 1950-1955 di Jogja –sebagai dasar mengapa organisasi ini berdiri, dengan merujuk Djogja sebagai “Ibu kota perdjuangan” dan “kota Peladjar dan Mahasiswa”. Sebagai ketua pertamanya, Wahab Katili (1955/1956).
Perubahan nama “RPMG” menjadi “HPMIG” terjadi di Gorontalo, yakni melalui forum Musjawarah Pendidikan dan Kesedjahteraan Pelajar Mahasiswa Gorontalo se Indonesia di Gorontalo yang terselenggara pada 10—15 Agustus 1964.
Kemerdekaan bercita-cita dicirikan dengan kesediaan untuk berubah dan menentukan langkah kemajuan yang baru, dengan jalan diskusi, tukar-pikiran dan musyawarah yang egaliter dan bermutu. Sekian hari ratusan mahasiswa Gorontalo bertukar informasi dan argumentasi, bertempat di BPU Gorontalo.
Mahasiswa dan pelajar Gorontalo punya karakter sejarah yang istimewa sejak 1955 dan berulang kehebatan mereka di tahun 1964. Kendati terkesan jiwa-jiwa pembaruan itu terpecah-pecah perwujudannya dari waktu ke waktu, tetapi mungkin bisalah kini kembali disegarkan ketika kemerdekaan Indonesia sudah memasuki tapaknya yang ke-80 tahun.
Sebenanya, “merdeka yang nyata” di Gorontalo dimulai dengan tekad bersama melawan pengrusakan terencana yang dilakukan berulang oleh kolonialisme. Tetapi di saat yang sama, Merdeka itu juga cenderung dihalangi oleh feodalisme dan nepotisme lokal/regional. Sehingga, jiwa “Merdeka 1945” dan Patriotisme “23 Januari 1942” adalah sejiwa dan saling mengisi nilai-nilai utamanya.
Pada tahun 1954, sepuluh tahun sebelum Musjawarah Pendidikan dan Kesedjahteraan Pelajar Mahasiswa Gorontalo se Indonesia di Gorontalo, telah berdiri gagasan besar tentang pendidikan dan visi masa depan generasi terpelajar – pejuang untuk kemajuan Gorontalo. Pada hari Ahad 26 Desember 1954, Jajasan Pendidikan dan Pengadjaran Daerah Sulawesi Utara – Gorontalo didirikan dihadapan Notaris R. Kodratsamadikoen (Kepala Daerah Sulawesi Utara, merangkap Notaris merangkap di Gorontalo). Sebagai pendiri, tercatat Nusi Pedju (Penilik Sekolah Rakjat, Kantor Inspeksi Sekolah Rakjat Kabupaten Sulawesi Utara), Soewondo Dwi Atmodjo (Guru Sekolah Guru Bawah Negeri) dan Abdul Rasjid Tangahu (Guru Sekolah Menengah Ekonomi Pertama Negeri).
Sebagai Pengurus Jajasan, dipercayakan kepada Samsudin Bija (Ketua), Abudi Junus (Wakil Ketua), Nusi Pedju (Panitera) dan Po Goan Siong (Bendahara). Anggota: Arie Monoarfa, Lihawa Nasibu dan Arnold Utiarachman. Sebagai Dewan Pengawas Jajasan, adalah: Nani Wartabone, Aloei Saboe, M.M. Dunda, Jefta Mogot, Abdul Rasid Tangahu dan Adolf Johannis Senduk.
Sembilan tahun berikutnya, gagasan kemajuan pendidikan itu dimatangkan kembali dengan pendirian Jajasan Pendidikan dan Kesedjahteraan Mahasiswa/Pelajar Warga Gorontalo, yang berdiri pada Kamis 25 April 1963, yang didirikan oleh Nani Wartabone, Taki Niode, Soeno Habie dan Abdurachman Laija. Jajasan ini diresmikan oleh Bupati Tingkat II Gorontalo, Achmad Abdurrahim Wahab.
Kilasan sejarah pendidikan (1954 dan 1963) Gorontalo di atas bisa dijadikan bukti bahwa jiwa kemerdekaan itu dikerjakan di setiap zaman dengan panggilannya masing-masing. Tak hanya satu orang yang memerankan pekerjaan terpenting dan yang paling utama. Perjuangan sejati haruslah mampu memerdekaan tugas-tugas ke masa depan, demi generasi merdeka yang lebih sejahtera, dan bersama-sama.
Apa yang pernah terjadi pada 10—15 Agustus 1964 di Gorontalo, adalah sebuah forum akademis (peserta 102 orang mahasiwa/sarjana Gorontalo – dengan puluhan narasumber), yang sangat menggema maknanya di kalangan kaum muda Gorontalo. Dengan peserta musyawarah yang begitu produktif, menggunakan waktu yang cukup panjang membahas gagasan dan kerja-kerja kemajuan daerah dan bangsa, nyatalah bahwa “merdeka pikiran” haruslah mampu menggerakan perbaikan. ***
Penulis pernah terlibat di konferensi media & modernity
di University of California (U.C), Berkeley, U.S.A.










Discussion about this post