Oleh:
Basri Amin
BELAKANGAN ini, saya makin sering menyaksikan meluasnya perilaku guru-guru kita yang meluap-luap gairahnya menggosipkan teman-teman sejawatnya, termasuk kepala sekolah dan orang tua murid. Bahkan membawanya ke ruang-ruang media sosial.
Di dalam sebuah opelet, dalam perjalan Limboto – Kota, saya menyimak bagaimana sekelompok guru perempuan dari Gorontalo Utara demikian heroik membahas teman-temannya sendiri dengan sinis. Mereka juga begitu semangat memprotes kondisi sekolahnya yang “buruk”, termasuk tentang kegiatan-kegiatan organisasi Guru yang “memungut” uang untuk acara tahunan mereka.
Di media sosial, demikian meluas guru-guru kita yang menyebar kabar, live, dengan kegiatan-kegiatan privat dan “penghiburan diri” yang cenderung mengabaikan penjagaan “citra diri” mereka sebagai Pendidik yang harus mampu di-gugu di berbagai keadaan. Kelisanan, gesture dan pola-pola bahasa serta kegiatan publik mereka sewajarnya menjadi “cermin” untuk bangunan kebudayaan dan generasi kita yang terdidik.
Keteladanan, tampaknya, adalah persoalan paling serius di negeri ini. Melalui catatan ini saya meminta perhatian kepada lembaga Pembina keguruan dan pendidikan di Gorontalo untuk mengambil langkah, baik yang berbasis pendidikan umum dan keagamaan untuk mencermati performa guru-guru kita di ruang publik dan di media sosial.
Guru adalah teladan. Titik.
Lebih banyaklah belajar bermutu sebelum mengajar yang benar anak-anak kita. Jadilah Gugu yang sebenarnya. Akrabi sumber-sumber belajar yang bermutu dari seluruh penjuru dunia dan tempalah anak-anak bangsa kita di ruang-ruang kelas dan melalui keteladanan Anda sehari-hari. Pekerjaan Anda sangat mulia, bersama-sama Guru pertama nan utama di rumah, yakni para Ibu dan Ayah di rumah-rumah kita masing-masing.
BAGI mereka yang tidak (pernah) punya Guru, mereka tidak akan pernah sungguh-sungguh mengenal “hari esok”. Jika ada pekerjaan yang hendak menjawab semua harapan kita tentang hari esok, maka itulah pekerjaan seorang Guru.
Gurulah yang terdepan “menggenggam” semua cita-cita sebuah bangsa dan membawanya di dalam ruang-ruang kelas mereka. Hampir semua bahasa harapan, keluhuran hidup, dan prinsip-prinsip kebaikan menghidupi kerja-kerja mereka sehari-hari. Dengan itulah Guru menjadi merdeka dan memerdekakan.
Kondisi pendidikan kita di negeri ini terkesan masih sedang–sedang saja progresinya!”
Pada akhir abad ke-13, kata Guru atau “teacher’ dalam bahasa Inggris sudah dikenal dengan pengertian yang unik. Kata ini bahkan bersumber dari bahasa klasik Jerman. Dengan kata teacher itu, yang dituju adalah: “seseorang yang mengajak dan yang memengaruhi; kegiatan menampilkan sesuatu: melatih, menguji, mengarahkan, dan menandai. Hanya saja, sejak awal abad ke-19, pengertian Guru dan perannya semakin identik dengan “seorang yang mengajar di sekolah…” (Harper, 2001-2022). Dari sinilah mulai ada reduksi dan praktikalisasi.
Pembebasan inspirasi, akses, dan praksis keGuruan kini semakin kita butuhkan. Dengan itulah pemerdekaan yang sesungguhnya bisa bergerak dan menembus tembok-tembok yang membungkam kreativitas Guru.
GURU demikian dekat dengan “keabadian” tertentu karena dari perannyalah kemanusiaan kita dan kehidupan yang kita jalani menyuguhkan arti-arti tertentu yang terus bertambah. Di tahap awal, kesadaran kita tentang tahu dan tidak tahu, tentang latihan dan percobaan, tentang kesalahan dan kebenaran, tentang proses dan pencapaian, semuanya hadir sambung-menyambung.
Di tengah-tengah prosesnya kita membangun pengalaman, mengoleksi pengetahuan dan mendayagunakan minat-bakat kita. Terkadang hasilnya menakjubkan. Seorang anak yang tadinya kelihatan polos ternyata adalah manusia multi-talenta yang luar biasa. Sering pula kita saksikan bagaimana daya manusia demikian kaya, dalam hal: membaca, menghitung, menulis, menggambar, olah-ragawi, dst.
Proses pendidikanlah yang membuat manusia “berbeda nasibnya”. Pendidikanlah yang membuat sekolah didirikan. Tetapi, dalam faktanya, semua itu tidaklah otomatis bahwa pendidikan bermutu terselenggara paripurna di sekolah.
Dalam banyak keadaan, maaf, justru sekolah yang secara tidak langsung “menyingkirkan” makna pendidikan itu sendiri, yakni ketika anak didik hanya boleh memilih satu kondisi –yakni hanya “diajar” dengan cara-cara sepihak. Padahal, mereka mestinya harus lebih membutuhkan ruang dan sikap merdeka dalam perkara “belajar”.
Kita membutuhkan Guru sejati!
Edukator ternama, Dr. Montessori, menegaskan bahwa guru harus memihak kepada kepentingan tumbuh dan “kepentingan belajar” yang hakiki bagi anak-anaknya, yakni ruang-ruang bagi hidupnya spontanitas, percobaan, pengulangan-pengulangan, dan kegembiraan yang tak pernah berhenti dan lelah (Standing, 1957).
Guru terlahir dari “rahim kebudayaan” sebuah bangsa. Selanjutnya, derajat kepahlawanan Guru sangat ditentukan oleh masyarakat di mana ia mengabdi dan bagaimana ia menanamkan cita-cita kepada anak-anak bangsanya.
Seorang Guru bahkan terkadang tidak memulai pekerjaannya dengan “mengisi” otak dan hati anak-anaknya dengan tumpukan ‘mata pelajaran’, melainkan dengan terlebih dahulu menemukan “derita” terpendam yang melilit dan “harapan” yang mengurung kehidupannya. Selanjutnya, seorang Guru –masih menurut Montessori—, kemudian meletakkan ruang “tumbuh” bagi anak-anaknya di setiap keadaan.
Guru seperti itukah yang kita lahirkan dan saksikan dewasa ini? Jawaban bisa beragam, bahkan tak sedikit yang menyakitkan dan memilukan kita. Memuliakan pendidikan bukankah pekerjaan yang mudah. Hampir semua publikasi internasional, hingga kini, masih menempatkan mutu pendidikan kita di ‘papan bawah’.
Kita bisa marah dan kesal, tapi langkah nyata jangan terbiasa berhenti di retorika media dan pasal-pasal kebijakan yang rutin di meja-meja birokrasi (pendidikan) kita. Kita mudah menghasilkan beragam konsep dan jargon yang indah setinggi langit, tetapi rentan kehilangan daya gebrak di alam nyata. Kita pernah akrab dengan jargon revolusi mental tetapi kita cenderung lemas membangun “mental revolusi” dalam dunia pendidikan kita.
Sebelum perkara (mutu) pendidikan bangsa diurai ujung-pangkalnya, pada kapasitas gurulah percakapan serius mestinya dimulai. Jika urusan anak bangsa tidak bisa lepas dari tanggung jawab masyarakat, tetapi untuk urusan guru, pembahasannya tidak akan pernah sederhana.
Ia harus benar-benar diletakkan dalam spektrum yang mendasar, yakni tentang pemahaman dan tindakan kita yang utuh dalam menghadapi seluk-beluk kapasitas tumbuh manusia. Tanpa pandangan yang jernih tentang manusia cita Indonesia, kita akan kehilangan arah dan akan tersesat berulang-ulang dalam mencerdaskan (kehidupan) bangsa.
Di depan kelas dan di sekolah, Guru cenderung dikepung banyak pengaturan, hirarki, teknologi, dan administrasi. Pergaulan dengan murid-muridnya nyaris hanya tampak di dalam kelas –dengan pola instruksional-pedagogis–. Selebihnya, keadaan yang banyak melilit kemerdekaannya adalah pengaturan-pengaturan rutin dan kepungan administrasi yang meminggirkan faktor-faktor kontekstual dalam menghasilkan interaksi pembelajaran yang mencerahkan dan yang mengisi aspirasi-aspirasi otentik murid-muridnya.
Bobot “percakapan” dan “pemahaman” tentang manusia yang tengah tumbuh (baca: murid) dengan kegairahan yang meluap-luap masih jarang dijembatani dan dipacu perkembangannya dengan konsistensi tinggi. Ruang untuk pencapaian itu bahkan disederhanakan melalui ruang-ruang ujian (reguler) saja, sesekali dalam bentuk pertandingan/perlombaan, misalnya olimpiade, anugerah, dan kompetisi-kompetisi ini dan itu, dst. Semua ini tentu tidak salah, tetapi belum utuh menegaskan arah yang menjanjikan.
Guru harus mampu melihat gambar besar kehidupan (global) dewasa ini dan menempatkan dunia atau bumi ini -–dimana Indonesia kita yang besar ini berada di dalamnya—. Guru menentukan pembentukan posisi kesadaran dan peran kita -–sebagai bangsa— dalam peta besar tersebut. Di ruang belajar itulah, karakter, mentalitas, visi perbaikan, kemajuan, dan derajat “Guru Gagasan” menggerakkan perbaikan mutu (manusia) Indonesia.***










Discussion about this post