Oleh:
Basri Amin
KEHADIRAN Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta Cabang Gorontalo terbukti sukses menginisiasi beberapa penerjemahan naskah Belanda tentang Gorontalo. Kehadirannya juga mendukung penulisan-penulisan buku bertema sejarah dan budaya oleh cendekiawan dan sarjana Gorontalo. Pada tahun 1968, berkat peran UII, kita bisa menemukan beberapa jejak karya akademis mereka.
Adalah melalui survei kritis Noorduyn (1991: 50-67 [54]) tersebut, kita bisa melacak tentang karya-karya (awal) sarjana Gorontalo dan peneliti luar negeri tentang (bahasa) Gorontalo berdasarkan sumber yang kaya dan tampaknya lebih banyak tersedia di Eropa. Sebagai contoh, karya tulis J. Breukink (1906) tentang catatan tata bahasa Gorontalo, 85 halaman.
Publikasi daftar kosa kata Gorontalo dan Bune yang dibukukan oleh E.E.W.G. Schröder (1909), 171 halaman. Sebelumnya, Andriani memublikasi “percakapan“ bahasa Gorontalo di jurnal BKI di Leiden (1908: 150-65). Begitu juga tentang terjemahan J.G.F. Riedel tentang beberapa cerita/prosa Gorontalo tahun 1869 (TBG), 1875 (TBG) dan 1885 (BKI).
Beberapa terjemahan Tuja?i juga dipublikasi oleh Iduna Baga & Saripah Baga (1955/1956). Karya ilmiah berupa tesis dan disertasi juga berhasil dilacak dan ditelaah oleh Noorduyn (1991), yakni tesis sarjana Rabiana Badudu di IKIP-Makassar (1970), Nani Tuloli (1970) di FKSS-IKIP, Husain Junus (1971) di FKSS-IKIP Manado Tjabang Gorontalo. Pada 1974, P.D. Dunggio menulis tesis di FKSS-IKIP Malang, 88 hlaman. Tahun 1975, A.B. Djuna menulis tesis di FKSS-IKIP Malang.
Sejak 1975, Mansoer Pateda memulai karya-karyanya, bermula dari “Bentuk Lo dalam Bahasa Gorontalo dan Penerapannya dalam Leksikografi”, makalah konferensi di Tugu, Agustus 1975, 10 halaman). Selanjutnya, tahun 1977, Mansoer Pateda mulai menerbitkan edisi pertama “Kamus Bahasa Gorontalo-Indonesia”, Jakarta: Pusat Bahasa, 338 halaman. Untuk melihat periode 1980an-1990an, lihat survei J. Noorduyn (1991: 58-63).
Koran “Persaudaraan” terbit di Gorontalo tahun 1926-1927, dicetak oleh Jo Seng Bo. Sebuah berkala (Mingguan) juga sudah terbit jauh sebelumnya, tahun 1909, namanya “Tjahaya Gorontalo”. Dicetak oleh Jo Im Ann. Majalah Po-noewa pada November 1932 dicetak oleh Yo Un Ann. Di periode yang sama ada juga penerbitan/percetakan bernama Liem Ka Soet di Gorontalo. Temuan ini dijelaskan oleh Adam (1984) melalui riset besarnya di SOAS, London. Rincian selanjutnya tentang penerbitan media di Sulawesi Utara, baca Amin (2020), “Rumah Tidak Berlampu” (GP, 2020). P
ada periode 1940-an, beberapa percetakan di Gorontalo adalah Percetakan Ra’jat. Untuk usaha penerbitan, tercatat Tomijahu Kebudajaan Lolipu dan kerjasama percetakannya “Kesatuan Gorontalo” (sejak 1956). Juga tercatat nama penerbit dan toko buku “Mokotambibulawa” di Jl. Pasar Minggu-Suwawa (1980an); Percetakan “Kesatuan Gorontalo” dan Penerbit Rumah “Sangkar Gelatik-Telaga” (tahun 1960-an). Demikian juga dengan kehadiran Toko Buku sejak akhir 1950an, seperti Toko Paguat atau T.B. Pakaja di Ipilo.
Masyarakat Gorontalo terkesan sekian lama sebagai masyarakat yang tidak memilik tradisi dokumentasi yang kuat, sebagaimana indikasinya terlihat pada “kecilnya” hasil-hasil produksi tulisan, dokumentasi, dan pencatatan (manuskrip) di berbagai sisi kehidupan masyarakatnya.
Hasil-hasil pencatatan dan record yang memadai dari dinamika kesejarahan sosial, pendidikan, politik, ekonomi dan hubungan antar kawasan/bangsa yang dihasilkan daerah ini —dari masa lalunya– memang dirasakan sangat kurang, jika dibandingkan dengan beberapa daerah besar lain di Indonesia. Terlalu sering kita dengar di publik bahwa Gorontalo lebih kuat tradisi lisannya daripada produksi tulisannya.
Disadari atau tidak, “tradisi lisan” ini rupanya merembes kepada praktik-praktik aktual di lembaga-lembaga modern, terutama di pemerintahan dan organisasi-organisasi di luar pemerintahan daerah. Sebagai dampaknya, sejak provinsi Gorontalo berdiri tahun 2001, daerah ini masih sangat terasa belum memiliki record (kearsipan) pembangunan dan pemerintahan yang benar-benar handal untuk dijadikan rujukan yang komprehensif. Di luar itu, kesadaran masyarakat dan kapasitas pencipta arsip tentang pentingnya arsip dan pengelolaannya yang profesional oleh lembaga (resmi) kearsipan negara pun masih terkesan lemah.
Budaya organisasi di masyarakat kita, sebagaimana terbaca di hampir semua organisasi sosial dan kemasyarakatan kita, belum sepenuhnya memberi tempat kepada pengelolaan arsip, pemeliharaan, dan pemanfaatannya yang optimal. Di berbagai kesempatan, kita masih menemui kesulitan untuk menemukan jejak-jejak peristiwa tertentu, profil ketokohan publik, transkripsi resmi dari setiap kebijakan publik yang bersentuhan langsung dengan hak-hak hidup masyarakat, kemajuan pendidikan, manajemen kebencanaan, kemajuan ekonomi, dst.
Penguatan kelembagaan kearsipan, termasuk edukasi kearsipan bagi pemangku kepentingan yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan pengelola kearsipan di Gorontalo pun belum terselenggara optimal. Sebab utamanya, antara lain karena faktor sosialisasi dan interaksi antar masyarakat atau instansi sektoral pemerintahan –sebagai pengguna arsip— dan lembaga kearsipan daerah belum terjalin optimal. Dalam faktanya, masyarakat belum tahu kedudukan dan fungsi kearsipan daerah sementara lembaga kearsipan belum bisa berbuat banyak karena sandaran dan rujukan regulasi yang menaungi semua program dan kegiatan layanan kearsipan yang lebih progresif belum tersedia.
Masyarakat yang “sadar arsip” dan yang selalu aktif mengembangkan pengetahuan dan rujukan-rujukan akurat dari dinamika pembangunan Gorontalo di masa lalu dan di masa kini guna mengembangkan basis partisipasi dan edukasinya demi kemajuan masa depan daerah ini adalah misi utama dari pembangunan sistem kearsipan Gorontalo. Selain itu, masyarakat juga sangat berperan dalam memerkaya koleksi arsip daerah dan memberi dukungan terhadap program-program kearsipan daerah.
Masyarakat yang cerdas mendayagunakan arsip dan aktif membangun kolaborasinya dengan lembaga-lembaga kearsipan merupakan kondisi masa depan yang kita harapkan memberi buah-buah kemajuan bagi provinsi Gorontalo. Arsip adalah pantulan dari pertumbuhan peradaban sebuah masyarakat dalam memaknai perjalanan pasang-surut kemajuannya. Melalui arsip, masyarakat Gorontalo akan terus membesarkan kemampuannya dalam memastikan fakta-fakta ke-Gorontalo-an itu dari berbagai sisi secara aktual dan otentik.
Sejak 2002, Gorontalo menunjukkan dinamika pembangunannya yang tinggi, termasuk begitu banyak ketimpangan dan kesenjangan, sebut saja menyangkut perkembangan pembangunan di sektor perdesaan dan pesisir, kepulauan, pariwisata dan ekonomi kreatif, sektor jasa, transportasi, dan komoditas regional Gorontalo. Di luar itu, keragaman penduduk dan permukiman, pertumbuhan pasar dan asosiasi-asosiasi profesi dan organisasi massa, semua ini merupakan simpul-simpul kearsipan yang penting dan berguna bagi ilmu pengetahuan. ***
Penulis adalah bekerja di Universitas Negeri Gorontalo.
E-mail: basriamin@gmail.com










Discussion about this post