Hamka Hendra Noer
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Email: hamka.hn@umj.ac.id
Gorontalopost.id – Memasuki abad ke 20 antropologi politik dikembangkan untuk mengatasi berbagai macam gejolak kaum terjajah di negara jajahan dunia ke tiga.
Para antropolog melanjutkan tradisi studi politiknya walaupun negara-negara jajahan tersebut sudah merdeka.
Kajian politik dimaksudkan untuk memahami bebagai bentuk dan struktur politik yang berlaku pada kelompok masyarakat komunal terutama di wilayah Afrika.
Salah satu ciri khas dari sistem politik itu adalah peran kekerabatan dalam membangun struktur politik.
Politik kekerabatan ternyata tidak hanya terdapat pada masyarakat komunal pedesaan, tetapi dapat dijumpai pada masyarakat perkotaan. Dan salah satu aspek terpenting dalam kekerabatan adalah politik keluarga.
Untuk mengembangkan kajian antropologi politik, telah dilakukan pendekatan-pendekatan pada obyek yang dianggap penting.
Dari sekian kajian yang dipandang penting adalah hubungan antara politik dengan kepercayaan, politik dengan ekonomi, dan politik dengan kekerabatan. Namun pada artikel ini hanya mengulas tentang hubungan politik dengan kekerabatan.
Konsepsi Kekerabatan
Dalam kehidupan sosial, interaksi antar masyarakat manusia yang membangun relasi baik relasi, ekonomi politik dan sosial budaya dipandang dari sudut wilayah tempat tinggal digolongkan dalam dua kelompok, yaitu: masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dalam satu kelompok kekerabatan berdasarkan ikatan atau klen keluarga.
Interaksi sosial yang berlangsung secara intensif akan melahirkan perasaan sentimen komunitas yang memiliki unsur-unsur antara lain; seperasaan, sepenaggungan dan saling memerlukan.
Proses interaksi yang berlangsung terus menerus, membuat setiap individu mengenal keseluruhan anggota komunitasnya secara mendetail. Perasaan berduka atau bersuka cita seseorang akan dirasakan pula oleh anggota komunitas yang lain. Hal ini pula yang mendorong mereka untuk bergegas membantu dan tolong menolong meringankan bebabn anggotanya. Setiap individu sangat tergantung kepada kelompok komunitasnya, sehingga dalam kelompok komunitas masyarakat pedesaan seorang individu rela berkorban untuk kebutuhan dan kepentingan kelompoknya.
Berbeda dengan masyarakat desa, masyarakat kota sangat kompleks. Di suatu lokasi pemukiman terdapat berbagai macam warga dengan latar belakang etnik dan sosial budaya yang heterogen urban komunity. Masyrakat urban pada umumnya terbentuk atas dasar keinginan untuk mendapat kehidupan yang layak, serta hiruk pikuk kota yang menyediakan berbagai macam layanan jasa dan hiburan. Walaupun demikian masyarakat urban juga memiliki kelompok kekerabatan yang terbentuk berdasar asal daerah atau suku.
Orang Gorontalo misalnya, memiliki organisasi kekerabatan di Jakarta dan dibeberapa daerah di Indonesia seperti Lamahu (Huyula Heluma Lo Hulonthalo yang berarti kegotong royongan) dan KKIG ( Kerukunan Keluarga Indonesia Gorontalo).
Komunitas masyarakat desa dan kelompok masyarakat kota dalam hubungan interaksi sosialnya di gambarkan oleh Kontjaraningrat (2009:127) dengan istilah gemeinschalft untuk masyarakat desa dan geselschalft untuk masyarakat kota. Dalam istilah yang lain kedua model masyarakat tersebut oleh Emile Durkheim (2003:68) dalam bukunya: The Elementary Forms of the Relegious Lift disebut solidaritas mekanik untuk masyarakat desa dan solidaritas organik untuk masyarakat kota.
Dalam bidang penegakan hukum, masyarakat solidaritas mekanik cenderung menyukai hukum yang bersifat represif. Masing-masing orang memiliki dan memegang teguh moralitas kolektif, jika terdapat pelanggaran terhadap moralitas bersama tersebut menjadi sensitif. Pelanggaran hukum moral kolektif itu akan mendapat sanksi yang represif. Pencuri misalnya, akan mendapat hukuman pengusiran hingga terisolasi dari anggota komunitasnya. Pengawasan hukum dilakukan secara bersama. Karena pola pengorganisasian masyarakat mekanik bersifat umum tanpa perbedaan, serta komitmen terhadap moral politik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa gemeinschalft mengutamakan interaksi atau hubungan karib, sedangkan geselschalft mengutamakan hubungan berguna. Hubungan karib berlangsung secara intensif yang sifat interaksinya tulus dan tanpa pamrih. Sedangkan geselscalft intensitas hubungannya didasarkan atas kepentingan atau keuntungan yang diperoleh.
Solidaritas mekanik pada masyarakat desa yang dikemukakan oleh Emile Durkheim (2003:67) tidak berarti dalam masyarakat perkotaan sama sekali tidak terdapat solidaritas mekanik. Solidaritas mekanik yang terbangun pada masyarakat kota berbentuk kelompok kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan, perkawinan dan etnik seperti perkumpulan arisan dan lain-lain.
Tradisi Politik
Dalam antropologi politik, studi politik lebih ditujukan pada pembahasan tentang kekuasaan politik dalam konteks sosial budaya. Disini aspek politik berada pada berbagai bidang kebudayaan, sekaligus arena pengungkapan hubungan politik yang dikerahkan secara sosial. Bahkan antropologi politik mencakup politik pada klasifikasi kekuasaan mulai dari politik suku atau komunal hingga politik negara.
Bahkan Antropolog Edmun Lech (1987:7) menyebut setiap perubahan sosial dan kultural merupakan pencarian politik. Studi politik dalam antropologi dimulai dengan penelitian terhadap masyarakat di dunia ke tiga terutama di Afrika. Pada tahun 1940 terbit buku dengan judul: African Political Systems yang ditulis oleh Fortes dan Evans Prichart (2000). Dalam studinya yang terfokus pada prilaku politik, sistem kekerabatan dalam praktek politik, terdapat tiga tipe masyarakat.
Pertama, tipe yang menunjukkan kepada masyarakat yang mempunyai kekuasaan terpusat, hirarki administratif, lembaga hukum ditetapkan dengan jelas. Struktur, kelas dan perilaku politik menurut gambaran teritorial. Struktur administratif berisikan struktur politik dan karenanya memiliki sebuah pemerintahan yang menyerupai negara. Dalam struktur kekuasaan tugas dan wewenang politik tertata dengan rapih mulai dari tingkat tertinggi sampai pada struktur kelompok yang paling rendah.
Kedua, sistem politik dengan struktur politik yang tidak mempunyai kekuasaan pusat, mesin administrastif atau pengadilan dengan kekuasaan untuk menjatuhkan keputusan tidak tertata dengan jelas, dimana dalam struktur politik tugas dan wewenang tidak tertata secara rapih sehingga kadang disebut masyarakat tak bernegara. Dalam masyarakat seperti ini, garis keturunan dipergunakan sebagai kerangka satuan politik, sehingga perilaku politik terikat sangat kuat dengan dan tercakup oleh sistem pertalian keluarga.
Ketiga, kelompok komunitas kecil yang keseluruhannya dipersatukan oleh ikatan kekeluargaan. Kelompok masyarakat ini terbentuk berupa gerombolan keluarga atau keluarga pengembara yang hidupnya kadang berpindah dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan ketersediaan makanan, baik makanan untuk kebutuhan kelompok maupun makanan untuk kebutuhan ternak.
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan, semakin besar kelompok pengembara, ikatan kekerabatannya cenderung melemah karena dalam setiap kelompok kecil bersaing secara politik untuk menguasai air dan rumput untuk ternak. Semakin kecil kelompok pengembara semakin kuat ikatan kesatuan mereka. Keadaan ini oleh Soekadijo (1987:9) bahwa menunjukkan struktur sosial didasarkan atas lineage, yaitu kelompok kekerabatan yang unilineal dimana silsilah keturunan dapat diketahui dengan jelas.
Politik Segmetar
Dalam sistem ideologi kekerabatan, sistem segmentar termasuk yang menjadi topik pembahasan. Ciri utama dari politik segmentar adalah kelompok lokal yang bersatu atas dasar keturunan unininear (mengikuti satu garis arah keturunan) atau kepercayaan kepada adanya keturunan yang demikian terdapat oposisi segmentar yang menjadi ciri hubungan antar kelompok (Claessen 1987:68).
Pada politik segmentar hubungan-hubungan sosial berisikan juga hubungan politik, dimana tidak ada kekuasaan pusat, kekuasaan didistribusikan pada kelompok-kelompok. Hubungan politik dimaknai sebagai hubungan kekerabatan, distribusi kekuasaan pada kelompok memungkinkan lahirnya oposisi segmentar yang memberi ciri dalam hubungan politik segmentar. Dalam keadaan tertentu kelompok itu saling bekerjasama, namun pada keadaan tertentu kelompok itu saling bermusuhan.
Gejala penting dalam struktur politik segmentar juga dipandang sebagai hubungan kekerabatan. Keseimbangan kekuasaan yang terbentuk antara kelompok tersebut akibat adanya saingan antara mereka. Pada waktu dan keadaan tertentu kelompok-kelompok bekerjasama dan pada keadaan yang lain kelompok berkalaborasi menghadapi kelompok lain sebagai lawan bermain. Dalam politik segmentar setiap kelompok berdiri sendiri namun pada keadaan lain menjadi bagian kelompok yang lebih besar.
Pada perkembangan politik modern, politik segmentar berlaku pula dalam masyarakat yang kompleks berupa perwakilan politik (partai) yang dikenal dengan istilah koalisi dan oposisi. Partai-partai berkoalisi karena memiliki kepentingan yang sama dalam merebut dan mempertahankan posisi politik. Namun, di waktu yang lain beroposisi secara sendiri maupun dengan partai yang lain menghadapi partai yang lebih dominan. Koalisi dan oposisi politik diperlukan dalam suatu sistem politik demi menjaga kekuasan yang cenderung otoriter. Oposisi menjadi lembaga pengontrol kekuasaan yang efektif dalam sistem politik modern, sehingga dikembangkan istilah yang popular; “tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi”.
Keluarga dan Politik
Keluarga dalam pengertian antropologi adalah suatu jenis kelompok kekerabatan, istilah lainnya sering disebut kelompok persaudaraan, kolektivisme dan komunalisme. Suatu suasana sosial dimana semua kelompok merasa berkerabat dalam suatu hubungan kekeluargaan (Marzali 2007:50).
Keluarga dan politik dalam kebudayaan universal dikelompokkan dalam organisasi sosial. Sehingga antara keluarga dan politik memiliki relasi yang cukup untuk saling mempengaruhi. Posisi politik seseorang atau kelompok tertentu ditentukan oleh koneksi keluarga yang kuat. Keluarga memiliki peran melahirkan seorang pemimpin politik dengan berbagai macam bentuk dukungan baik dalam bentuk dana maupun moril psikologis.
Sebagai contoh, presiden Perancis yang berkuasa di tahun 1970-an Giscard d’Estaing semasa di bangku kuliah adalah seorang mahasiswa yang cerdas, aktivis yang karirnya melonjak pesat hingga menjadi orang nomor satu di Perancis. Rakyat Perancis terkagum-kagum melihat sepak terjang sang pemimpin yang begitu cemerlang.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang mahasiswa biasa tiba-tiba menjadi seorang pemimpin bangsa Perancis? Ternyata keluarga d’Estaing memilik dua puluh perusahaan besar di Perancis, ia juga beristrikan cucu seorang pengusaha raja baja terkenal di dunia (Claessen 1987:9). Kasus ini menunjukkan korelasi yang erat antara kekuatan politik dengan ikatan dan koneksi keluarga kaya raya.
Pemimpin politik sebagai suatu kedudukan dapat saja terjadi pada setiap individu, baik melalui kedudukan atau status yang diusahakan maupun kedudukan atau status yang digariskan. Kedudukan yang diusahakan adalah kedudukan yang dicapai dengan melalui proses dan usaha yang panjang dan berliku. Sedangkan status yang digariskan, kedudukan dapat diperoleh karena diwariskan bahkan dilimpahkan oleh penguasa politik atas dasar hubungan kekeluargaan (Koentjaraningrat 2009:139). Politik keluarga tidak hanya berlaku pada masyarakat desa yang penuh dengan ikatan kekerabatan, akan tetapi dapat berlangsung pula pada masyarakat perkotaan.
Sebagai contoh digambarkan Prof Siti Zuhro (2009:185), kasus pemilihan kepala desa (Pilkades) di desa Karang Agung Kabupaten Tuban. Warga desa tersebut hidup dalam polarisasi ideologi keagamaan NU dan Muhammadiyah. Warga NU di desa itu berjumlah 60% sedangkan 40% sisanya adalah penganut Muhammadiyah. NU adalah penganut faham keagamaan dalam Islam yang mempertahankan tradisi dalam praktek keagamaan, sedangkan Muhammadiyah adalah menganut faham yang ingin memurnikan ajaran Islam dari berbagai tradisi.
Sebanyak tiga calon kepala desa dari Muhammadiyah dan satu orang dari NU. Secara teoritis perwakilan NU lebih berpeluang untuk memenangkan Pilkades, karena jumlah pemilih NU sebanyak 60% dan tiga calon Muhammadiyah memperebutkan suara 40%. Namun hasil pilkades menunjukkan salah seorang calon Muhammadiyah yang memenangkan pertarungan. Setelah diteliti kemenangan calon Muhammadiyah karena adanya hubungan keluarga.
Peristiwa yang terjadi di desa Karang Agung Tuban tersebut menunjukkan bahwa faktor keluarga menjadi pertimbangan utama ketika masyarakat setempat diperhadapkan pada pilihan politik yang berkaitan dengan kepentingan kekuasaan. Ikatan pertalian keluarga mampu mengesampingkan pertimbangan idiologi keagamaan. Hal ini bukan tidak mungkin akan terjadi di Gorontalo atau bahkan sering terjadi di Gorontalo, karena masyarakatnya sangat kental dengan hubungan kekerabatan. Wallahu a’lam bishawab.













Discussion about this post