Gorontalopost.id – Porsi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam APBD/APBN, rupanya belum memberi jaminan bahwa kebutuhan semua penyelenggaraan pendidikan terpenuhi. Sejauh ini, masih ada yang terlewati.
Misalnya, pendidikan kesetaraan yang diselenggarakan oleh Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang berada di bawah naungan pemerintah kabupaten-kota.
Dalam pertemuan Komisi IV Deprov Gorontalo bersama Ikatan Pamong Belajar Indonesia (IPABI) Gorontalo, kemarin (17/10) terungkap, warga belajar SKB-PKBM diatas usia 21 tahun, tidak mendapatkan porsi pembiayaan penyelenggaraan pendidikan melalui dana bantuan operasional pendidikan (BOP).
“Yang dapat (BOP.red) hanya usia 7-21 tahun. Padahal (warga belajar.red) diatas usia 21 tahun cukup banyak,” aku Ketua IPABI Gorontalo, Likson Dai.
Diketahui, sumber dana BOP untuk warga belajar pendidikan kesetaraan bersumber dari APBN. Menurut Likson, karena tak mendapatkan alokasi BOP, para pamong belajar harus memutar otak agar warga belajar diatas usia 21 tahun tetap bisa menyelesaikan pendidikannya.
“Kita harus tempuh berbagai cara agar persoalan ini tidak menjadi sandungan bagi mereka (warga belajar.red),” ungkapnya.
Dibandingkan guru yang mengajar pada satuan pendidikan formal, tanggung jawab pamong belajar diakui masih lebih berat. Karena tanggung jawabnya tidak hanya sebatas mengajar, tapi juga harus mendatangi satu persatu warga belajar yang ada di wilayah masing-masing.
“Mereka kita data, kita bujuk agar mau mengikuti pendidikan kesetaraan. Tapi kita tidak dapat tunjangan sertifikasi dari APBN seperti para guru di pendidikan formal. Kita hanya dapat tambahan perbaikan penghasilan (TPP) yang besaranya sesuai kemampuan pemerintah daerah,” tambah Likson.
Persoalan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan non formal rupanya tidak hanya berhenti sampai disitu. Dalam rapat kerja Komisi IV kemarin terungkap bahwa SKB di sejumlah wilayah masih diperhadapkan pada ketiadaan anggaran operasional seperti anggaran untuk bayar listrik dan wifi. Persoalan ini dihadapi SKB Atinggola dan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara.
Ketua Komisi IV Hamid Kuna miris mendengar persoalan ini. Politisi Hanura itu mempertanyakan komitmen Bupati/Walikota. Karena pendidikan kesetaraan berada dibawah kewenangan kabupaten-kota.
“Kalau tidak diperhatikan, untuk apa (SKB-PKBM) ada. Lebih baik dibubarkan saja,” tegas Hamid memberi sindiran. Hamid mengemukakan, harusnya pemerintah kabupaten-kota memberikan perhatian lebih serius terhadap penyelenggaraan pendidikan kesetaraan. Karena beban penyelenggaraan pendidikan non formal lebih berat dari pendidikan formal. “Tanggung jawab para pamong belajar ini lebih berat dari guru-guru biasa,” tambahnya.
Anggota Komisi IV Oktohari Dalanggo menyarankan agar pemerintah provinsi tidak menutup mata meski pendidikan kesetaraan menjadi kewenangan kabupaten-kota. Mengingat lulusan SKB-PKBM bisa bersaing dengan lulusan sekolah formal.
“Buktinya tidak sedikit lulusan paket A, Paket B dan paket C bisa menjadi pejabat. Ada yang jadi kepala daerah, tidak sedikit yang jadi anggota DPRD. Karena itu, kualitas SKB-PKBM ini harus dijaga,” tambahnya.
Oktohari menyarankan agar Komisi IV menindaklanjuti persoalan ini dengan berkonsultasi ke Kementerian pendidikan dan kebudayaan. “Nanti kita juga perlu undang seluruh Dinas Pendidikan Kabupaten-kota,” tambahnya.
Sekretaris Komisi IV Espin Tuli sependapat persoalan ini tidak hanya jadi beban kabupaten-kota. Tapi harus jadi beban bersama baik provinsi maupun pusat. Karena keberhasilan penyelenggaraan pendidikan non formal ikut memberi kontribusi bagi keberhasilan pendidikan secara menyeluruh.
Dia mencontohkan angka partisipasi sekolah di Gorontalo baru sampai di kelas 7 atau kelas I SMP. Itu mengindikasikan bahwa banyak siswa yang putus sekolah. “Nah yang akan mengintervensi persoalan ini justru SKB dan PKBM. Tapi disisi lain perhatian terhadap SKB-PKBM malah minim,” ungkapnya.
Anggota Komisi IV Adnan Entengo memberikan saran konkret untuk mengatasi persoalan ini. Menurutnya, solusi yang bisa diambil pemerintah provinsi dengan memberikan dana hibah kepada IPABI sebagai asosiasi profesi pamong belajar. “Nanti dana hibah ini bisa digunakan untuk menambah kebutuhan pendidikan yang belum terpenuhi oleh dana APBN dan APBD Kabupaten-kota,” sarannya.
Wakil Ketua Deprov Sofyan Puhi mengatakan, persoalan ini sudah sepatutnya ditangani oleh pemerintah. Karena pendidikan menjadi urusan wajib pemerintah yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, Komisi IV akan mengambil beberapa langkah menyikapi persoalan yang menghantui pendidikan kesetaraan.
“Untuk persoalan infrastruktur yang masih terbatas di SKB, nanti ini akan kita komunikasikan dengan pemerintah kabupaten-kota,” ujar Koordinator Komisi IV itu.
Sementara persoalan tentang warga belajar yang terabaikan oleh dana BOP, sambung Sofyan, nanti akan dikonsultasikan oleh Komisi IV ke Kementerian pendidikan dan kebudayaan. Pemerintah provinsi juga menurutnya harus ambil bagian dengan memberikan hibah melalui IPABI.
“Langkah-langkah ini akan kita ambil. Kami tidak akan biarkan bapak ibu (Pamong belajar.red) berjuang sendiri untuk para warga belajar,” pungkas Sofyan Puhi. (rmb)












Discussion about this post