Gorontalopost.id – Perbaikan kualitas calon legislatif (Caleg) mulai jadi topik pembahasan, menjelang Pemilu 2024. Berkembang usulan agar Caleg yang akan diusung partai minimal sarjana Strata 1 (S1).
Ini diusulkan pakar administrasi negara dari Universitas Hang Tuah,
Dr. Djoko Siswanto (Univ. Hang Tuah). “Bagaimana mungkin anggota DPR atau DPRD berdiskusi dengan para birokrat, yang pendidikannya minimal S1 (sudah banyak yang S2 bahkan S3), jika mereka hanya lulusan SMP atau SMA? Akibatnya DPR dan DPRD adalah organ yang berkuasa tapi personilnya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengurus masyarakat.
Mereka bisanya hanya malak, memeras proyek-proyek pemerintah,” ujarnya dalam diskusi lewat zoom dengan tema Legan Golek Momongan : Bila Pengusaha jadi Penguasa, Akademia Noto Negoro.
Sementara itu Dr. Budi Puspo Priyadi (UNDIP) yang menjadi pembicara pada diskusi yang dihadiri 50- an orang itu mencontohkan, Hery Zudianto, walikota Jogja dua periode (2001-2011).
Dialah walikota pertama di Indonesia yang menyatakan bahwa walikota adalah “ketua pelayan masyarakat”. Mindset bahwa walikota (juga Bupati, Gubernur, Presiden, termasuk kepala desa, kepala dusun, ketua RT dan RW) adalah penguasa, penggedhe, sejak saat itu ditinggalkan. Walikota bukan lagi orang yang harus dihormati dan dilayani oleh rakyatnya, tapi sebaliknya dialah yang harus melayani rakyat.
Lebih dari itu, Hery tidak memiliki beban untuk “membalas budi” terhadap partai dan ormas yang dulu mengusungnya ke kursi kekuasaan. Hery pernah mengatakan, bahwa berproses maju menjadi walikota jaketnya adalah biru, namun ketika telah menjadi walikota bajunya adalah merah-putih. Hal ini sempat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan partai pengusung. Tapi dengan sikap inilah, Hery dapat total melayani masyarakat Jogja secara keseluruhan.
Yang lebih luar biasa dari sosok Hery adalah bahwa totalitas pelayannya kepada masyarakat itu dilakukan dengan cara meninggalkan profesinya sebagai pengusaha yang cukup sukses di Jogja. Dengan kondisi keuangan pribadinya yang sudah berkecukupan, Hery tidak mencari penghasilan dengan menjadi walikota itu.
“Sebaliknya, dia menjadikan kekuasaannya sebagai wakaf politik, artinya dia ingin berbuat sebanyak mungkin melakukan kebaikan untuk masyarakat, tidak mengharapkan insentif apapun di dunia, melainkan pahala yang terus-menerus di akhirat,” ujarnya.
Acara yang dipandu oleh Dr. Amin Tohari (UIN SA) ini diramaikan oleh beberapa peserta-aktif lain, di antaranya Firdaus, MSi. (Univ. Kolaka) dan Suprapti, MSi. (STIAMI Jakarta). Adapun Akademia Noto Negoro adalah perkumpulan yang didirikan pada awal Maret lalu, yang memiliki visi untuk menjadikan negara dan dunia dikelola dengan semakin baik dari waktu ke waktu. Anggotanya saat ini 27 orang dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga profesi, dengan ketua Dr. Samora Wibawa (UGM). Keanggotaan bersifat terbuka untuk semua orang.
Samodra berharap para pemimpin yang bersifat negarawan sejati, tidak memiliki kepentingan parsial. Dengan begitu, persoalan-persoalan akan dapat teratasi dengan baik dan cepat. Kebijakan-kebijakan akan selalu adil.
Untuk itu DPR dan presiden perlu didorong untuk menciptakan regulasi dan mekanisme yang mengkondisikan para pejabat publik untuk bersikap seperti itu. (wan)












Discussion about this post