Oleh
Fadila Husain
Di sebuah desa terpencil di pelosok pulau Sulawesi, seorang pemuda bernama Duta, berusia dua puluh satu tahun, yatim piatu, sedang menangis di bawah pohon beringin. Ia sesenggukan, meraung-raung, berguling-guling, membuat orang yang melihatnya menjadi iba, dan ingin ikut menangis. Kini ia tinggal seorang diri, tanpa keluarga, tak punya siapa-siapa di kampung ini. Di dunia ini ibunya adalah satu-satunya yang ia miliki, dan kini telah pergi meninggalkannya sendiri. Pusaranya tepat berada di bawah pohon beringin rimbun ini.
Ia termenung meratapi nasib dan kesedihan yang mendalam, perlahan membelai nisan ibunya, dalam hatinya bertanya mengapa selama ini sedikitpun tidak pernah ia berbakti. Tetapi sudah terlambat untuk menyadari hal itu. Ia pun mulai mengutuki diri sendiri. Walaupun ia memohon pada tuhan, ibunya tidak akan pernah bangkit dari kubur. Ia pun sadar bangkai takkan pernah mendengarkan tangisannya, sekeras apapun ia merengek.
Dari pagi hingga petang ia menangis, anak itu lalu perlahan bangkit dan duduk di samping nisan ibunya. Tatapan putus asa terpancar dari matanya yang sembab karena menangis seharian. Di seberang jalan sana terpampang sebuah iklan perekrutan sales balsem di ibu kota. Perlahan ia berdiri dan mulai membaca iklan itu. “Pengumuman! Lowongan kerja di bidang marketing!” Sesungguhnya ia tak terlalu tertarik untuk bekerja di ibu kota, namun ia sudah bertekad untuk mengubah nasib dan melupakan kesedihan serta kemalangan yang ia alami akhir-akhir ini.
Perlahan ia melangkah. Ia berjalan sempoyongan menuju rumahnya. Ketika berada di depan rumah ia baru sadar bahwa rumahnya mulai miring, tidak simetris, dan melawan hukum gravitasi. Rumah beratap daun rumbia, saking miskin pemiliknya. Rumah tersebut tak nampak seperti tempat tinggal manusia, lebih layak disebut kandang hewan. Rumah itu kini mulai rusak dan terlihat renta dimakan usia. Ia menapaki setiap sudut rumah reyot itu, mulai dari pekarangan depan rumah yang dipenuhi tanaman bunga. Bunga-bunga itu ditanam ibunya. Kini semua tak terurus lagi. Bunga Sphanix Phoenix mulai terlihat seperti jenggot kakek tua yang tidak dicukur selama berpuluh tahun, rimbunnya minta ampun. Bunga kembang sepatu yang tingginya tak seirama telah melewati pagar bambu depan rumah.
Kini ia berhenti pada dinding anyaman bambu yang mulai lapuk di makan serangga. Ada sebuah pigura tua berwarna kecoklatan tergantung disana, . Pada foto itu berdiri seorang laki-laki tua sambil tersenyum sendu ke arah kamera. Itu ayahnya. Ayah meninggal lebih dulu karena penyakit jantung. Hari pengambilan gambar tersebut adalah salah satu hari paling bahagia sekaligus paling menyedihkan. Hari bahagia karena setelah menunggu sekian lama akhirnya ia dibelikan sepeda bekas, sebagai hadiah karena sudah mau disunat. Ia teringat perangai buruknya yang dulu. Ia tidak peduli dengan kemiskinan yang telah lama memeluk erat keluarganya.. Hal itu sama sekali tak membuat hatinya terketuk utnuk membantu ibunya mencari nafkah. Sebaliknya ia hidup seenaknya dan senang membuat onar sana sini. Minuman keras menjadi kawan akrabnya. Judi dilakukannya setiap waktu. Bermain perempuan juga menjadi kebiasaan wajib yang tak boleh terlewatkan.
Pernah suatu ketika birahinya sudah tak tertahankan. Ia tidak punya uang sepeser pun. Ia tetap nekat berkunjung ke rumah bordil langganannya. Untuk kebutuhan ke rumah bordil sebenarnya ia sering mencuri uang ibunya. Tapi sayang sekali itu ia tak sempat melakukannya, karena semua uang hasil menjual singkong sudah terlanjur dibelikan beras seliter oleh ibunya. Ia lantas membawa beras tersebut ke tempat bordil sambil berharap sang pelacur mau jika jasanya dibayar dengan beras seliter. Ia berjanji akan membayar penuh jika sang pelacur sukses memuaskannya. Setelah susah payah membujuk dan merayu akhirnya sang psk pun mau melayaninya.
“Kubunuh kau kalau tidak membayar penuh, ya!” kata wanita itu mengancam
“Tenaaang. Aku tak akan lari kemanapun. Potong punyaku kalau aku kabur!” katanya membual.
Karena tidak punya uang, ia memilih perempuan dengan tubuh gempal dan berpenampilan kurang menarik. “Biar tarifnya tidak mahal,” pikirnya. Saat urusannya selesai dengan si PSK, cepat-cepat ia berpakaian, pelan-pelan mengambil kantong beras di bawah tempat tidur, kemudian ia lari pontang panting meninggalkan Wanita PSK yang menjerit-jerit karena tertipu. Wanita itu mencoba mengejar, namun tubuh gempalnya menghalangi gerakannya. Lagipula bocah tengil itu berlari sangat kencang dan sulit terkejar. Keesokan harinya Duta di temukan warga tergeletak di pinggir rel kereta api dalam keadaan babak belur dengan beras berserakan di sampingnya. Azab si tukang tipu.
Ketika tersadar dari lamunannya hari sudah senja. Ia enggan memberi tahu kawan-kawannya perihal kepergiannya ke ibu kota. Yang terpikir di benaknya hanya Lalita. Wanita yang dikasihinya. Sebetulnya ia ingin mengajak serta Lalita. Namun sepertinya itu bukan ide bagus mengingat ayah lalita adalah pemimpin preman pasar. Ia takut jadi buronan preman-preman itu. Sore itu ia memutuskan untuk mengantar sepucuk surat pada Lalita. Beruntung rumah Lalita searah dengan pelabuhan yang ia tuju.
“Permisi. Lalita ada?” Pembantu rumah tangga menyambut kedatangannya.
“Maaf, baru saja tadi keluar dengan Bang Jaka,”
Mendengar nama Jaka, seketika darahnya mendidih. Detak jantungnya memburu dan emosi mulai memuncak hingga ke ubun-ubun. Di saat bersaamaan Lalita dan Jaka tiba.. Lalita kaget dan berusaha menjelaskan situasi itu. Duta terlanjur kecewa. Ia pergi dan meninggalkan surat untuk Lalita.
Di sepanjang perjalanan menuju pelabuhan Duta kalut. Pikirannya kusut. . Seharusnya ia tak memberikan surat itu. Ia berdoa agar tulisannya bisa dibaca dengan baik oleh Lalita. Ia hanya bersekolah hingga SD, makanya ia tak terlalu terampil menulis. Tulisannya morat marit, sama seperti kehidupannya. Surat itu berisi permintaan maaf atas kepergiannya yang mendadak. Ia juga meminta Lalita untuk tetap setia menunggu hingga ia kembali. Sementara itu, sekeras apapun Lalita berusaha membaca surat itu, ia tetap gagal. Barisan huruf itu sulit dimengerti. Ia sudah meminta bantuan seisi rumah, tetap saja isi surat itu menjadi misteri.
Sesampainya di pelabuhan, Duta sempat ingin mengurungkan niatnya. Namun lagi-lagi wajah mendiang ibunya terlintas di benaknya, membuatnya kuat untuk tetap pergi dari kampung pesisir yang penuh kenangan akan kesengsaraan ini.
Pelabuhan telah tertinggal dikejauhan. Semakin lama semakin mengecil, lalu kemudian terlihat samar dan perlahan menghilang dari pandangan.
“Selamat tinggal, Ibu. Selamat tinggal, Lalita. Selamat tinggal masa kecil. Selamat tinggal kampung halaman,” dalam hatinya meringis. Di atas kapal deretan pulau terlihat mendekat kemudian menjauh, seakan kapal yang ia tumpangi hanya diam dan puau-pulau itulah yang saling berkejaran. Ia melamun dan perlahan mulai terlelap ditemani suara burung camar yang terbang mengiringi perjalanan kapal itu. Matahari mulai tenggelam di di ufuk barat. Duta membawa semua kesedihannya ke dalam mimpi. Ia pun tertidur abadi di kedalaman 6.200 meter di bawah permukaan laut Sulawesi.
Keesokan harinya terdengar sebuah berita menggema dari sebuah TV milik warga, “Sebuah kapal penumpang yang menuju Pelabuhan Tanjung tenggelam di perairan laut Sulawesi pada pukul dua dini hari tadi,. Semua awak kapal dan penumpang di kabarkan tewas. Saat ini tim penyelamat sedang berusaha mengevakuasi tempat kejadian.”
Dan begitulah. Duta pergi membawa setumpuk dosa dan penyesalan, menyusul ibunya menghadap sang Maha Penenun Takdir.
Fadila Husain, bisa dihubungi lewat Twitter @fdla_husian










Discussion about this post