Oleh :
Basri Amin
Belakangan ini, kita menyaksikan masjid-masjid di Gorontalo bergerak membangun menara-menaranya yang megah. Ini tentu tidak mengagetkan karena memang pada umumnya demikianlah yang terjadi di tempat lain. Di balik itu semua kita tahu bahwa, secara fisik, sebuah masjid setiap saat bisa dibangun dan dibesarkan. Selanjutnya, secara ruhani, jika masjid hendak menjadi penanda (pencapaian) peradaban Islam, sebuah masjid ‘membutuhkan’ banyak sentuhan dan perlakuan. Tidak karena pemuasan (pujian) manusia, melainkan karena penghambaan kepada Yang Maha Besar.
Arsitektur Islam, sebagaimana puncaknya antara lain tergambar di masjid dan di madrasah, punya akar sejarah yang panjang dan unik. Meski rujukan ruhani sejarah-nya adalah Makkah, Madinah, dan Al-Aqsa Jerussalem, tetapi sebagai “karya manusia” yang menghambakan segala kemampuan-ketaatan kepadaNya, sejarah arsitektur masjid menggambarkan persilangan banyak peradaban manusia. Masjid dalam perkembangan sejarah Islam tidak meniru pola/gaya ‘Arab’ secara total. Pengaruh Bizantium, Romawi dan Parsi sangat tampak. Tak heran kalau pakar Islam dari Perancis, Roger Garaudy, dalam Janji-Janji Islam (1985), menulis: “segala seni membawa kepada masjid…”
Sebagai contoh, meski Masjid Pertama dan Utama adalah masjid Nabi Muhammad SAW di Madinah, tetapi secara arsitektural di masa Beliau belum dikenal adanya menara. Sebagai bangunan tambahan, menara masjid nanti dikenal pada akhir abad ke-7, antara lain dibangun di Masjid Agung di Damaskus di masa khalifah Umayyah, Al-Walid I. Ia membangunnya antara tahun 706-715 masehi (Chapman at al, 2012).
Selanjutnya, perkembangannya semakin unik, terutama karena pengaruh arsitektur Bizantium, Persia, dan pola Romawi, meski dengan penekanan dan material yang berbeda-beda, misalnya bagaimana penggunaan Kubah di bagian atas masjid atau di bagian-bagian lainnya, sebagaimana berkembang sejak awal di Turki di masa Ottoman karena pengaruh Bizantium (Meri, 2006). Hal serupa terjadi dengan material dan ornamen untuk Menara, Minbar dan Mihrab. Semua menandai peradaban Islam yang meluas dan diwarnai kemegahan yang luar biasa.
Fakta inilah yang kemudian memberi inspirasi sarjana di Barat mengagumi konsep seni keindahan Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh Valerie Gonzales (2001). Penggunaan kaca kristal memberi aspirasi penting dalam sejarah (peradaban) Islam, sebagaimana tampak ketika Islam berjaya sekian abad di Spanyol, sehingga khalifah Andalusia, Al-Ma’mun membangun “istana kristal” (istana Toledo) dengan hamparan (taman) airnya yang indah, juga pilar-pilar masjidnya yang megah penuh wibawa, dengan warna marmer yang kemerahan yang lembut, yang hingga kini masih tampak sisa-sisa keindahannya di Spanyol. Khusus di Mezquita, masjid di Cordoba, kebesaran dan kemegahannya ditandai dengan 850 pilar yang terbagi-bagi dalam 29 lorong-lorong yang elegan (Lunde, 2002; Watt, A History of Islamic Spain, 1967: 144-146).
Di masjid, pengalaman visual tentang keindahan akan sekaligus tak terpisah dengan resonansi spiritual melalui aliran-aliran rasa dan kilatan-kilatan yang memang sejak awal “terkondisikan” oleh setiap orang yang pertama kali datang, yang selalu hadir atau yang sesekali hadir. Tentu, keindahan selalu membawa dua sisi: yang tampak-luar (zahir) dan yang tak tampak-dalam (batin). Karena Tuhan sendirilah yang telah memberi banyak “tanda” dan “contoh” tentang keindahan dan kemegahan itu melalui seluruh (pantulan) ciptaanNya di alam semesta ini.
Tokoh terpandang dalam sejarah pemikiran seni Islam, Ibnu Hazim, adalah yang pertama merumuskan pentingnya dimensi material, spiritual dan etikal dalam konsep keindahan (arts, estetika) dalam masyarakat Islam. Ibnu Hazim (wafat 1064 masehi) adalah pemikir Andalusia di masa keemasan Islam Spanyol di Cordoba. Dialah yang menegaskan pentingnya kualitas fisik dan kekekaran, kecantikan yang manis (anggun, halawa), kemuliaan dan kewibawaan yang berjiwa (diqqa). Ibnu Hazim mengurai panjang lebar tentang keindahan dengan melibatkan banyak unsur, antara lain tentang “ketertarikan jiwa” kita kepada sesuatu, dan itu semua masih terus “memberi rasa” yang terkenang ketika seseorang berpisah dengan objek yang dikunjungi dan disaksikannya. Sehingga selalu ada rasa dan ruang di mana seseorang “merenungi”nya sepanjang waktu (Watt, 1967; Hitti, 2002 [1937]).
Dalam konteks (bangunan) masjid, keindahan memang sangatlah relatif, terutama bagi sebuah masyarakat yang tingkat pengalaman dan kesadaran estetisnya masih terbatas. Masjid, secara nilai, adalah “tempat salat” dengan beragam aspeknya, sehingga bentuk standar (bangunannya) cenderung “saling meniru”. Di negeri kita, hampir semua masjid adalah sebuah ‘bangunan tumbuh’. Ia tidak pernah sekali jadi dan terdisain komplit sejak awal. Perkembangannya ditentukan oleh pengurus, jamaah, dan kontribusi finansial dari warga, pemerintah, dll.
Meski kita memberi kedudukan tinggi atas artefak Islam di Timur Tengah, tapi kebesaran sejarah Islam Nusantara, dunia Melayu dan Islam di benua lain, tak bisa dipandang sebagai sekadar perbandingan biasa. Itulah sebabnya, arsitek Islam Indonesia, juga di Gorontalo, terutama dalam hubungannya dengan pembangunan masjid-masjid kita, tidaklah harus dan otomatis berkiblat kepada Timur Tengah. Yang kita butuhkan adalah “proporsi” dan “persepsi” yang variatif, dengan begitu karakter artefaktual kita pun terbentuk secara otentik. Intinya, jangan kagum berlebihan dan jangan meniru dengan sepihak. Kita butuh nuansa kultural dan resonansi spiritual sendiri yang menampakkan kemandirian daya-cipta kita, tapi sekaligus keikhlasan tertinggi yang kita wujudkan dalam menghambakan diri dan kecintaan kepadaNYA.
Masjid yang besar, indah, bermarwah dan kaya fungsi, akhirnya akan ditentukan oleh banyak rasa, mata, telinga dan pikiran. Tak cukup kita memikirkannya dengan otak (arsitektural dan visual) kita. Ia haruslah dipandang melalui mata (spiritual) yang menembus semua basis niat baik, wawasan historis lintas bangsa, tata lokasi, daya tahan, fungsi ruang, kuasa materi dan posisi partisipasi banyak pihak.***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo











Discussion about this post