oleh:
Basri Amin
HAMPIR di semua jalan utama di Gorontalo kini pohon-pohonnya nyaris sudah habis ditebang. Di beberapa wilayah perkantoran pemerintah, permukiman warga, dan kawasan pendidikan pun mengalami hal serupa.
Bangsa yang congkak dengan alam. Pohon-pohon disalahkan, demi….(??)
Udara terasa lebih panas, pepohonan yang plontos, langit bebas lebih terlihat, kabel-kabel listrik dst lebih tampak. Mata kita mudah silau. Semua mudah gerah. Teknologi pendingin laku di mana-mana.
Energi kita jadi boros…
Pembenaran tunggal untuk menjadikan “kebijakan pembangunan” potong-potong pohon rasanya menyisahkan persoalan. Perubahan iklim yang kini tak terkendali meniscayakan pembaruan lingkungan yang menyegarkan.
Apa yang selama ini diimpikan dengan ketersediaan “ruang hijau” di wilayah perkotaan dan kecenderungan urbanized development di banyak wilayah di Indonesia menuntut visi lingkungan yang utuh. Kini yang terjadi adalah paradoks (pembangunan) yang membingungkan arahnya. Semua pihak terkesan (berhak) membongkar atau memotong apa saja menurut kepentingannya masing-masing.
Di sisi ini, “kekerasan”, dalam hemat saya, diam-diam tengah melilit perangai pembangunan kita. Dengan ini, yang saya maksudkan adalah campuran antara pelonggaran menebas pohon-pohon –yang diklaim beberapa pihak– sebagai “pengganggu” di ruang publik dan fakta lemahnya tanggung jawab kita menerangkannya secara jujur kepada publik.
Antara berbuat sesuatu agar daya-dukung lingkungan menopang kesehatan dan kesejahteraan orang banyak dan kekasaran kita memperlakukan pepohonan yang juga punyak hak hidup dan sebagai pemberi manfaat sangat besar untuk kita.
“Hanya bangsa yang bebal dan bodoh yang menyia-nyiakan manfaat vegetasi yang luas di ruang-ruang kotanya. Betapa besar jasa pepohonan dalam menurunkan suhu-panas dan menetralisir sekian kiloton emisi gas karbondioksida di wilayah perkotaan.”
Di luar soal teknis pertanaman, katakanlah itu tentang jenis-jenis pohon yang tepat ditanam di kawasan permukiman, jalan-jalan raya, dst, usaha-usaha pelindungan dan pemeliharaan, serta tata-kelola resikonya tampaknya belum dicapai titik-temunya di Gorontalo dan di tempat-tempat lain di negeri ini.
Di sejumlah kota yang sukses memanfaatkan lanskap alamnya, mereka relatif berhasil mengelola “kehijauan kota”nya dan menjadikannya sebagai infrastruktur-berkelanjutan bagi sumber-sumber kesehatan alami dan penghidupan yang sehat. Hasil lainnya, citra kota terbentuk, geliat ekonomi lebih produktif dan warga membangun identitas kota dan daerahnya secara partisipatif. Keteduhan rasa dan kesejukan pandangan pun akan memakmurkan keragaman dan kebersamaan.
Gorontalo, jika hendak menegaskan visi pembangunan berkelanjutannya, kepekaan kebijakan dan transformasi perilaku masyarakat haruslah tergerakkan lebih nyata. Kita harus lebih peka membaca perubahan iklim dunia dan bagaimana mutu lingkungan kita. Beberapa laporan menunjukkan, khususnya tentang polusi udara, Indonesia kita termasuk terburuk di Asia Tenggara.
Kendati bisa kita sangka bahwa itu adalah kontribusi daerah-daerah industri dan metropolitan, sesungguhnya di tingkat lokal pun, katakanlah kita di Gorontalo, mengalami kecenderungan yang sama: volume kendaraan yang semakin membesar, ruang hijau yang terus-terusan menyempit, pola perilaku dan tindakan persampahan, pencemaran air, serta pola konsumsi kita serta kerja-kerja proyek (pembangunan) yang menyumbangkan banyak abu dan sampah teknikal, secara pasti (terbukti!) menurunkan mutu lingkungan kita.
Perhitungan ekonomis atas degradasi lingkungan kita sudah di titik kritis dan memintakan koreksi serius atas istilah “sustainable development” (Daly, 1996).
Sayangnya, kita belum bergerak serius dan belum menempatkan fakta ini sebagai tema sentral, padahalPemiludanPilkadasudahberulangdanberulang.
Data sains-lingkungan (Gorontalo) sepertinya diam-diam saja! Padahal, teriakan aktivis lingkungan, frekuensi pemberitaan tentang sampah, bencana ekologis, sampah makanan, pengolahan limbah, dst secara berulang terberitakan di media dan di forum terbuka. Tak lama lagi, biaya yang akan kita kerahkan untuk perkara ini akan meningkat pesat. Belum lagi potensi konflik, diskriminasi, dan dampak kesehatan (anak, perempuan, dst) yang ditimbulkannya.
Di daerah pertanian seperti Gorontalo, “asap karena pembakaran lahan memberi dampak luas atas mutu udara. Di permukiman yang sempit di perkotaan pun, tradisi ‘bakar sampah’ masih berlangsung hingga hari ini, hal mana merusak mutu udara sekitar…di luar itu, asap dari knalpot kendaraan adalah yang paling dominan…”
Kini, ketika isu kendaraan listrik menguat di permukaan, itu adalah tanda bahwa teknologi transportasi ramah lingkungan akan segera berubah. Dalam jangka panjang, regulasi yang ketat, kepemimpinan lokal yang pro-lingkungan, partisipasi sains dan edukasi publik menjadi keniscayaan. ***
Penulis adalah Mitra di Voice-of-HaleHepu.
Surel: basriamin@gmail.com











Discussion about this post