Gorontalopost.co.id, GORONTALO — Belum sembuh rasa sakit hati rakyat Indonesia terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat dan memicu amarah rakyat sehingga terjadi demo anarkis dimana-mana. Di Gorontalo, masyarakat khususnya para petani tebu rakyat malah dibuat geram atas keputusan pemerintah dalam hal ini Kementrian Perkebunan yang menaikkan harga tebu secara sepihak tanpa melalui mekanisme yang berlaku. Pasalnya, dengan kenaikan harga tebu tersebut, justru menimbulkan polemik dan keresahan petani tebu rakyat di Daerah Provinsi Gorontalo.
Seperti yang diungkapkan Mulyani Nurdin Isa salah satu perwakilan Petani Tebu Rakyat di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo saat diwawancarai Gorontalo Post secara eksklusif Rabu (10/9/2025) mengatakan, pihaknya merasa kecewa dengan pemerintah dalam hal ini Kementrian Perkebunan yang tiba-tiba menaikan harga tebu menjadi Rp 660 Ribu/ton diakhir musim tebang tahun 2025 tanpa survey ulang atau wawancara langsung kepada para petani tebu rakyat.
“Kami kaget tiba-tiba ada kenaikan harga tebu menjadi Rp 660 ribu Perton. Padahal kami baru menikmati kenaikan harga tebu dari Rp 510 Ribu menjadi Rp 540 tahun ini juga. Jadi tahun ini sudah dua kali naik. Secara matematis kami memang untung banyak, tapi keuntungan itu kami hanya bisa nikmati sesaat saja dalam jangka pendek. Jangka Panjang, ini justru menjadi bumerang bagi kami sendiri yang nantinya akan membuat kami kesusahan di kemudian hari,”kata Mulyadi.
Lebih lanjut Mulyadi warga Desa Mutiara Kecamaan Paguyaman Kabupaten Boalemo itu juga mengungkapkan, pihaknya sudah setuju dan tidak mempermasalahkan lagi Harga tebu yang sudah dibayarkan oleh pihak pabrik gula dengan Hargai Rp 540 Ribu/ton, meskipun saat ini sudah ada edaran dari Dirjen Perkebunan mengenai penetapan Harga tebu yang baru yakni Rp 660 Ribu/ton.

Mulyadi mengaku justru khwatir ketika pihak perusahaan dipresure dengan Harga yang terlalu tinggi Rp 660 Ribu dan sudah beruntun dalam setahun seperti ini, maka tentu perusahaan dikwatirkan akan merubah sistem dari beli putus menjadi sistem bagi hasil. Beli putus artinya perusahaan membeli tebu para petani, dan petani diberi pinjaman modal oleh perusahaan untuk membayar semua kebutuhan operasional mulai dari penanaman hingga panen tebu, khususnya biaya tebang angkut .
“Jadi kami ini tinggal menyediakan lahan, semua mulai dari bibit, alat bajak, alat tarik hingga tenaga tebang tebu perusahaan yang sediakan. kami tinggal terima beres,”kata Mulyadi. Kemudian ketika perusahaan akan merubah system bagi hasil, maka petani kata mulyadi menjadi petani mandiri. Dimana, petani harus menyediakan modal untuk semua operasional penanaman hingga panen.
“Kalau sudah petani mandiri kami mau ambil modal dari mana kalau bukan dari perusahaan yang dipinjamkan tanpa bunga. Kemudian yang lebih menyusahkan lagi, hasil pembagian gula dari perusahaan untuk pemasarannya bagaimana?, di Jawa saja saat ini petani sulit jual gula alias tidak laku Sudah pasti kami harus bawa gula ini ke pasar-pasar, toko-toko, itupun kalau ada yang mau beli. kalau tidak ada yang beli pasti akan menumpuk di rumah kami, dan rumah kami akan menjadi rumah semut. Bayangkan saja dengan luas tanah saya saat ini gula yang akan dibagikan perusahaan mencapai 5 Ton (5 Ribu Kilogram). Bagaimana saya mau jual gula sebanyak itu?,”tanya Mulyadi penuh kesal.
Pihaknya kata Mulyadi telah mendapatkan informasi valid bahwa perusahaan akan merubah system bagi hasil. Hal ini karena tidak ada kepastian Harga yang dikeluarkan oleh pihak Dirjen perkebunan yang selalu berubah-rubah dalam setahun dua kali tanpa melalui survei independen. Untuk itu para petani murni kata Mulyadi telah menerima secara legowo keputusan mengenai harga yang baru dinaikan tahun 2025 ini sebesar Rp 540 Ribu/ton sesuai edaran dan keputusan Dirjen Perkebunan.

“Ya, kita jalani dulu kenaikan harga tebu yang ditetapkan Dirjen Perkebunan dari Harga Rp dari 510 Ribu tahun 2024 menjadi Rp 540 tahun 2025 ini, kami sudah puas dengan harga itu. Biarlah nanti tahun 2026 Dirjen Perkebunan menaikan harga lagi jangan tahun ini dua kali naik, kasihan kami petani jadi korban kebijakan pemerintah,”ungkap Mulyadi yang juga diamini Santi Puhi (58), Ardin Magub serta sejumlah petani tebu lain.
Adapun perbandingan keuntungan, jika petani menanam tanaman lain selain tebu seperti jagung atau padi, tentunya kata Mulyadi yang paling banyak untungnya berkali lipat adalah tanaman tebu dengan pendapatan minimal SHU (Sisa Hasil Usaha) yang bersih minimal Rp 25 Juta untuk 1 Hektare dalam sekali panen. Tanaman tebu diakui Mulyadi sungguh menjanjikan dan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat khususnya petani tebu.
Terkait APTRI (Asosiasi Petanu Tebu Rakyat Indonsia) yang meminta kontribusi iuran Rp 20 Ribu untuk biaya akomodasi dalam memperjuangkan harga tebu Rp 660 Ribu di pusat (Dirjenbun), Mulyadi mengakuinya bahwa iuran tersebut disampaikan saat pertemuan antara para petani tebu dan APTRI.
“Kami juga baru tahu ada APTRI nanti ada kenaikan Harga Rp 660 Ribu ini. Mereka berdalih yang memperjuangkan kenaikan Harga tebu tersebut. Tahun-tahun sebelumnya APTRI ini tidak ada, tiba-tiba saja sudah muncul, kami juga heran. Untuk Iuran Rp 20 Ribu ini memang belum dipungut, nanti setelah selisih kenaikan Harga Rp 120 Ribu Cair, baru akan dipungut ke setiap petani. Saya tegaskan, walaupun tidak dipungut iuran Rp 20 ribu kami petani tetap tidak setuju adannya kenaikan di akhir musim tebang 2025. Tahun depan saja dinaikan kami baru setuju. Tidak ada Cirita,”tutup Mulyadi.
Manager Public Relation PT PG Gorontalo Marthen Turu’allo ketika dikonfirmasi mengatakan, bahwa akhir tahun 2024 sudah ada perjanjian Kerja Sama Operasional (KSO) jual beli tebu antara perusahaan dengan para ketua kelompok dan KPTR (Koperasi Petani Tebu Rakyat) masih menggunakan harga lama Rp 510 Ribu/ton yang dikeluarkan oleh Dirjen Perkebunan, sambil menunggu penetapan harga baru yang didasarkan data survey tim independen yang melakukan Survei biaya pokok produksi.
Nah, berdasarkan hasil survei tim independent tersebut itulah jadi dasar patokan Harga tebu yang dikeluarkan oleh Dirjenbun. Pada April 2025 Dirjen Perkebunan mengeluarkan surat keputusan menetapkan Harga pembelian tebu rakyat di seluruh Indonesia. Khusus untuk Gorontalo sebesar Rp 540 Ribu/Ton. Selama ini diakui Marthen Harga tebu hanya ditetapkan sekali pertahun.
Tiba-tiba Agustus 2025 ada surat Revisi diterbitkan oleh kementrian pertanian dan perkebunan Harga tebu naik menadi sebesar Rp 660 Ribu sehingga selisih kenaikannya menjadi Rp 120 Ribu, meskipun tidak berlaku surut dan kenaikan Harga ini ditetapkan menjelang akhir masa giling tebu, tetapi menimbulkan polemik disisi lain perusahaan telah selesai membayar Harga tebu kepada para petani dengan Harga Rp 540 Ribu.
Sebetulnya jelas Marthen, petani sudah terima dengan Harga tebu Rp 540 Ribu/ton dan tidak ada komplain atau keberatan lagi. Tetapi yang ribut hingga mempermasalahkan justru APTRI yang tiba-tiba asosiasi ini muncul justru tidak pernah tanda tangan atau tidak ikut dalam perjanjian KSO. “Selama ini perusahaan PG Gorontalo belum pernah mengenal yang namanya APTRi,agar kedepannya ada kepastian harga dan system yang digunakan, maka selanjutnya perusahaan mengikuti atau menerapkan Sistem Bagi Hasil gula sama dengan di beberapa pabrik gula,”ungkap Marthen.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Gorontalo Muljadi D Mario mengatakan, Pada prinsipnya pihaknya hanya menjalankan ketentuan dan aturan. “Kami berupaya untuk memediasi agar perusahaan melaksanakan kewajiban dan memastikan petani untuk mendapatkan haknya sesuai ketentuan,”tandas Muljadi D Mario singkat.
Terpisah Kadis PTSP Provinsi Gorontalo Sultan Kalupe juga mengaku hanya menjalankan keputusan Dirjen Perkebunan. Ketika disinggung soal pernyataannya di salah satu media onlie yang mengancam akan mencabut izin perusahaan bahkan akan menutup perusahaan jika tidak menjalankan aturan yang sudah ditetapkan Dirjenbun Sultan membantah hal itu.
“Ya, tidak mudah menutup perusahaan apalagi sampai mencabut izinnya. Itu hanya merupakan opsi terakhir dari kami jika perusahaan sama sekali tidak mengindahkan semua ketentuan yang telah ditetapkan. Itupun masih ada peringatan-peringatan, teguran hingga sanksi. Kalau dari sekian ketentuan, salah satunnya sudah dilaksanakan perusahaan, maka sanksi itu tidak akan kami lakukan alias gugur dengan sendirinnya,”tandas Sultan.
Ketua APTRI Warsito Somawiyono ketika dikonfirmasi tidak ada respon terkait hal ini. Demikian pula dengan pihak Dirjen Perkebunan ketika dihubungi via telepon seluler juga tidak ada jawaban. Bungkamnya mereka tentu menimbulkan tanda tanya besar ada apa dengan penetapan Harga tebu yang dilakukan dua kali beruntun dalam setahun tanpa melalui mekanisme berlaku.(roy)











Discussion about this post