SUWAWA – GP– Aktivitas pertembanga di Suwawa Timur, sudah sangat lama, tetap dibiarkan. Lebih tepat, penambangan ini dikenal PETI, atau penambangan emas tanpa izin. Namun belakangan, bukan hanya emas yang ditambang, tapi batu galena atau batu hitam, mineral yang mengandung timbal, besi, dan baja, juga dikeruk dari perut bumi Tulabolo Timur, Suwawa.
Pemerintah kecamatan dan desa di wilayah itu sepertinya tak bisa berbuat apa-apa, padahal namanya pertambangan tanpa izin, resikonya sangat besar. Yang didepan mata, adalah resiko kerusakan lingkungan. Resiko lainya adalah kamtibmas yang bisa terganggu karena banyaknya warga penambang di satu lokasi. Resiko lainya juga adalah rawan terjadi kecelakaan, karena penambangan dilakukan secara tradisional. Kendati penuh resiko, penambangan ini tetap berlangsung. Rupanya ada oknum-oknum yang silaut dengan batu-batu mineral itu.
Kondisi ini diakui Kepala Desa Tulabolo Timur, Ardin Mohi. Ia menyebut mereka adalah oknum berdasi, mereka yang lebih diuntungkan dengan kilau batu hitam dari desanya. Hanya saja, Ardin tak menyebut siapa oknum dimaksud.
Kata dia, pertambangan batu hitam di desanya, nyata-nyata merusak lingkungan, dan mengakibatkan kerugian terhadap pendapatan daerah dan negara. “Aktivitas pertambangan ilegal batu hitam sudah berjalan sekian lama, tanpa ada kontribusi ke pihak desa khususnya yang punya wilayah tambang yakni di Tulabolo Timur,”ungkap Ardin. Menurut dia, pemerintah Kabupaten Bone Bolango dan aparat penegak hukum punya wewenang untuk bertindakan tegas terkait aktivitas pertambangan tanpa ijin batu hitam. Apalagi aktivitas tambang tersebut telah mengakibatkan kerusakan alam, yang dampaknya seperti banjir bandang pada pertengahan tahun 2020 yang lalu. Ardin menjelaskan, aktivitas tambang batu hitam itu jumlahnya sangat melimpah, dan bentuknya jelas terlihat. Berbeda dengan emas yang memiliki bentuk lebih kecil.
Apabila hasil dari pertambangan tersebut ke luar wilayah, seharusnya ada perizinan lengkap. Kata Ardin kandungan mineral batu hitam di desanya itu, merupakan sumber kekayaan daerah. Kemudian terdapat indikasi telah dikelola dan diperjualbelikan ke pihak luar, dengan cara ilegal diduga tanpa adanya izin dari pihak berwewenang. Terkait keberadaan tambang batu hitam di Tulabolo Timur diakui Ardin memiliki dampak positif dan negatif. Kalau untuk dampak positif dari sisi ekonomi, banyak masyarakat yang melaksanakan pekerjaan baik menambang maupun menjadi buruh kijang atau tukang ojek.
Namun dampak nagatifnya yang justru paling banyak. Pertama adanya kerusakan lingkungan pertambangan. Pasalnya, lokasi pertambangan itu masuk dalam Hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBW) yang saat ini hutannya yang dulu rimbun telah menjadi gundul. Selain itu membuat air sungai menjadi keruh akibat limbah dari pertambangan itu. Dampak lain diakui Ardin, yakni kebisingan ojek atau kendaraan sepeda motor pengangkut material tambang batu hitam yang keluar masuk dari tambang ke permukiman warga. Bising karena ojek tersebut menggunakan knalpot racing. Dampak kedua uangkap Ardin yakni tingginya tingkat perceraian, sebab ternyata di lokasi tembang seperti perkampungan sendiri.
Disana terdapat ‘ladies’ atau perempuan penghibur bagi para penambang, lengkap kafe, dan miras. Kehadiran mereka diduga menjadi pemicu rusaknya rumah tangga warga.
Ketiga dampak sosialnya adalah pendidikan, dimana anak-anak banyak yang putus sekoleh karena lebih memilih ngojek ataupun jadi buruh tambang yang penghasilannya lumayan besar. Seperti untuk ojek, sekali tarik dengan mengangkut minimal satu koli material seberat 55 kg, jasa yang diterimannya Rp 100 Ribu.
“Biasanya mereka muat sampai tiga koli sehingga sekali tarik sampai Rp 300 Ribu. Jika sehari bisa sampai lima kali narik hitung saja, bisa sampai Rp 1,5 Juta perhari, kalau sebulan bisa sampai Rp 45 Juta,”kata Ardin. Untuk kontribusi yang diberikan pihak investor atau pengusaha tambang kepada pihak pemerintah Desa Tulabolo diakui Ardin sama sekali belum ada sepersen pun. “Itu yang membuat saya marah, padahal lokasi pertambangan berada di wilayah kami. Keuntungan puluhan miliar perbulan tidak berdampak ke pihak desa,”kata Ardin.
Kepala Desa Tulabolo Barat, Eric Stepen Lingude mengungkapkan, tidak ada koordinasi para pengusaha tambang dengan pemerintah desa dalam hal praktik penambangan batu hitam di Suwawa Timur. Padahal, menurut Eric dampak lingkungan imbas dari eksplorasi pertambangan ini sangat parah.
“Pemerintah desa selalu yang menjadi sasaran kesalahan ketika ada dampak lingkungan yang terjadi. Sedangkan pengusaha yang menikmati hasil tambang batu hitam tidak meminta ijin kepada kami dalam membangung gudang-gudang pemampungan batu hitam di desa kami,”ujar Eric Steven. Disisi lain, kontribusi dari para pengusaha pertambangan batu hitam ke desa dinilai tidak merata.Salah satu penambang, Rinto Suleman mengatakan, untuk mengambil material batu hitam dari dalam lubang tambang hingga mencapai 100 meter dirinya mendapat bagian lebih banyak.
“Jika saya berhasil mendapatkan 10 koli, maka tiga koli untuk pemilik lubang, sedangkan bagian saya tujuh koli. Kalau kami 7 orang, maka kami hanya mendapat satu koli perorang. Satu koli kami jual Rp 750 ribu sudah sampai di gudang penampungan,”kata Rinto. Adapun alat yang digunakan untuk mengambil material batu hitam yang dulunnya menggunakan betel, saat ini sudah menggunakan mesin jet humer, lebih mudah.
Kapolres Bone Bolango AKBP Emile Reisitei Hartanto, S.H., S.I.K mengatakan, pihaknya masih akan mengecek terlebih dahulu laporan informasi masyarakat terkait aktivitas tambang itu. “Jika ada laporan masyarakat maka kita akan lakukan penyeldidikan. Apabila tertangkap tangan ada tambang ilegal maka sesuai peraturan kita akan proses,”tegas Emile. (roy)












Discussion about this post