Oleh :
Basri Amin
Patriot besar ini masa kecilnya di Gorontalo. Lama berjuang di pulau Ternate dan sekian tahun bertarung gagasan di kota Makassar. Setelah itu, ia tak pernah berhenti bekerja untuk bangsanya: sebagai Menteri, Duta Besar, Rektor, dst. Tapi, jauh sebelumnya, sejak pertengahan 1920an, berkat pergaulannya di Eropa, ia telah menyerap pergolakan internasional dan pergumulan nasionalisme (baru) di awal abad ke-20 untuk bangsanya. Ia menyerap “jiwa merdeka” dari perjumpaan gagasan politik, gerakan penyadaran, dan gagasan pendidikan.
Hampir seluruh kehidupannya adalah pertaruhan panjang bagi cita-cita Proklamasi Indonesia 1945 dan Republikan-isme dalam bertata-negara di negeri ini. Itulah sosok Arnold Mononotu –-yang lebih akrab dipanggil Oom No–, 1896-1983.
Selama berjuang di Sulawesi dan ketika harus merekonsiliasi aliran federalisme dan republikanisme di masa revolusi Kemerdekaan, Oom No tercatat bahu-membahu membangun keakraban ketokohan nasional di Sulawesi. Om No sangat dekat-sejiwa dengan tiga tokoh utama dari Gorontalo yang besar perannya di Indonesia Timur: Ayuba Wartabone, R.M. Kusno Dhanupoyo (Sulawesi Utara) dan Nino Hadjarati (Parindra di Makassar). Ketiga tokoh di masa Revolusi Sulawesi ini adalah pantulan ketokohan Gorontalo yang aktif-lalu-lalang di jazirah Sulawesi, Jakarta, dan Yogyakarta, ketika percaturan nasionalisme di masa itu mengharuskan sejumlah perdebatan, pertarungan, dan perkumpulan (lintas tokoh) di tingkat regional dan nasional. Mereka membawa gagasan dan gerakan sekaligus.
Nasionalis Gorontalo ini –Wartabone, Hadjarati, dan Dhanupojo–, selain intens berjuang bersama Om No, sejumlah tokoh Minahasa, dan teman-teman seperjuangannya di Indonesia Timur di periode 1945-1950, mereka juga aktif membentuk jejaring organisasi perjuangan fisik dan diplomasi kebangsaan di Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT). Di masa itu, Sam Ratulangi adalah tokoh sentral yang sangat akrab dengan tokoh-tokoh Gorontalo.
Di masa itu, pergolakan membesar karena federalisme membesar di Indonesia Timur. Benturan-benturan terjadi antar kelompok nasional pro-republik (baca: negara Kesatuan), kubu federalistik dan faksi ‘moderat’. Tekanan fisik menyebar di tengah ketidakpastian. Begitu besar korban nyawa dan pengorbanan yang tak ternilai di masa itu di Sulawesi (pembantaian Westerling). Sayang sekali, tema ini belum terpelajari baik dan memadai sampai kini oleh lembaga-lembaga pendidikan kita di tanah air, di Sulawesi khususnya.
Di tahap inilah, Oom No bersama Ayuba Wartabone, Nino Hadjarati, dan tokoh-tokoh lainnya menentukan sikap yang hebat sekali di tengah himpitan konflik-kepentingan antar anak bangsa. Yang membanggakan, doktrin gerakan dan retorika politik mereka sangat lantang dan berani: “sekali ke Jogja, tetap ke Jogja…”. Ini bukti bakti mereka yang terbesar dalam “penyatuan Republik” sesuai nilai dasar Proklamasi 1945 yang nyaris terpecah-belah berulang karena taktik “negara boneka-federal” buatan van Mook yang terus-menerus berkeras memanfaatkan celah-celah politis yang melanggengkan kekuasaan Belanda; antara lain melalui Konferensi Malino (16-22 Juli 1946), Konferensi Pangkal Pinang (1-12 Oktober 1946) dan Konferensi Denpasar (Desember 1946).
Konferensi NIT yang paling fenomenal adalah Konferensi Denpasar, 7-24 Desember 1946. Dari Gorontalo, tercatat Tom Olii dan Ayuba Wartabone yang mewakili “Soelawesi Oetara”. Dengan ini juga sangat tegas bahwa sampai 1950, wilayah “Sulawesi Utara” sesungguhnya identik, dan terwakili, oleh Gorontalo (Pelita, 1946). Untuk Minahasa sendiri, ia mewakili “dirinya sendiri” sebagai perwakilan wilayahnya. Ketika itu, Tom Olii –-tokoh Muhammadiyah—terpandang Soelawesi Oetara berposisi sebagai “Ketua Majelis Islam di Gorontalo”. Sementara itu, penting diketahui, Ayuba Wartabone pernah menduduki (sementara) Kepala Daerah Sulawesi-Utara (Gorontalo), sebagai anggota DPRD (Peralihan) di Gorontalo dan Kepala Bagian Pemerintahan Umum Gubernur Militer di Manado. Beliau wafat Jumat malam, 26 April 1957 di Gorontalo.
Oom No punya hubungan khusus dengan Ayuba Wartabone karena dia adalah salah satu tokoh politik dari tujuh orang (Anggota Parlemen NIT) yang terlibat dalam satu misi besar, “Muhibah ke Yogyakarta” (goodwill mission) ke ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada bulan Februari 1948. Oom No dan Ayuba Wartabone adalah dua tokoh (proponen) Fraksi Progresif, dan lima orang lainnya masing-masing dari Fraksi Nasional, wakil Protestan dan Katolik, dan, ini yang sangat unik adalah karena terdapat seorang wakil golongan Tionghoa Indonesia Timur, Mr. The Sin Ho (Nalenan, 1981).
Prinsip negara berbentuk Republik Indonesia yang utuh, sebagaimana diproklamasikan 17 Agustus 1945, adalah pegangan utama oleh banyak tokoh di Sulawesi di masa itu. Tokoh-tokoh utama Gorontalo, seperti Nani Wartabone, Kusno Danupoyo, Aloei Saboe, Ayuba Wartabone, dan Tom Olii lebih memihak kepada gagasan Republik. Meski di tahap awal mereka adalah anggota Parleman NIT, tetapi justru di forum itulah mereka menggerakkan “Mosi Pembubaran” NIT. Pada demonstrasi besar-besaran pembubaran NIT di Makassar, 17 Maret 1950, yang berdiri di depan massa dan menjadi pemimpinnya adalah nasionalis (asal) Gorontalo yang dihormati di Makassar, yaitu Nino Hadjarati (Parindra).
Di masa itu (1947-1950), mereka punya jargon yang sangat terkenal, bahwa “Sekali ke Jogja, tetap ke Jogja”. Dengan jargon itulah mereka menggumpalkan tekadnya untuk membubarkan negara boneka NIT itu. Sebagai puncaknya, sejak 17 Agustus 1950, NIT dinyatakan bubar: Kabinet NIT dilikuidasi, di bawah pimpinan Putuhena. Selanjutnya, yang menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi sementara adalah B.W. Lapian –seorang tokoh yang memang sejak awal berada di pihak Negara Kesatuan, R.I. Pangkat BW Lapian dikenal dengan istilah Residen. Beliau didampingi oleh Kusno Danupoyo.
Hari-hari ini, sungguh terasakah Kebangkitan Nasional kita? Seruan hampa (banyak) di ruang publik! Yang tampak, jiwa-jiwa yang membesarkan ‘feodalisme baru’. Semakin menjauh dari wawasan ke-“publik”-an dan prinsip dasar ke-“Republik”-an. Yang dominan adalah ke-Aku-an yang tidak berjejak di alam nyata. Menjauh dari dedikasi-diri dan pengorbanan yang konsisten karena visi perubahan yang menyentuh ketimpangan wawasan dan perbaikan. Kini kita terasa sesak-menyaksikan kempesnya penegasan moral yang kokoh untuk zaman yang kian paradoks ini. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of HaleHepu
Comment